Pada malam yang berkeberkahan dukungan langit pun datanglah, dan waktu itulah sebuah mu‘jizat besar terjadi pada diri Rasūlullāh, yaitu Mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj.
Sebelum memulai pembicaraan tentang Isrā’ dan Mi‘rāj Rasūlullāh, terlebih dahulu perlu memaparkan ayat pertama dari surat al-Isrā’ untuk anda renungkan:
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا.
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada malam hari Masjid-il-Ḥarām (di Makkah) ke Masjid-il-Aqshā (di Bait-ul-Maqdis).” (QS. al-Isrā’: 1).
Surat tersebut dimulai dengan kata Subḥāna, yang artinya Maha Suci Allah. Ini suatu ucapan pemujaan terhadap kemahaan Allah yang tiada bandingnya dalam berbagai sifat dan perbuatan-Nya. Suatu pemujaan terhadap pemujaan-Nya yang mutlak dari kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun. Allah s.w.t. ada, anda pun ada kini. Tetapi apakah keberadaan anda sama dengan keberadaan Allah ‘azza wa jalla?
Allah s.w.t. mendengar, dan anda pun mendengar. Tetapi apakah pendengaran anda sama dengan pendengaran Allah ta‘ala? Allah memiliki dzat, dan anda pun memiliki. Namun, mungkinkah kedua dzat itu diperbandingkan?
Dari hal tersebut, di atas itulah titik tolak terjadinya mu‘jizat ini. Kalau pelakunya Allah ta‘ālā, maka tidak mungkin memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan manusia. Segala yang dilakukan Allah ada di luar daya kekuatan manusia dan di atas daya jangkau akal manusia. Karena itulah, kalau Allah ta‘ālā melakukan apapun jangan anda bertanya karena daya jangkau akal anda tidak akan dapat menjangkau berbagai rahasia perbuatan-Nya. Allah s.w.t. melakukan apa yang dikehendaki-Nya tanpa dibatasi oleh berbagai hukum karena Dialah yang menciptakan hukum. Allah tidak membutuhkan hukum kausalitas karena Dia sendirilah yang menciptakan sebab dan akibat.
Allah ta‘ālā tiada tara dan tidak ada yang menyamai-Nya. Semua makhluk-Nya tunduk kepada kehendak-Nya. Akan tetapi Dia tidak tunduk kepada kehendak makhluk-Nya karena dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya dia atas semuanya. Karena itulah semua ayat-ayat Allah tidak tunduk kepada berbagai hukum alam.
Allah ta‘ālā telah memberikan contoh yang banyak sekali tentang itu. Dia telah membatalkan berbagai hukum yang berlaku terhadap para rasul dan nabi-Nya sebagai mu‘jizat untuk membuktikan kebenaran risalah yang dibawa mereka.
Api memiliki sifat membakar. Namun, ketika orang kafir menangkap dan melempar Ibrāhīm a.s. ke dalam api ternyata api berubah sifat menjadi dingin, khusus untuk Ibrāhīm. Allah ta‘ālā tidak menyuruh Ibrāhīm bersembunyi atau lari dari kaumnya atau diturunkan hujan lebat ketika mereka hendak membakarnya. Kalau Allah ta‘ālā melakukan demikian tentu kaum kafir akan mengolok-olok Ibrahim dengan ucapan: “Kalau Ibrāhīm tidak bersembunyi atau tidak ada hujan tentu sudah hangus terbakar.” Akan tetapi Allah tidak melakukan demikian. Allah membiarkan Nabi Ibrāhīm tertangkap dan dibakar. Di balik peristiwa ini tentu ada hikmah mahatinggi yang hendak diperlihatkan-Nya kepada umat-Nya yang ingkar. Api yang berkobar-kobar tidak mampu membakar tubuh Ibrāhīm a.s. Ini disebabkan karena pada waktu itu Allah, Pencipta api memerintahkan kepada api-Nya seperti yang tertulis dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:
يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَ سَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيْمَ.
“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrāhīm.” (QS. al-Anbiyā’: 69).
Demikianlah Allah ta‘ālā mengangkat sifat api yang membakar itu bagi rasul-Nya, Ibrāhīm. Tentun tidak ada seorangpun, yang bisa bertanya bagaimana hak tersebut dapat terjadi karena semua di luar jangkauan daya pikir manusia. Namun ada pula orang yang memaksakan diri menanyakan dan menganalisa hal tersebut. Kami yakin, pasti dia tidak akan menemukan jawaban yang diinginkannya karena mu‘jizat itu perbuatan Allah ta‘ālā. Mu‘jizat diciptakan Allah di atas tingkat akal dan pikiran manusia. Walaupun sampai hari kiamat, manusia tetap tidak akan bisa menemukan jawaban sesuai yang diinginkan dan dijangkaunya. Begitu pula halnya dengan mu‘jizat yang diberikan Allah kepada Mūsā a.s. ketika ia dan pengikutnya melarikan diri dari pasukan Fir‘aun. Fir‘aun dan pasukannya berada di belakang (mengejar Nabi Mūsā). Lautan membentang di hadapan Mūsā dan kaumnya. Ketika berjalan mereka melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan barisannya sehingga kaum Nabi Mūsā menggigil ketakutan.
Di dalam al-Qur’ān-ul-Karīm Allah ta‘ala menuangkan riwayat abadi ini lewat untaian firman-Nya:
فَلَمَّا تَرَاءَا الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوْسَى إِنَّا لَمُدْرَكُوْنَ.
“Maka tatkala kedua belah pihak (pasukan Fir‘aun dan kaum Nabi Mūsā) saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Mūsā: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” (QS. asy-Syu‘arā’: 61).
Sebagai manusia perkataan kaum Nabi Mūsā itu tidak salah karena mereka hanya menggunakan akal dan logika. Akan tetapi, Mūsā sebagai Nabi Allah yang diutus oleh-Nya yakin dengan sepenuh keyakinan bahwa hukum kausal tidak berlaku sendiri, pasti ada yang memberlakukannya. Karena itulah ketika kaumnya cemas dan ketakutan melihat pasukan Fir‘aun semakin dekat dengan mereka. Mūsā menjawab dengan tegas:
قَالَ كَلَّا، إِنَّ مَعِيَ رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ.
“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. asy-Syu‘arā’: 62).
Mūsā begitu yakin kalau Allah tidak akan membiarkan dia berjuang sendirian tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Dan ternyata, pada saat-saat seperti itu datanglah dukungan dari Allah yang mewahyukan agar dia memukul tongkatnya ke lautan.
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوْسَى أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ، فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ.
“Lalu Kami wahyukan kepada Mūsā: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. asy-Syu‘arā’: 63).
Mūsā yakin, bila ikhtiyar bumi sudah menemui jalan buntu, maka Pencipta ikhtiyar akan datang dengan mu‘jizat yang mempesona. Tidak seorang pun yang bisa memukul laut dengan tongkat lalu laut itu terbelah dan bagaikan dua buah gunung yang menjulang tinggi.
Begitu pula dengan mu‘jizat ‘Īsā a.s. ketika dia menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang berpenyakit kulit (belang), memulihkan orang buta, menurunkan hidangan dari langit, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan mu‘jizat Allah ta‘ālā. Pencipta sebab akibat. Anda tidak akan menemukan orang yang bisa yang menghidupkan orang mati atau menyembuhkan orang sakit seperti itu hanya dengan isyarat saja. Semua pekerjaan tersebut tidak ada penjelasan analisanya karena memang bukan orangnya yang melakukan dan menciptakan pekerjaan itu, tetapi atas kemahakuasaan Allah ta‘ālā semua pekerjaan itu terjadi. Karena itu dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kita sering kali menemukan kata Subḥāna dalam melukiskan kemahakuasaan Allah. Akal manusia tidak mampu memikirkan dan menjangkaunya sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya.
سُبْحَانَ الَّذِيْ خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ مِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ.
“Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yāsīn: 36).
Mustahil manusia dapat mengetahui rahasia penciptaan, baik penciptaan langsung dari Allah maupun melakukan hukum kausalitas lelaki dan perempuan. Yang pasti, rahasia kehidupan itu hanya diketahui oleh Allah ta‘ālā. Karena itulah adakalanya Allah membukakan ilmu-Nya kepada manusia sehingga kita bisa menciptakan berbagai hal di dalam alam ini, seperti membuat pesawat luar angkasa yang bisa membawa manusia ke bulan, membuat otak elektronik atau komputer yang bisa menggerakkan suatu unit perusahaan, dan sebagainya. Namun yang jelas segala sesuatu tetap pada tingkat penciptaannya, tidak berubah, bentuknya tidak berbeda. Manusia manapun tidak akan mampu membuat sesuatu yang namanya berpasang-pasangan dalam arti yang sebenarnya, yang produknya berkembang dan membesar terus. Karena itulah, dengan kata Subḥāna dalam firman-Nya seolah-olah Allah hendak mengatakan kepada kita bahwa akal manusia akan terhenti hanya sampai di situ, tidak akan mampu melampauinya!