BAB I
LATAR BELAKANG DIBERIKANNYA MU‘JIZAT ISRĀ’ MI‘RĀJ KEPADA RASŪLULLĀH S.A.W.
Allah s.w.t. mendukung Rasūl-Nya, Muḥammad s.a.w. dengan berbagai mu‘jizat. Mu‘jizat itu sebagian besar bersifat materi, yang bisa dilihat oleh semua orang, seperti memancarnya air dari sela-sela jari Rasūlullāh, datangnya awan yang berarak memayungi perjalanannya di siang hari yang terik, retaknya bulan, dan lain-lain. Akan tetapi ada mu‘jizat terbesar yang belum pernah diberikan dan diperlihatkan kepada siapapun namun hanya diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu kepergian Rasūlullāh s.a.w. ke Sidrat-ul-Muntahā (langit tertinggi). Bahkan Rasūlullāh telah melampauinya untuk melihat ayat-ayat Allah di seluruh langit-Nya. Malaikat Jibrīl a.s. saja yang merupakan malaikat terbesar dan terdekat dengan Allah ta‘ālā tidak berani memasuki tempat itu. Hingga di Sidrat-ul-Muntahā, malaikat Jibrīl berhenti dan menyuruh Rasūlullāh s.a.w. maju seorang diri. Jibrīl berkata kepada beliau: “Majulah, ya Rasūlullāh! Kalau aku melampaui perbatasan ini dan maju bersamamu, aku akan terbakar hangus!”
Buku ini berbicara tentang mu‘jizat terbesar yang khusus diberikan kepada Rasūlullāh s.a.w., yaitu Isrā’ dan Mi‘raj. Tidak seorang nabi pun yang mendapatkan mu‘jizat ini. Belum pernah ada seorang nabi pun yang naik ke atas langit hingga mencapai Sidrat-ul-Muntahā (bahkan melampauinya), kemudian kembali ke bumi pada malam itu juga untuk meneruskan kehidupan rutinnya di muka bumi, selain Muḥammad Rasūlullāh s.a.w.
Sebelum kami berbicara tentang mu‘jizat besar ini, kami akan mengisahkan kepada anda peristiwa-peristiwa yang mendahului mu‘jizat tersebut yang menyebabkan mu‘jizat itu terjadi.
Rasūlullāh s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir Allah s.w.t. telah dipersiapkan secara Ilāhiyyah oleh Allah ta‘ālā untuk mengemban risalah yang besar yakni risalah terakhir langit untuk bumi. Allah menjadikan Muḥammad s.a.w. seorang yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak ada orang yang bisa menuduh bahwa beliau “meniru dan mengutip” mu‘jizat itu dari peradaban umat-uamt yang lalu, atau dia belajar ilmu dari seorang guru. Allah s.w.t. menginginkan hanya Dialah satu-satunya yang menjadi guru Muḥammad s.a.w. Allah ingin ilmu yang diperoleh rasul-Nya itu langsung dari sisi-Nya, tanpa campur tangan peradaban bumi. Hal ini saja sudah merupakan suatu mu‘jizat.
Demikianlah, Muḥammad s.a.w. dibesarkan tanpa belajar dan tanpa seorang guru. Ini tidak seperti halnya anak-anak sebayanya. Muḥammad s.a.w. tidak tahu perihal dunia sedikitpun. Selama hidupnya beliau tidak pernah membaca satu huruf pun. Karena itulah, ketika malaikat Jibrīl datang menyuruhnya “Iqrā’ (bacalah!)”, Muḥammad langsung menjawab: “Mā ana bi-qāri’ (aku tidak pandai membaca)!” Beliau menjawab dengang tulus dan polos. Tetapi Jibrīl memeluknya erat-erat seraya berkata lagi, “Iqrā’”, dan Rasūlullāh mengulangi kembali jawabannya: “Mā ana bi-qāri’!”. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang hingga tiga kali.
Timbul pertanyaan di sini, apakah Allah ta‘ālā yang mengirim malaikat Jibrīl tidak tahu bahwa Muḥammad s.a.w. tidak pandai membaca dan menulis? Mengapa Muḥammad masih disuruh membaca? Bukankah Dia juga yang memilihnya menjadi seorang nabi yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Bahkan ciri-cirinya sudah diumumkan dalam kitab Taurāt dan Injīl, sejak Nabi Mūsā dan ‘Īsā a.s., jauh sebelum Muḥammad hidup di muka bumi.
Perhatikanlah firman-Nya dalam al-Qur’ān-ul-Karīm:
الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلً النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْجِيْلِ.
“Mereka yang mengikut Rasūl, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurāt dan Injīl…..” (al-A‘rāf: 157).
Ayat itu melukiskan kisah bangsa Yahudi yang menyembah anak lembu (sapi) dan bagaiman Mūsā a.s. telah memilih tujuh orang dari kaumnya. Kata Ikhtāra (bahwa yang dilakukan Mūsā itu adalah suatu kerja pilihan) artinya: “harus menggunakan akal pikiran”. Mūsā memilih “ikhtāra” tujuh puluh oleh lelaki yang diambil satu persatu dari setiap suku bangsa Yahudi sehingga semua suku Yahudi terwakili. Pada waktu yang ditetapkan, Mūsā a.s. akan memenuhi undangan Allah ta‘ālā. Allah ingin mengingatkan nabi-Nya, Mūsā a.s. tentang besarnya dosa kaumnya yang menyembah anak lembu (sapi). Karena itulah mereka dihukum dengan suatu gempa bumi yang dahsyat hingga menggocangkan seluruh persendian tubuh mereka, seolah-olah nyawa telah meninggalkan tubuh mereka masing-masing. Gempa yang ditimpakan Allah itu merupakan hukuman kepada orang yang menyembah dan menontoni keberkahan kepada anak lembu (sapi). Juga bencana dan adzab yang ditimpakan kepada orang yang tidak berusaha mencegah.
Pada waktu itulah Mūsā a.s. memohon kepada Rabbnya. Katanya: “Ya Rabbi, wahai Pengasih dan Penyayang! Apakah kami akan ditewaskan karena perbuatan sesat orang-orang bodoh itu? Ya Rabbi, berilah kami karunia rahmat-Mu di dunia dan di akhirat.”
Maka pada saat itu Allah s.w.t. memberitahukan kepada Mūsā a.s. tentang rahmat-Nya yang telah diberikan kepada orang yang mengikuti dan mematuhi Rasūl dan Nabi-Nya yang ummi. Allah memerintahkan agar “pemberitahuan” itu disampaikan kepada umatnya.
Dari kisah tersebut tahulah kita bahwa Allah ta‘ālā sejak azali telah memilih Rasūl-Nya yang ummi. Inipun merupakan salah satu mu‘jizat Rasūlullāh s.a.w. lainnya yang mengandung hikmah agar jangan ada orang yang menuduhnya telah mendapat ilmu dari Ahli Kitab atau membacanya dari kitab orang-orang terdahulu.
Yang dikatakan Jibrīl kepada Muḥammad s.a.w. pada pertemuan yang pertama kali itu tidak terlepas dari wahyu Jibrīl dikirim Allah untuk menyampaikan firman-Nya:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5).
Dengan mu‘jizat-Nya itu Allah ta‘ālā ingin menarik perhatian kita bahwa Rasūl-Nya yang ummi, Muḥammad s.a.w. akan diajari-Nya sendiri supaya dapat menjadi guru seluruh umat manusia hingga akhir jaman.