عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: مَا ظَهَرَ الْغُلُوْلُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِيْ قُلُوْبِهِمِ الرُّعْبُ وَ لَا فَشَا الزِّنَا فِيْ قَومٍ قَطُّ إِلَّا كَثُرَ فِيْهِمُ الْمَوْتُ وَ لَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَ المِيْزَانَ إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمُ الرِّزْقُ وَ لَا حَكَمَ قَوْمٌ بِغَيْرِ الْحَقِّ إِلَّا فَشَا فِيْهِمُ الدَّمُ وَ لَا خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ إِلَّا سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْعَدُوَّ.
‘Abdullāh Ibnu ‘Abbās berkata: “Tidak ada ‘adzab bagi kaum yang melakukan pengkhianatan secara terang-terangan, kecuali akan ditimpa ketakutan dalam hati mereka. Tidak ada ‘adzab bagi kaum yang membiarkan perzinaan merajalela, kecuali akan ditimpakan pada mereka dengan banyaknya kematian. Tidak ada ‘adzab bagi kaum yang suka mengurangi timbangan dan takaran, kecuali mereka akan dipersulit mendapatkan rezeki. Tidak ada ‘adzab bagi kaum yang suka menjatuhkan hukuman secara tidak adil, kecuali akan ditimpakan pada mereka pertumpahan darah di mana-mana, dan tidak ada ‘adzab bagi kaum yang suka mengingkari perjanjian, kecuali mereka akan ditimpa dengan penindasan dari pihak musuh.” (HR. Mālik).
Kita sering menemukan kata “kaum” dalam hadits maupun atsar, baik pada teks asli maupun terjemahan. Dan, ketika kata itu disebut, ada upaya dalam benak kita untuk menemukan analogi yang pantas dengan keberadaan masyarakat saat ini. Lantas, kita mencari-cari desa atau perkampungan yang budaya dan tradisinya sesuai dengan maksud hadits. Saat itu, kita tidak sadar sedang terjebak kata “kaum” dengan hanya memaknai sekelompok orang yang menetap dalam satu wilayah geografis. Padahal, kata “kaum” yang digunakan hadits memiliki makna luas. Ia bisa berarti komunitas, suku bangsa, sanak saudara, kerabat, keluarga, atau golongan. Artinya, kata “kaum” dalam bahasa ‘Arab semakna dengan “kaum” dalam bahasa Indonesia. Yang ditujukan untuk semua komunitas, baik disebabkan oleh kesamaan wilayah geografi, ideologi, garis keturunan, profesi, atau bahkan hobi. Maka, setiap orang adalah bagian dari kaum tempat dia berkelompok. Ketika hadits itu menyebut kata kaum, ia tidak bermaksud menunjuk seseorang yang jauh, melainkan pada setiap individu yang mendengar dan membacanya.
Tapi, terlepas dari masalah perluasan makna “kaum”, yang jelas kita bukan termasuk salah satu dari golongan yang dimaksud hadits di atas. Terutama yang terkait dengan tema ini, yakni golongan yang gemar mengurangi timbangan atau takaran secara zhalim demi mendapat keuntungan lebih.
Banyak orang berpikir dan menduga perbuatan itu hanya dilakukan oleh pedagang di pasar. Padahal tidak, karena segala bentuk perdagangan, besar atau kecil, pada hakikatnya memiliki timbangan dan takaran. Yang setiap orang zhalim bisa melakukan tindak curang untuk mengais untung haram.
Contoh selain pedagang adalah ketika anda membayar tiket seharga 200 ribu (rupiah) untuk kereta tujuan Jogja, kemudian tanpa konfirmasi sebelumnya, oknum petugas kereta menurunkan anda secara paksa di Cirebon. Ternyata, oknum tersebut sudah janjian dengan penumpang baru yang akan duduk di kursi anda. Atau sama halnya, dengan penumpang – dan pastinya itu bukan anda – membeli tiket harga 50 puluh ribu untuk tujuan kota tertentu yang seharusnya dia bayar dengan 200 ribu rupiah.
Walaupun bukan pedagang, tapi contoh tersebut sudah termasuk dalam konteks kalimat bergaris-bawah pada hadits di atas. Jadi, timbangan atau takaran tidak mesti identik dengan aktivitas di pasar.
Dan, dalam konteks budaya korup, alih-alih mendapat keuntungan lebih, justru orang terjerumus dalam kesulitan ekonomi yang tiada akhir. Sebagaimana tak berakhirnya perbuatan zhalim dia, yang ketagihan mengurangi timbangan atau takaran.
Tapi, apakah ada dalam sejarah ini, penduduk negeri yang memiliki budaya korup seperti yang diwanti-wantikan hadits di atas? Ada. Bahkan dicatat tebal-tebal oleh al-Qur’ān agar kita dapat mengambil pelajaran. Negeri itu bernama Madyan. Sebuah nama yang mungkin telinga kita tidak asing mendengarnya.
Dikisahkan bahwa Madyan adalah negeri yang sangat korup dalam aktivitas dagangnya. Jika ada kafilah yang datang ke negeri itu untuk menjual barang, segera mereka mengeluarkan timbangan yang beratnya sudah dikurangi. Tapi, jika ada kafilah yang mendatangi negeri itu untuk membeli, segera mereka mengeluarkan timbangan yang beratnya sudah ditambah. Saking parahnya kezhaliman kaum Madyan, hingga nabi mereka yakni Syu‘aib a.s., mengingatkan secara khusus terhadap masalah ini. Dalam al-Qur’ān disebutkan:
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu‘aib. Dia berkata: “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (ma‘mur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa ‘adzab pada hari yang membinasakan (Kiamat).” (QS. Hūd [11]: 84).
“Dan wahai kaumku! Janganlah pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat dosa, sehingga kamu ditimpa siksaan seperti yang menimpa kaum Nūḥ, kaum Hūd atau kaum Shāliḥ, sedang kaum Lūth tidak jauh dari kamu.” (QS. Hūd [11]: 89).
Setidaknya ayat-ayat di atas menunjukkan dua hal. Pertama, kabar bahwa sebenarnya penduduk Madyan adalah orang yang berkecukupan. Hal ini, semakin menguatkan pendapat beberapa orang yang mengatakan bahwa semakin kaya seseorang, semakin miskin hatinya jika tidak dibekali iman. Kedua, penduduk negeri Madyan adalah penduduk yang keras kepala dan abai dengan peringatan Nabinya sendiri. Bahkan, secara jelas dan tegas nabi Syu‘aib menegur mereka dua kali. Dan, jika teguran yang tercatat saja adalah dua kali maka berapa teguran yang tidak tercatat dalam kisah nyatanya? Bisa jadi lebih dari itu. Artinya, berkali-kali.
Apa akibat mereka? Setelah penduduk negeri Madyan tutup telinga dengan semua peringatan nabinya. Akhirnya, Allah menurunkan ‘adzab kepada mereka. Dalam al-Qur’ān Allah berfirman:
“Maka ketika keputusan Kami datang, Kami selamatkan Syu‘aib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami. Sedang orang yang zhalim dibinasakan oleh suara yang mengguntur, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya, seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, binasalah penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamūd (juga) telah binasa.” (QS. Hūd [11]: 94-95).
Kita adalah umat Islam, nabi kita adalah Muḥammad s.a.w. Jarak masa kita dengan beliau tidak sedekat jarak antara kaum Madyan dengan Syu‘aib a.s. Tapi, peringatan-peringatan Rasūlullāh s.a.w., terus berlaku hingga hari kiamat tiba. Hadits di atas adalah satu dari sekian banyak peringatan yang harus kita camkan, agar ancaman-ancaman ‘adzabnya tidak menimpa diri kita di kehidupan ini. Singkatnya, mencari uang dengan cara yang curang adalah cara cepat menuju kemiskinan.