Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَ ابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ وَ خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَ مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَ مَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِيْهِ اللهُ.
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, mulailah sedekah pada keluarga terdekat. Sedekah yang paling baik adalah dari orang kaya. Siapa yang meminta kecukupan, akan dicukupi Allah dan siapa yang meminta kaya, akan diberi kekayaan oleh Allah.” (HR. al-Bukhārī).
Sebagian orang, dengan alasan bahwa Allah Maha Pemurah, mereka mengeksploitasi sifat yang agung itu untuk memenuhi kebutuhannya. Setengah memaksa, dalam doanya mereka memohon agar Allah memberikan rezeki melimpah. Tidak ada yang salah dengan permohonan tersebut dan Allah selalu mendengar doa setiap hamba-Nya.
Namun, setidaknya kita dapat membatin sikap ini secara ‘ārif, karena kita sering kali memohon kepada Allah untuk suatu kebutuhan yang sifatnya egoistis. Beberapa doa yang diajarkan Rasūlullāh s.a.w., memang ada yang bersifat personal, seperti permohonan agar Allah melembutkan hati, memantapkan jiwa agar teguh beriman dan lain sebagainya. Tapi, memohon rezeki tentu saja berbeda. Sebab, pada rezeki yang sudah menjadi jatah saja, yang pasti turun tanpa diminta, Allah mewajibkan kita menyisihkan sebagiannya untuk keperluan orang miskin. Apalagi, jika yang kita minta adalah rezeki lebih, maka dalam permintaan itu, mau tak mau harus disertai niat berbagi. Artinya, ketika kita memohon kekayaan, pada saat itu pula harus terbangun niat tulus untuk menyejahterakan kaum dhu‘afā’.
Seyogianya, kita memohon rezeki melimpah kepada Allah untuk juga disalurkan secara amanah kepada orang-orang di sekitar kita dan yang membutuhkan. Perbedaanya dengan doa-doa memohon rezeki yang lain memang tidak mencolok. Tapi, yang jelas-jelas berbeda adalah spirit kita pada saat berdoa. Meminta rezeki untuk dinikmati sendiri dan meminta rezeki untuk dialirkan kembali secara adil dan merata, memiliki efek yang berbeda jika doa itu benar-benar terkabulkan. Tajamnya perbedaan ini seperti antara orang bakhil dan dermawan.
Allah s.w.t., menurunkan rezeki kepada hamba-Nya tidak pernah langsung berupa uang yang turun dari langit. Sesuai dengan sunnatullāh, rezeki itu kita dapatkan melalui pekerjaan, bisnis, atau pintu-pintu lain yang secara logis mampu menghasilkan uang. Ujungnya, tetap saja bahwa rezeki datang melalui tangan orang, baik itu bos, mitra kerja, atau pembeli jika itu perdagangan.
Jika kita hayati, sebenarnya perputaran rezeki di dunia ini, dari manusia pada manusia yang lain, memiliki hulu dan hilirnya sendiri atau ujung dan pangkal. Ujungnya adalah tangan di atas dan pangkalnya ada tangan di bawah. Hadits shahih riwayat Imām al-Bukhārī di atas, bukanlah sekadar bermakna orang yang memberi lebih baik daripada orang yang meminta. Tapi, lebih dalam dari itu, orang yang menjadi “ujung” rezeki itu lebih baik daripada menjadi “pangkal” rezeki dari orang lain.
Sebagian dari kita, sebenarnya tanpa sadar adalah jiwa-jiwa yang memiliki spirit tangan di bawah. Yang masih berpikir meraup rezeki untuk kepuasan pribadi tanpa pernah terbesit mengalirkan kembali pada orang-orang “di bawah”, yang tangannya selalu menengadah. Artinya, kerja keras dan semangat bisnis yang kita jalani tidak lain adalah untuk menggapai sukses menjadi orang dalam kategori “pangkal” rezeki, atau tangan di bawah.
Allah s.w.t., dengan syariat-Nya, mengajarkan pada kita untuk menjadi sosok yang berjiwa distributor atau penyalur dalam masalah rezeki. Bukan, berjiwa gudang yang siap menampung stok rezeki sebanyak-banyaknya untuk ditimbun. Hanya orang bakhil yang memiliki sifat semacam itu. Yang tidak bisa diharapkan memberi kesejahteraan pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia hanya akan menjadi penyakit masyarakat yang menebar keangkuhan dan kecemburuan sosial.
Sangat kecil kemungkinannya, Allah melimpahkan rezeki yang banyak kepada orang yang berjiwa “gudang”. Sebab, rezeki yang turun kepadanya akan terhenti, tidak mengalir kepada hamba-hambaNya yang berada di posisi hulu. Ini, tentu saja berlawanan dengan sunnatullāh, yang salah satu sifat rezeki-Nya menyebar rata pada semua makhluk.
Allah s.w.t., dengan sunnah-Nya, akan memilih hamba yang memiliki jiwa penyalur untuk mengalirkan rezeki-Nya agar merata kepada semua golongan manusia di bumi. Para “distributor” itulah orang pertama yang memiliki kesempatan mendapat curahan rezeki melimpah dari Allah. Dan, kita yang berdoa dengan spirit menjadi gudang atau sekadar hulur dengan tangan yang selalu menengadah, akan mendapat opsi terakhir dalam pembagian rezeki melimpah.
Jika kita hendak mendapatkan kemurahan rezeki dari Allah maka kita harus mempersiapkan diri, membentuk jiwa “distributor” yang bertekad mengalirkan rezeki Allah hingga ke hulu. Kelak, setelah menjadi “distributor”, infak dan sedekah tidak lagi bermakna spesial untuk diharapkan balasannya secara berlipat dari Allah. Tapi, infak dan sedekah menjadi bagian hidup yang tergerak secara reflektif dan tak berbekas dalam hati. Sehingga, tak ada harapan apa-apa dalam pemberian-pemberian yang diulurkan, ikhlas tanpa batas dan bekas.