Sejak pertama Islam diturunkan Allah ke bumi, perdagangan adalah tradisi yang sudah mendarah-daging dalam budaya umatnya. Melalui seorang nabi yang usaha pertamanya menjajakan pakaian, Islam menjadi tempat aman bagi siapa pun yang menyukai bisnis jual-beli. Karena Islam telah melembagakan aturan jual-beli secara detail dalam kanun tersendiri yang disebut “Kitab Mu‘āmalah”
Hampir separuh dari kanun itu, membicarakan etika, perintah, larangan, serta jenis-jenis perdagangan yang dibenarkan dan yang dilarang oleh Islam. Tidak ada agama yang melembagakan kanun perdagangan sedetail agama Islam. Ajaran Muḥammad s.a.w., ini, memerintahkan setiap pedagang mengambil keuntungan tanpa menzhalimi pembeli.
Tapi kenyataannya, sebagian pedagang muslim kurang teguh menerapkan konsep dagang yang dikembangkan Islam itu. Entahlah, bisa jadi karena mereka tidak tahu atau mungkin juga merasa tidak perlu. Bahkan, beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian pedagang Cina lebih Islami dalam praktik bisnisnya, dibanding sebagian pedagang muslim. Mereka jujur, mereka juga amanah mengemban tanggungjawab, baik sebagai penjual maupun pembeli. Mungkin kita perlu belajar pada mereka dalam masalah ini, sebagaimana Rasūlullāh s.a.w., sendiri pernah bersabda: “Carilah ilmu hingga negeri Cina.” (351).
Padahal, salah satu ciri masyarakat Madani yang diimpikan Rasūlullāh s.a.w., adalah masyarakat yang jujur dan amanah dalam berekonomi, itu karena, jujur dan amanah adalah kunci kemakmuran bangsa. Dalam aspek apa pun, jika dua sifat itu ditegakkan, suatu negara akan mencapai puncak peradaban yang tertinggi.
Jujur dan amanah adalah kaidah yang dibuat Allah agar siapa pun yang menjalankan, mendapat untung yang wajar, kemenangan yang wajar dan keberhasilan yang wajar. Tapi, tidak semua orang dapat mengerti dan memahami betapa pentingnya arti kewajaran ini. Akibatnya, sebagian dari kita memilih jalur-jalur yang tak semestinya, yang tidak wajar, guna meraih kesuksesan itu. Pedagang ada yang mengurangi timbangannya, pemimpin ada yang mementingkan golongannya, partai politik ada yang mencurangi suara, pebisnis ada yang memainkan harga, pejabat ada yang menyalahi janjinya, dan sebagainya. Semua itu, membuktikan bahwa masih banyak orang di sekitar kita yang berpikirnya tidak wajar.
Rasūlullāh s.a.w., membuat qanun (hukum) jual-beli secara detil dalam syariatnya, tidak lain untuk menciptakan masyarakat yang jujur dan amanah. Yang ujung pangkalnya adalah terciptanya masyarakat yang memahami prinsip kewajaran dalam hidup. Itulah masyarakat Madani.
Dan, kanun jaul-beli ini, lebih banyak diterapkan secara nyata, di tempat berkumpulnya para pedagang yaitu pasar. Maka pasar, sejatinya adalah titik mula sebuah peradaban Madani. Pasar adalah citra peradaban bangsa dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Jika sistem perdagangannya dan etika pedagang pasar itu baik maka bangsa dan masyarakatnya juga baik.
Tapi, baik itu memiliki ukuran. Dalam Islam ukuran baik dalam berdagang adalah jujur dan amanah. Karena itulah Islam membuat kanun jual-beli, guna melahirkan pedagang-pedagang yang jujur dan amanah.
Bagi Islam, pedagang yang jujur dan amanah adalah agent of change (agen perubahan) yang memiliki peran besar dalam menciptakan peradaban suatu bangsa. Oleh sebab itu, Islam menyamakan derajat para pedagang yang jujur dan amanah dengan derajat para nabi dan pejuang perubahan seperti halnya syuhadā’ atau yang lainnya.
Dalam sebuah hadits, Rasūlullāh s.a.w., bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ الْأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ.
“Pedagang yang jujur dan amanah, (duduk) bersama para nabi, shiddīqīn (362), dan syuhadā’.” (HR. at-Tirmidzī).
Hadits di atas adalah bukti bahwa harapan Islam terhadap para pedagang sangatlah tinggi karena kejujuran dan sifat amanah yang mereka tampakkan akan menginspirasi orang untuk bertindak sama. Itu, rasanya seperti saat kita membeli barang pada penjual dan ia memberi harga yang memuaskan. Seketika, kita pun beranggapan bahwa dunia telah dihuni orang baik, dan mengandaikan jika semua orang menjual seperti itu.
Islam datang untuk mewujudkan pengandalan itu. Memulainya dari langkah yang paling bisa ditempuh, yakni dengan membuat kanun jual-beli dan menghargai para pedagang yang jujur dan amanah setara menghargai para nabi dan syuhadā’. Bahkan riwayat lain mengatakan, para pedagang berada di bawah naungan ‘Arasy pada Hari Kiamat. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوْقُ تَحْتَ ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Pedagang yang jujur kelak berada di bawah naungan ‘Arasy pada Hari Kiamat.” (373).
Tapi sekarang, zaman semakin modern, di mana pun dan kapan pun, perdagangan dapat terjadi. Bisa di pasar bisa pula di luar pasar. Dan, siapa pun telah menjadi bagian dari perdagangan. Bahkan, dapat dipastikan bahwa masing-masing dari kita pada hakikatnya adalah pedagang. Oleh karena itu, kita patut sejenak bertanya, apakah kita sudah jujur dan amanah dalam berdagang?