4. Datangnya Dukungan dari Allah ta‘ālā.
Segala upaya kaum kafir dan musyrikin untuk mematahkan dan mengendorkan semangat dakwah tidak berhasil. Dakwah Rasūlullāh s.a.w. berjalan terus mengembangkan sayap dan memperluas jaringannya. Seluruh anggota keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib (kecuali Abū Lahab) kompak membela dan melindungi Muḥammad dari gangguan kaum Quraisy.
Lantas bagaimana dan upaya apa yang dilakukan kaum kafir Quraisy?
Kaum kafir Quraisy tidak mau terpaku diam menyaksikan perkembangan dakwah Muḥammad s.a.w. Bahkan kebencian di hati mereka semakin menjadi-jadi. Mereka berunding kembali dan akhirnya memutuskan untuk mengadakan pemboikotan terhadap keluarga Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib beberapa tahun lamanya sehingga Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya, termasuk para pelindungnya menderita kelaparan yang tiada tara, sampai-sampai mereka memakan daun-daunan.
Dalam sidang perundingan yang diputuskan secara formal dalam bentuk tertulis, mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka akan memboikot secara ketat Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Maththalib. Mereka tidak mengadakan hubungan jual-beli, kawin-mengawini, dan transaksi lain dengan kedua Bani tersebut. Surat pernyataan itu mereka gantung di dalam Ka‘bah.
Setelah tiga tahun pemboikotan dan pengepungan berjalan kaum muslimin tetap bertahan dengan keprihatinan mereka, padahal semula kaum Quraisy mengira dengan adanya pemboikotan kedua Bani tersebut akan meninggalkan Muḥammad dan Islam. Tetapi ternyata tidak. Bahkan surat keputusan rapat yang digantungkan mereka di dalam Ka‘bah telah habis dimakan rayap, tinggal tulisan yang berbunyi: Bismika Allāhumma (Dengan nama-Mu, Ya Allah) saja yang masih utuh.
Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan wahyu Rabb-ul-‘Ālamīn kepada pamannya, Abū Thālib bahwa Allah ta‘ālā telah mengirim pasukan rayap untuk memusnahkan surat pernyataan persekongkolan jahat itu, kecuali yang bertuliskan nama Allah saja yang tidak dimusnahkan-Nya. Abū Thālib menyampaikan keterangan keponakannya kepada kaum kafir Quraisy bahwa naskah (shaḥīfah) persekongkolan jahat itu tidak mendapat restu Allah, dan kini sudah dimusnahkan-Nya. Setelah kaum kafir Quraisy membuktikan hal itu maka akhirnya pemboikotan itupun dihentikan.
Namun penghentian pemboikotan itu bukan berarti pikiran jahat mereka sudah pulih. Beberapa bulan kemudian Rasūlullāh s.a.w. dikagetkan dengan terjadinya dua musibah besar dalam tahun itu yaitu wafatnya paman yang disayangi dan menyayanginya (Abū Thālib) dan istri tercintanya yang selalu siap melindungi dan mendukungnya, Khadījah. Rasūlullāh s.a.w. amat berduka dengan kepergian kedua orang itu sampai-sampai beliau menyebutkan tahun tersebut sebagai ‘Ām-ul-ḥazn (tahun kesedihan). Kini yang benar-benar dapat beliau harapkan baik di luar maupun di dalam rumah, hanyalah perlindungan dan kasih sayang Allah semata.
Setelah beliau kehilangan perlindungan paman dan istrinya, kaum Quraisy semakin berani dan brutal menghadang dirinya dan para sahabatnya. Gangguan Quraisy seakan tak pernah henti, bahkan semakin menjadi-jadi. Tetapi semua itu masih beliau hadapi dengan keteguhan, ketabahan, dan kesabaran. Namun akhirnya, sebagai manusia biasa, Rasūlullāh s.a.w. tidak tahan lagi dengan kekejaman Quraisy. Maka kemudian beliau keluar seorang diri ke negeri Thā’if dengan harapan di sana beliau bisa membujuk kabilah Bani Tsaqīf untuk memberikan perlindungan dan pembelaan dari keganasan kafir Quraisy. Tetapi sesampai di sana malah Rasūlullāh s.a.w. mendapatkan caci-maki dan lemparan batu dari orang-orang jahil sehingga kedua kaki beliau luka-luka. Untuk menghindari lemparan batu Rasūlullāh s.a.w. berlari hingga sampailah ia di sebuah kebun kepunyaan tiga orang bersaudara tokoh Thā’if, yakni ‘Utbah dan Syaibah bin Rabī‘ah. Nabi s.a.w. duduk berteduh di bawah pohon. Rasūlullāh s.a.w. sedih sekali memikirkan bagaimana kejam dan bodohnya hamba Allah menyambut dakwahnya padahal justru seruannya itu hendak menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
Rasūlullāh s.a.w. sudah berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin mengumandangkan dakwahnya, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Beliau telah berusaha meningkatkan kesabaran dan ketabahan. Sejak awal diberikan tugas tersebut beliau sudah menyatakan siap dan rela mati. Amanat penyampaian sudah dilakukan beliau dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Semua daya sudah ditempuh untuk mensukseskannya tanpa mengindahkan beratnya gangguan dan angkernya medan. Akan tetapi apa daya, sebagai seorang manusia yang dha‘if menghadapi angkara murkanya jahiliyyah. Tidak ada jalan lain di hadapannya selain mengangkat kedua tangan ke atas, menyerahkan diri dan kedha‘ifannya kepada Allah Maha Kuasa. Hanya kepada-Nya beliau mengeluhkan kezhaliman dan kejahilan penduduk bumi. Beliau mengadu kepada Allah.
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengeluhkan lemahnya kekuatanku, kurangnya dayaku, dan kehinaanku di mata orang-orang jahil. Ya Allah, ya arḥam-ar-Rāḥimīn, Engkaulah Pemelihara orang-orang mustadh‘afīn, dan Engkaulah Pemeliharaku. Kepada siapa gerangan Engkau telah melepaskan daku? Apakah kepada orang jauh yang memandangku dengan muka masam, atau kepada musuh yang sudah berhasil menguasai keadaanku? Namun, jika Engkau tidak gusar kepadaku, aku tidak peduli. Akan tetapi ampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan nur cahaya wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan dan mengendalikan masalah dunia dan akhirat. Jangan sampai aku terkena marah-Mu atau tertimpa murka-Mu. Hanya kepada-Mu aku mengeluhkan diri sehingga Engkau ridha. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.”
Kiranya dukungan langit memang sangat dibutuhkan Muḥammad s.a.w. untuk membuktikan kepadanya bahwa apabila penduduk bumi meninggalkannya, maka Allah ta‘ālā dan seluruh penghuni langit akan menyambutnya dengan mesra dan meriah. Allah telah berjanji kepadanya bahwa Dia tidak akan membiarkan rasul-Nya menderita duka-nestapa terus-menerus. Karena itulah Allah berfirman kepada beliau:
وَ اصْبِرْ وَ مَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللهِ وَ لَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَ لَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ. إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّ الَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَ.
“Bersabarlah (hai Muḥammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Naml: 127-128).
Setelah di Thā‘if, Rasūlullāh s.a.w. kembali lagi ke Makkah seorang diri seperti pada waktu ia keluar meninggalkan kota itu. Berita tentang adanya Rasūlullāh s.a.w. di Thā‘if sudah sampai terlebih dahulu kepada kaum Quraisy sebelum beliau tiba di Makkah. Gangguan mereka terhadap Rasūlullāh s.a.w. semakin meningkat.