Sebagian kecil umat Islam berpikir bahwa ibadah tidak memiliki peran dan pengaruh terhadap kaya dan tidaknya seseorang. Bahkan, mereka menunjuk sebuah fakta bahwa banyak orang yang serius mencari harta dengan ibadah seadanya, dapat sukses meraih kekayaan.
Syaithan memiliki banyak cara untuk menggoda manusia, salah satunya dengan meracuni pola pikir, seperti pola pikir di atas. Padahal banyak sekali orang Islam yang karena ibadah dan mu‘amalahnya baik, ia kemudian diberi limpahan harta dan kenikmatan duniawi oleh Allah. Allah s.w.t. berfirman:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. al-Qashash [28]: 77).
Keberadaan ayat di atas, mengenalkan pada kita suatu pemahaman yang prinsipil bahwa dunia adalah sementara, diciptakan untuk persiapan mencari bekal menuju akhirat. Harta pada dasarnya bersifat duniawi – sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Kahfi ayat 46: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” Tapi, proses pencarian harta itu bisa memiliki makna transendental jika kita mengikuti tata cara yang benar.
Tata cara itulah, yang akhirnya melahirkan konsep mendasar dalam Islam tentang harta halal dan barakah. Dengan konsep itu, Islam hendak menunjukkan cara tepat menikmati dunia yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga kekayaan – sedikit ataupun banyak – memiliki nilai ‘ubudiyyah dan nilai lebih seperti membahagiakan, mencukupi, dan merata pada yang membutuhkan.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya maka Allah akan jadikan urusannya rumit, kemiskinan di depan matanya, dan rezeki dunia yang dia dapat hanya sebatas rezeki yang telah ditetapkan (tidak lebih).” (HR. Ibnu Mājah).
Sebenarnya, secara teori, kita semua meyakini bahwa akhirat adalah tujuan utama hidup. Tapi, praktiknya kita selalu bingung menentukan mana yang lebih didahulukan antara harta dan ibadah – keduanya adalah simbol yang mewakili kepentingan dunia dan akhirat. Sampai akhirnya, terkadang kita kehilangan preferensi, tidak tahu mana yang harus diutamakan, dan berujung penundaan ibadah untuk mengurusi kesempatan untuk lebih banyak, seseorang bisa melupakan kewajibannya pada Tuhan. Kehilangan perferensi semacam itu adalah sifat dasar manusia – bahkan kadang menimpa orang-orang beriman, terutama saat kebutuhan ibadah dan kebutuhan harta bertemu dalam waktu bersamaan. Dan, sebagai Pencipta seluruh makhluk, Allah sudah mengetahui potensi munculnya sifat ini dalam diri manusia. Oleh sebab itu, Dia berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan, barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Munāfiqūn [63]: 9).
Adapun salah satu ibadah yang dijadikan ujian dan sering kali bersanding-berbenturan dengan kepentingan duniawi manusia, adalah shalat. Dalam beberapa ayat Allah mengingatkan umat Islam secara khusus mengenai hal ini. Misalnya, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. al-Jumu‘ah [62]: 9).
Ayat di atas pada dasarnya ingin mengungkap suatu rahasia kecil bahwa pada umumnya orang cenderung menunda-nunda dan tidak segera menunaikan shalat karena mementingkan harta. Tapi, khusus untuk hari Jumat, Allah tidak memberi toleransi. Jika adzan sudah dikumandangkan, Dia minta siapa pun untuk segera menuju masjid dan meninggalkan aktivitas duniawi.
Adapun, kata jual-beli atau bahasa ‘Arabnya al-bai‘ pada ayat di atas tidaklah saklek, dalam arti hanya aktivitas jual-beli saja yang diminta untuk ditinggalkan. Tapi, semua aktivitas duniawi, tanpa kecuali, harus ditinggalkan saat kumandang adzan Jumat terdengar. Keberadaan jual-beli pada ayat tersebut, hanya sebatas simbol yang mewakili setiap aktivitas dunia dengan tujuan harta dan keuntungan. Dan, karena unsur harta dan keuntunganlah yang membuat manusia lupa akan ibadahnya.
Oleh sebab itu, sungguhlah beruntung orang-orang beriman yang khusyu‘ dalam shalat (301) dan selalu memelihara shalatnya (312). Mereka adalah orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah. (323) Dan, celakalah orang yang shalat, tapi ia lalai terhadap shalatnya (334) akibat sibuk mengurusi harta. Kalaupun mengerjakan shalat mereka melaksanakan shalat itu dengan malas-malasan. (345).