1-4 Kaum Kafir Quraisy Semakin Kalap – Isra’ Mi’raj Mu’jizat Terbesar

Isra’ Mi‘raj Mu‘jizat Terbesar
Judul Asli: Al-Mu‘jizat-ul-Kubrā, al-Isrā’u wal-Mi‘rāj
Oleh: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: H. Salim Basyarahil
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: Bab I - Latar Belakang Diberikannya Mu‘Jizat Isra’ Mi‘Raj Kepada Rasulullah S.A.W.

3. Kaum Kafir Quraisy Semakin Kalap.

Dari hari ke hari kaum kafir Quraisy semakin kalap dan menggila. Mereka pergi ke Abū Thālib, paman Muḥammad s.a.w., memohon dengan sangat agar Muḥammad meninggalkan dakwahnya. Maka terjadilah dialog antara Muḥammad s.a.w. dengan pamannya. Rasūlullāh bersikeras tidak mau berkompromi dalam menyebarkan dakwah, apapun resiko yang dihadapinya. Ini merupakan puncak keimanan yang tidak mungkin digeser dan digoyahkan sedikitpun. Akhirnya pamannya menyerahkan masalah itu sepenuhnya kepada beliau. Katanya: “Kalau begitu terserah apa kehendakmu, wahai putra saudaraku. Demi Allah, aku tidak akan menekanmu untuk tunduk kepada apa yang tidak engkau kehendaki!”

Abū Thālib kemudian meminta kepada keluarga Bani Hāsyim dan keluarga Bani ‘Abd-ul-Muththalib supaya mereka bersedia melindungi Muḥammad dari tindakan jahat Quraisy. Ternyata seruannya itu mendapat sambutan spontan, kecuali dari Abū Lahab, paman Rasūlullāh yang memusuhi Islam dengan amat sangat.

Demikianlah, dalam menghadapi tindakan keji dan ancaman jahat dari kaum Quraisy, Rasūlullāh mendapat perlindungan dari kedua keluarga dekatnya (dari satu pihak), dan dari pihak lain pun, yakni dari istri tersayangnya, Khadījah, beliau mendapat dukungan dan perlindungan yang tiada duanya. Khadījah berhasil memberikan ketenangan di rumah. Tidak itu saja. Dia juga mendorong dan menunjang perjuangan Rasūlullāh dengan harta, dengan ucapan yang menentramkan dan membangkitkan semangat, dan tentu saja dengan segenap cintanya.

Sementara itu, tentu baiknya. Abū Bakar yang termasuk hartawan berusaha keras membeli hamba sahaya yang masuk Islam agar mereka terlepas dari tindakan kejam dan keji majikan-majikannya.

Rasūlullāh s.a.w. yang mendapat perlindungan dari Bani Hāsyim dan Bani ‘Abd-ul-Muththalib tidak terlepas dari tindakan brutal kaumnya. Kadang-kadang di jalanan yang dilewatinya, kaum Quraisy meletakkan kotoran hewan atau rintangan berduri untuk melukai beliau. Bahkan ketika sedang shalat di Ka‘bah terkadang Rasūlullāh disirami kotoran hewan dari belakang. Tetapi semua makar itu dihadapi beliau dengan penuh kesabaran dan dengan akhlak luhur.

Ketika gangguan kaum kafir Quraisy sudah tidak tertahankan lagi, Rasūlullāh memerintahkan kaum muslimin agar hijrah ke Ḥabasyah guna melarikan diri dari kezaliman dan menyelematkan agamanya dari kebuasan orang-orang jahil. Namun pada saat itulah Ḥamzah bin ‘Abd-il-Muththalib masuk Islam, dan tak lama kemudian menyusul ‘Umar bin-ul-Khaththāb. Di kota Makkah kedua tokoh itu termasuk orang yang disegani dan ditakuti karena kekuatannya, kegagahannya, dan keberaniannya dalam medan pertempuran. ‘Umar bin Khaththāb pulalah yang pertama berani shalat di serambi Makkah. Sebelumnya kaum muslimin bila melakukan shalat hanya di Syi‘ab Makkah karena takut dari tindakan jahat kafir Quraisy. Maka pada waktu itu juga Rasūlullāh s.a.w. mulai menyeru, memperkenalkan dan mengajak para kabilah yang datang ke Makkah (baik yang bertujuan hendak berhaji, ber‘umrah atau berdagang) untuk menganut dan memeluk Islam.

Kaum kafir Quraisy semakin takut melihat perkembangan Islam yang sudah mulai dikenal oleh orang luar kota Makkah. Mereka mulai kalap dan menuduh Muḥammad s.a.w. dengan berbagai tuduhan murah. Mereka menuding Muḥammad sebagai seorang penyihir, penyair, peramal ulung dan bermacam-macam tuduhan palsu yang justru menjatuhkan nama mereka sendiri.

Kalau Rasūlullāh s.a.w. memang seorang penyihir, tentu ia mampu menyihir tokoh-tokoh Quraisy sebab bukankah orang yang disihir tidak punya kemampuan melawan si penyihir? Kalau Rasūlullāh memang seorang penyair, tentu sejak mudanya dia sudah terkenal sebagai penyair, tidak menunggu sesudah usianya mencapai empat puluh tahun untuk mendendangkan syair-syairnya. Dan kalau dia seorang peramal yang bisa menyusun Qur’ān tentu susunan yang dilakukannya selama dua puluh tiga tahun itu akan banyak berselisih satu dengan yang lainnya. Karena itulah Allah menjelaskan lewat firman-Nya:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān? Kalau sekiranya al-Qur’ān itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisā’: 82).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *