10 Banyak Anak Belum Tentu Banyak Rezeki – Rezeki Para Wali & Nabi

Rezeki Para Nabi dan Wali
TIP-TIP MENGAIS REZEKI HALAL

Oleh: Yusni Amru Ghazali

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Banyak Anak Belum Tentu Banyak Rezeki

Sebagian orang berkeyakinan bahwa semakin banyak jumlah anak, semakin banyak rezeki orangtuanya. Padahal, jumlah anak tidak menjadi sebab bertambah dan berkurangnya rezeki orangtua. Jadi, jangan dipahami anak sebagai sumber rezeki.

Masing-masing orang memiliki takdir rezekinya sendiri dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, termasuk antara orangtua dan anak. Tidak ada dalil naqlī yang sesuai dengan peribahasa “banyak anak banyak rezeki”. Tapi, yang tertuang jelas dalam al-Qur’ān adalah Allah melarang orangtua membunuh anaknya. Baik, pembunuhan itu karena orangtua khawatir anaknya miskin atau orangtua khawatir dirinya yang miskin.

Berarti memperbanyak anak salah, membatasinya juga salah? Dua-duanya bisa dibenarkan jika niatnya benar, dua-duanya bisa salah jika niatnya salah. Konsep amaliah dalam Islam sangat sederhana, semua tergantung pada niat. Menambah anak dengan niat agar rezekinya bertambah dengan keyakinan bahwa banyak anak banyak rezeki adalah tidak benar. Tidak ada hubungan antara jumlah anak dan takdir rezeki orangtuanya. Sedangkan membatasi jumlah anak karena takut miskin, jauh lebih fatal kesalahannya. Hal itu, berlawanan dengan ketentuan akidah Islam karena yang menanggung rezeki setiap anak manusia adalah Allah, bukan orangtua.

Menurut al-Qur’ān, di dunia ini ada dua karakter orangtua terkait dengan masalah anak dan rezeki. Kedua karakter itu dicela oleh syariat. Pertama, ada orangtua yang membunuh anaknya karena takut tidak bisa memberi makan. Seperti yang terjadi pada zaman jahiliyyah, banyak anak dibunuh orangtuanya sendiri karena orangtua merasa tidak bisa lagi menghidupi keturunannya. Orangtua yang demikian itu, berpikir harta mereka bisa habis hanya untuk menghidupi anak-anaknya. Kedua, ada orangtua yang membunuh anaknya karena takut, kelak anak tidak bisa menghidupi dirinya.

Membunuh anak, adalah tindak kriminal yang sudah menggejala sejak ribuan tahun yang lalu. Hingga kini, pembunuhan terhadap anak kandung masih sering terjadi, bahkan kejahatan itu dikemas lebih kreatif. Apa pun alasannya, baik karena ekonomi atau bukan, secara tegas Allah telah melarang perbuatan itu. Dalam al-Qur’ān dijelaskan:

وَ لَا تَقْتُلُوْا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ إِيَّاهُمْ.

Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. al-An‘ām: 151).

وَ لَا تَقْتُلُوْا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَ إِيَّاكُمْ.

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.” (QS. al-Isrā’: 31).

Sekilas, bunyi akhir pada penggalan ayat di atas tampak sama. Memang, dua ayat tersebut berbicara pada konteks yang sama, yaitu larangan membunuh anak karena alasan ekonomi. Keduanya memiliki sebab yang sama yakni takut miskin, hanya saja berbeda objek. Ayat pertama, objek yang dikhawatirkan miskin adalah orangtua. Sedangkan ayat kedua, objek yang dikhawatirkan miskin adalah anak.

Secara tersirat kedua ayat di atas hendak menampilkan fakta sosial yang terjadi pada zaman jahiliyyah. Tidak hanya tindak kejahatan sosialnya, tapi juga kejahatan akidah mereka tentang rezeki. Orang-orangtua pada zaman jahiliyyah secara gegabah meyakini, mereka adalah sumber rezeki bagi anak-anak mereka. Sehingga, jika mereka merasa tidak mampu menghidupi anaknya, dengan semena-mena mereka akan membunuhnya. Inilah bukti lain yang menunjukkan bahwa pemahaman yang tidak benar terhadap konsep rezeki dapat melahirkan sebuah tindak kejahatan.

Anak, secara kasat mata memang tampak hanya menunggu jatah dari orangtua. Tapi, orangtua tidak seharusnya terburu-buru meyakini bahwa dirinya adalah makhluk yang menciptakan rezeki bagi anaknya. Keyakinan dapat membentuk pola pikir seseorang, begitu juga sebaliknya, pola pikir juga dapat membentuk keyakinan. Oleh sebab itu, menata keyakinan dan pola pikir adalah kunci utama sebelum seseorang beramal.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *