1-3 Mengapa Tindak Kekejaman Kaum Kafir Terus Berlanjut? – Isra’ Mi’raj Mu’jizat Terbesar

Isra’ Mi‘raj Mu‘jizat Terbesar
Judul Asli: Al-Mu‘jizat-ul-Kubrā, al-Isrā’u wal-Mi‘rāj
Oleh: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: H. Salim Basyarahil
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: Bab I - Latar Belakang Diberikannya Mu‘Jizat Isra’ Mi‘Raj Kepada Rasulullah S.A.W.

3. Mengapa Tindak Kekejaman Kaum Kafir Terus Berlanjut?

Tindakan penyiksaan kepada semua orang yang beriman dengan risalah Muḥammad s.a.w. berjalan terus, tetapi tidak seorang mu’min pun yang mau murtad dari keimanannya. Bahkan keimanan mereka semakin kuat dan membaja. Mereka yang disiksa bahkan tidak gentar untuk terus mengulang-ulang kalimat tauhid: “Ahad…. Ahad…. Ahad. Allah Maha Satu, Allah Maha Satu!” Bahkan kalimat itu menjadikan goyah iman orang-orang kafir dari keberhalaannya.

Karena tindak kekerasan dan penyiksaan tidak berhasil membungkam mulut kaum mu’min maka mereka semakin bertindak keras dan ganas. Namun sementara itu, mata langit mengintai dengan cermat apa yang terjadi terhadap orang-orangnya yang tiada berdaya dan berdosa. Karena itulah Allah memberitahukan janji-Nya kepada Muḥammad s.a.w.

Golongan (orang kafir/musyrik) itu akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar”: 45).

Rasūlullāh s.a.w. membacakan ayat itu di depan para sahabatnya. Lalu ‘Umar bertanya: “Golongan yang mana, ya Rasūlullāh? Bukankah jumlah kami masih sedikit, lemah dan terhina?” Tetapi beberapa tahun kemudian, dalam perang Badar melawan kaum kafir, pasukan kaum muslimin dapat mengalahkan mereka padahal jumlah personil dan perlengkapan senjata kaum kafir jauh lebih besar dan lebih canggih dibanding yang dimiliki kaum muslimin. Pada perang Badar lebih dari tujuh puluh orang tokoh kaum kafir Quraisy tewas dan sebanyak itu pula jumlah pasukan kafir yang dapat ditawan kaum muslimin.

Mendapatkan kenyataan ini ‘Umar bin Khaththāb r.a. berdiri tertegun. Dia teringat akan janji Allah ta‘ālā yang pernah disampaikan Rasūlullāh kepadanya. Tiba-tiba dia berkata: “Nanti gerombolan kaum kafir akan dikalahkan dan mereka akan melarikan diri. Maha Benar Engkau, Ya Rabbku!”

Dari uraian peristiwa-peristiwa di atas, kini timbul pertanyaan, apakah Allah s.w.t. tidak mampu memenangkan agama dan rasul-Nya sejak awal dakwah? Apakah Allah tidak berkuasa menjadikan tokoh-tokoh Quraisy sebagai orang pertama yang memeluk Islam?

Sesungguhnya Allah s.w.t. ingin menunjukkan bahwa orang-orang muslim yang pertama adalah orang-orang teladan dalam keimanannya. Mereka tidak mudah tergoda dunia, tidak tergiur oleh harta dan wanita, tidak terbujuk kuasa dan mahkota, serta tidak menyerah selain kepada kehendak Allah s.w.t. Karena itulah Allah membuat mereka sedikit jumlahnya, sedikit harta-bendanya dibandingkan dengan yang dimiliki lawan-lawannya. Dalam masyarakat mereka tergolong rendah dan lemah. Dengan adanya ujian dari Allah tersebut maka otomatis orang-orang yang mau masuk ke dalam ad-Dīn-ul-Ḥaqq tersaring ketat. Yang masuk ke dalamnya hanyalah orang-orang yang benar-benar ikhlas dan jujur, yang siap mengorbankan harta dan sanak-keluarganya, bahkan rela mati demi menegakkan kalimat-Nya. Karena itulah, kaum muslimin generasi pertama mendapat amanat dari Allah untuk membawa dan menyebarkan ajaran-Nya ke seluruh pelosok dalam keadaan bersih dan murni. Ad-Dīn-ul-Ḥaqq tidak boleh tercemar dengan ambisi dan pamrih duniawi. Karenanya, pikiran dan qalbu kaum muslimin generasi pertama harus dibersihkan dari kepentingan-kepentingan duniawi meskipun hanya sebesar dzarrah. Merekalah yang membuka pintu negara dunia dan mempersembakan warisan Rasūlullāh s.a.w. kepada seluruh umat manusia. Merekalah yang akan membuka pintu negara dan istananya. Kalau saja pikiran dan qalbunya sudah terkotori oleh ambisi dan kecintaan pada dunia tentu dakwah sudah berakhir pada awal langkah mereka.

Kalau panji Islam dikibarkan pertama-tama oleh seorang tokoh dunia, oleh seorang hartawan, atau seorang pejabat, tentu banyak orang yang menyambutnya dengan antusias tapi dengan berbagai cara nifaq dan riya’. Tentu orang akan menyambut seruan mereka karena ingin “mengambil hati”nya, seperti yang dilakukan kaum munafiq yang mengipas-ngipas dan meniup-niup para penguasa dunia lainnya. Mereka memasuki agama ini karena ada kepentingannya, tapi juga akan segera meninggalkannya bila ada ujian menghadang.

Karena itulah, maka Allah membebankan medan dakwah ad-Dīn-Nya pada orang-orang yang Dia benar-benar Maha Tahu akan keikhlasan dan keteguhannya. Allah ta‘ālā amat sangat tidak ingin ad-Dīn-Nya dibawa oleh orang-orang munafiq. Tentu mereka akan menjadikan ad-Dīn itu sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Tentu mereka akan melakukan transaksi kepada siapa yang sanggup membayar lebih tinggi. Tidak! Allah sama sekali tidak menginginkan hal itu. Allah hanya ingin yang membawa ad-Dīn-Nya adalah orang-orang yang benar-benar beriman, yang tidak mau memperjual-belikan ad-Dīn-Nya dan menukarnya dengan dunia. Allah menghendaki orang-orang yang lebih takut kepada-Nya daripada kepada orang lain. Mereka yang dengan gagah-berani memaklumkan kalimat kebenaran tanpa rasa takut dan ngeri kepada siapapun selain kepada Allah. Yang tidak mudah tergelincir dan tertipu oleh kesenangan duniawi yang sementara.

Karena itulah, tahun-tahun pertama pengembangan Islam dapat disebut juga sebagai tahun-tahun penyaringan dan pembersihan keimanan yang jujur. Pada waktu itu orang yang memeluk Islam tidak memperoleh kesenangan dunia sedikitpun, bahkan mereka memperoleh sebaliknya. Mereka dikejar-kejar dan disiksa dengan perbagai siksaan baik fisik, moral dan mentalnya. Namun karena iman yang mendekam dalam lubuk hatinya bukan iman orang-orang munafiq, maka mereka menerima semua resiko itu dengan sabar dan tawakkal. Itulah kiranya yang dikehendaki Allah s.w.t.

Aqidah yang jujur tidak hanya diucapkan dengan kata-kata, akan tetapi dibuktikan dengan amaliyah yang ikhlas. Ujian praktek merupakan bukti hakiki dari apa yang terpendam dalam lubuk jiwa manusia. Karena itulah, Allah ta‘ālā senantiasa meminta bukti dari orang yang telah menyatakan keislamannya dan menjadi prajurit ad-Dīn-Nya lewat firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوْا وَ لَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَ لَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَ لَا رَسُوْلِهِ وَ لَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً وَ اللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taubah: 16).

Demikianlah kisah awal bergerak dan berkembangnya Islam, dan begitulah kaum muslimin generasi pertama menghadapi ujian berat berupa penyiksaan, peperangan dan bahkan pembunuhan sebagai konsekuensi logis dari keimanannya. Itulah salah satu bukti yang harus mereka perlihatkan sebagai jundullāh, sebagai penyandang amanat dakwah yang harus mengumandangkannya ke seluruh penjuru. Itulah juga yang diinginkan Allah ta‘ālā dari kaum muslimin untuk ad-Dīn-Nya supaya tetap bersih dari tangan orang-orang munafiq yang imannya rapuh sehingga penyandang ad-Dīn ini hanya terdiri dari orang-orang yang imannya kuat dan keikhlasannya tinggi, yang tahan bantingan dan ujian seperti yang dikehendaki-Nya.

Rasūlullāh s.a.w. dan kaum muslimin (generasi pertama) yang menyertainya sudah cukup berat menerima ujian. Ketabahan mereka sudah cukup tinggi. Maka pantaslah bila Allah ta‘ālā menyatakan mereka Radhiyallāhu ‘anhum wa radhū ‘anhu. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun telah menyatakan ridha kepada Allah. Setiap kali menghadapi gangguan dan rintangan berat dari musuh-musuhNya, setiap itu pula keimanannya kepada Allah dan kepada janji-janjiNya semakin kuat dan keras. Dari tangan merekalah kita menerima warisan itu dalam keadaan putih-bersih karena qalbu mereka yang suci-murni.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *