14 Melihat ke Bawah – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Melihat ke Bawah.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi s.a.w., pernah bersabda:

خَصْلَتَانِ مَنْ كَانَتَا فِيْهِ كَتَبَهُ اللهُ شَاكِرًا صَابِرًا وَ مَنْ لَمْ تَكُوْنَا فِيْهِ لَمْ يَكْتُبْهُ اللهُ شَاكِرًا وَ لَا صَابِرًا: مَنْ نَظَرَ فِيْ دِيْنِهِ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَهُ فَاقْتَدَى بِهِ وَ مَنْ نَظَرَ فِيْ دُنْيَاهُ إِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَهُ فَحَمِدَ اللهَ عَلَى مَا فَضَّلَهُ بِهِ عَلَيْهِ، كَتَبَهُ اللهُ شَاكِرًا صَابِرًا، وَ مَنْ نَظَرَ فِيْ دِيْنِهِ إِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَهُ وَ نَظَرَ فِيْ دُنْيَاهُ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَهُ فَأَسِفَ عَلَى مَا فَاتَهُ مِنْهُ لَمْ يَكْتُبْهُ اللهُ شَاكِرًا صَابِرًا.

Ada dua perkara yang siapa saja memilikiinya, Allah akan catat dia sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar dan siapa yang tidak memiliki keduanya, Allah tidak mencatat dia sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar yaitu, (a) siapa saja yang mengukur agamanya dengan orang yang lebih tinggi derajatnya kemudian dia mengikutinya dan mengukur dunianya dengan orang yang lebih miskin darinya lalu dia bersyukur pada Allah atas karunia yang diberikan kepadanya maka Allah akan mencatat dia sebagai seorang yang pandai bersyukur dan penyabar. (b) Dan, siapa saja yang mengukur agamanya dengan orang yang lebih rendah derajatnya dan mengukur dunianya dengan orang yang lebih kaya darinya lantas bersedih atas dunia yang tidak didapatkannya maka Allah tidak mencatatnya sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar.” (HR. at-Tirmidzī).

Hadits di atas, tanpa harus dijelaskan panjang lebar, telah memberitakan prinsip mendasar yang sangat mudah dipahami. Islam mengajarkan pada kita untuk sering melihat ke bawah, kepada orang yang lebih miskin daripada kita. Ini karena masih banyak orang yang merasakan perih di hati, melihat orang lain mencapai kesuksesan dunia jauh di atas dirinya. Islam, mendefinisikan sifat ini dengan hasud. Dan, itu adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Terkait dengan hasud, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Hindarilah hasud sebab hasud itu menghapus pahala kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu.” (HR. Abū Dāwūd).

Bagi orang hasud, alih-alih mensyukuri nikmat, ia akan menganggap jerih-payahnya jauh dari cukup karena tidak sebanyak hasil orang yang didengki. Meskipun, pada saat yang sama, di belahan dunia ini, banyak sekali orang yang menderita kelaparan. Namun, semua itu seolah lepas dari kesadaran dirinya karena terlalu lelap dalam kedengkian dan kufur nikmat.

Berawal dari dengki dan kufur nikmat itu, banyak orang yang akhirnya berani mengambil jalan pintas dalam mengais rezeki. Dan, kekayaan yang didapat dari jalan pintas, kebanyakan dari kerja yang haram, baik itu mencuri, korupsi atau yang lainnya. Padahal, semua sudah ditentukan di Lauḥ-ul-Maḥfūzh, mulai dari umur hingga jatah rezeki. Allah s.w.t. berfirman:

Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauḥ-ul-Maḥfūzh).” (QS. Hūd [11]: 6).

Inilah, contoh buruk akibat berkaca pada orang yang lebih kaya tanpa mengantisipasi kemudaratannya. Yakni membuat orang menjadi dengki kemudian kufur, atau hadits riwayat at-Tirmidzī di atas mengistilahkan secara halus dengan “tidak dicatat sebagai orang yang pandai bersyukur.”

Tapi, apakah dalam hal berkaca pada orang kaya ada contoh baiknya? Ada. Jika efek negatifnya dihindari maka berkaca pada orang kaya tidak masalah karena itu juga satu dari sekian bentuk motivasi sukses.

Berkaca pada orang yang lebih kaya dengan membandingkan jumlah kepemilikan dan kekayaan saja dapat menimbulkan dengki. Berkaca yang baik pada mereka adalah berkaca pada prinsip-prinsip bisnisnya, etos kerjanya, konsep hidupnya, dan berbagai hal yang dapat kita ambil ilmu dan pelajaran dari mereka. Inilah, perbandingan yang benar, inilah cara berkaca yang baik pada orang kaya. Yang tujuannya adalah untuk menumbuhkan kemampuan kita dalam mengukur sejauh mana bisa mencapai kesuksesan, sehingga antara realitas dan asa menjadi lebih sinergi.

Intinya, kaya dan miskin adalah status sosial yang harus kita sikapi secara positif agar memberi manfaat dan nilai dalam kehidupan kita. Yakni dengan tidak hasud kepada yang lebih kaya, tidak pula mencemooh pada yang miskin karena orang kaya dan orang miskin itu sejatinya bukanlah siapa-siapa, melainkan diri kita sendiri. Di depan pengemis kita adalah orang kaya, tapi di depan pejabat kaya bisa jadi kekayaan kita tak seberapa, di atas pejabat tinggi itu pun masih ada tingkatan-tingkatan lain. Itulah, bukti logis bahwa kaya materi itu tidak ada habisnya maka kepemilikan harta, sejatinya tidak bisa dijadikan ukuran untuk menilai seseorang itu telah kaya atau masih miskin.

Kaya yang sebenarnya bukan terletak pada harta, melainkan ada di dalam hati. Oleh karena itu, kaya dan miskin sebenarnya adalah sifat, kepribadian yang dapat bersemayam dalam diri siapa pun. Sehingga, ada orang miskin yang punya rumah mewah dan mobil berkelas, tapi ada juga orang kaya yang tidak memiliki rumah dan modil istimewa.

Ketika kaya dan miskin ini diartikan sebagai karakter maka keduanya memiliki nilai, bahwa kaya itu maknanya pasti baik dan miskin itu maknanya pasti jelek. Apakah ada orang yang hatinya kaya itu pelit? Tidak, yang pelit hanyalah orang yang hatinya miskin. Apakah ada orang yang hatinya kaya itu tamak? Tidak, yang tamak hanyalah orang yang hatinya miskin. Apakah ada orang yang hatinya kaya itu hasud? Tidak, yang hasud hanya orang yang hatinya miskin.

Rasūlullāh s.a.w., meminta kita untuk memahami hakikat ini, agar kepemilikan duniawi tidak memberikan dampak pada rusaknya tatanan sosial dan agar yang baik tetap baik walaupun miskin, yang buruk tetaplah buruk meskipun kaya. Tapi, terkadang kita lebih peka dengan indra penglihatan – untuk menyimpulkan bahwa kaya itu bagaimanapun juga adalah yang terbaik – daripada menemukan kebenaran yang hakiki. Dan, hanya dengan batin yang tulus hakikat kehidupan ini dapat kita nikmati, bahkan setiap derita tidak lain adalah nikmat Allah yang akan membentuk diri kita menjadi lebih baik.

 

Di Balik Makna Penyabar dan Pandai Bersyukur.

Ada sesuatu yang menggelitik dari teks hadits berikut ini:

Ada dua perkara yang siapa saja memilikinya, Allah akan mencatat dia sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar dan siapa yang tidak memiliki keduanya, Allah tidak mencatat dia sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar yaitu, (a) siapa saja yang mengukur agamanya dengan orang yang lebih tinggi derajatnya kemudian dia mengikutinya dan mengukur dunianya dengan orang yang lebih miskin darinya lalu dia bersyukur pada Allah atas karunia yang diberikan kepadanya maka Allah akan mencatat dia sebagai seorang yang pandai bersyukur dan penyabar. (b) Dan, siapa saja yang mengukur agamanya dengan orang yang lebih rendah derajatnya dan mengukur dunianya dengan orang yang lebih kaya darinya lantas bersedih atas dunia yang tidak didapatkannya maka Allah tidak mencatatnya sebagai orang yang pandai bersyukur dan penyabar.” (HR. at-Tirimidzī).

Sesuatu tersebut adalah pertanyaan kecil: “Kenapa balasannya, hanya cukup dicatat sebagai penyabar dan orang yang pandai bersyukur? Kenapa tidak dibalas berupa pahala atau kenikmatan duniawi lain?”

Sebenarnya, dalam teks al-Qur’ān, sabar dan syukur adalah dua sifat yang berdampingan. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

Jika Dia menghendaki, Dia akan menghentikan angin, sehingga jadilah (kapal-kapal) itu terhenti di permukaan laut. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuaasaan Allah) bagi orang yang selalu bersabar dan banyak bersyukur.” (QS. asy-Syūrā [42]: 33).

Juga dalam firman-Nya yang lain:

Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrāhīm [14]: 5).

Allah berfirman:

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.” (QS. Luqmān [31]: 31).

Allah berfirman:

Maka mereka berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami,” dan (berarti mereka) menzhalimi diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur.” (QS. Saba’ [34]: 19).

Dalam beberapa teks hadits dan pendapat ulama, sabar dan syukur juga sering kali berdampingan. Di antaranya, Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

Orang mu’min itu mengagumkan, segala sesuatu yang terjadi padanya dianggap baik. Dan, itu tidak pernah dilakukan oleh siapa pun kecuali orang mu’min. Jika ia ditimpa kesenangan ia bersyukur maka itulah kebaikannya. Jika ia ditimpa kepedihan, ia bersabar maka itulah kebaikannya yang lain.” (HR. Muslim).

Pada hadits lain, Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:

Aku takjub dengan orang mu’min. Jika dia diberi kenikmatan Allah, ia berkata: “al-ḥamdulillāh,” kemudian bersyukur. Jika ia diberi cobaan, ia berkata: “al-ḥamdulillāh,” kemudian bersabar. Itulah sebabnya, dalam segala aktivitasnya orang mu’min selalu mendapatkan pahala, bahkan saat menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sekalipun.” (HR. al-Baihaqī).

Deretan ayat dan hadits di atas, membuktikan secara lebih kuat bahwa antara sabar dan syukur terdapat ikatan yang kuat yakni sebagai tanda kesempurnaan iman. Atas dasar ini, maka tersingkaplah makna yang hakiki bahwa orang yang mengukur agamanya dengan orang yang lebih tinggi derajatnya kemudian dia mengikuti dan mengukur dunianya dengan orang yang lebih miskin lalu dia bersyukur adalah tanda orang beriman. Seseorang yang memiliki sudut pandang atau worldview seperti itu, akan dicatat atau ditetapkan Allah sebagai orang beriman dengan segala kenikmatan yang akan diterimanya, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *