***
Tanggapan pernyataan al-Fākihānī di bagian kedua dan seterusnya: pernyataan tersebut memang benar, hanya saja larangan yang ada adalah disebabkan karena adalah hal-hal terlarang yang terdapat dalam perayaan Maulid, bukan dari sisi perkumpulan untuk memperlihatkan syiar Maulid.
Lebih dari itu, jika hal-hal tersebut terjadi dan dilakukan saat Shalat Jum‘at tentu lebih tercela lagi. Hal serupa juga bisa kita lihat (dapat terjadi) saat shalat Tarawih di malam-malam bulan Ramadhān, lantas apakah berkumpul untuk shalat Tarawih yang merupakan amalan sunnah dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. tersebut dianggap sebagai tindakan tercela? Tentu tidak.
Hukum asal berkumpul untuk shalat Tarawih adalah sunnah dan ibadah, sementara adanya hal-hal menyimpang yang terjadi adalah sebagai keburukan yang tercela. Seperti itu juga hukum asal berkumpul untuk memperlihatkan syiar Maulid adalah dianjurkan dan sebagai amalan ibadah, adapun hal-hal terlarang yang terjadi di perayaan Maulid adalah sesuatu yang tercela dan terlarang.
***
Pernyataan al-Fākihānī, bahwa bulan Rabī‘-ul-Awwal saat Nabi s.a.w. lahir merupakan bulan yang sama saat beliau wafat. Merasa senang pada bulan tersebut tidaklah lebih diutamakan dari rasa sedih. Inilah yang harus kami jelaskan, semoga Allah s.w.t. berkenan menerimanya.
Tanggapan:
Pertama, kelahiran Nabi s.a.w. merupakan nikmat terbesar dan wafatnya beliau adalah musibah terbesar bagi kita.
Syariat mendorong untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta menyembunyikan kesedihan saat tertimpa musibah. Syariat memerintahkan ‘aqīqah saat anak lahir. ‘Aqīqah tidak lain untuk memperlihatkan rasa syukur dan senang karena kelahiran anak, sementara itu syariat tidak memerintahkan kita untuk menyembelih hewan saat kematian atau yang lain, bahkan Islam melarang meratapi dan memperlihatkan rasa sedih.
Karena itu, kaidah-kaidah syariat menunjukkan, pada bulan Rabī‘-ul-Awwal dianjurkan untuk memperlihatkan rasa senang atas lahirnya Nabi s.a.w., bukan menampakkan kesedihan karena wafatnya beliau s.a.w.
(Ini berbeda dengan ketika) Ibnu Rajab menjelaskan dalam al-Lathā’if berisi celaan terhadap kalangan Rāfidhah yang menjadikan hari ‘Āsyurā’ sebagai perkumpulan mengingat terbunuhnya al-Ḥusain. Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya tidak menyuruh untuk membuat perkumpulan mengingat kematian dan musibah yang menimpa para nabi, lantas bagaimana halnya dengan manusia lain yang lebih rendah derajatnya dari para nabi.
***
Imām Abū ‘Abdillāh bin Ḥajj menjelaskan dalam al-Madkhalu ‘alā ‘Amal-il-Maulid, kesimpulannya: Perayaan Maulid bagus adanya ketika menampakkan syiar dan syukur, namun tercela ketika mengandung hal-hal yang terlarang dan mungkar.
Berikut kami sampaikan penjelasan Imām Abū ‘Abdullāh bin Ḥajj, pasal demi pasal.
Di antara serangkaian bid‘ah yang dibuat-buat banyak orang dengan keyakinan sebagai ibadah agung dan menampakkan syiar adalah perayaan Maulid yang mereka selenggarakan di bulan Rabī‘-ul-Awwal.
Perayaan ini mengandung sejumlah bid‘ah dan perbuatan-perbuatan terlarang, seperti menggunakan nyanyian yang disertai alat-alat musik. Mereka menghabiskan waktu dengan kebiasaan-kebiasaan tercela karena mereka sibuk dengan banyak sekali perbuatan yang sebagian besarnya adalah bid‘ah dan terlarang pada waktu yang dimuliakan Allah s.w.t.
Nyanyian pada malam tersebut jelas mengandung banyak sekali keburukan, terlebih ketika dikaitkan dengan kemuliaan bulan agung ini kala Allah s.w.t. memberi kita kemuliaan dengan lahirnya Nabi s.a.w. Apa hubungannya antara alat-alat musik dengan bulan mulia, bulan kala Allah s.w.t. memberi karunia besar kepada kita dengan lahirnya pemimpin manusia pertama dan terakhir?
Selayaknya yang lebih ditingkatkan pada bulan tersebut adalah ibadah dan amal baik sebagai wujud rasa syukur kepada Allah s.w.t. yang memberi nikmat agung tersebut pada kita meski Nabi s.a.w. tidak meningkatkan amal ibadah pada bulan Rabī‘-ul-Awwal melebihi bulan-bulan lain. Itu semata tidak lain sebagai bukti kasih-sayang Rasūlullāh s.a.w. kepada umatnya, karena beliau sengaja meninggalkan suatu amalan karena takut akan diwajibkan bagi umat.
Meski begitu, Rasūlullāh s.a.w. mengisyaratkan pada kemuliaan bulan agung ini melalui sabda yang beliau sampaikan pada orang yang bertanya tentang puasa Senin: “Itulah hari kelahiranku.” Kemuliaan yang diberikan pada hari tersebut mencakup kemuliaan pada bulan di mana Rasūlullāh s.a.w. dilahirkan. Karena itu kita layak memuliakannya dengan benar berdasarkan sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Aku pemimpin keturunan ādam dan bukanlah suatu kebanggaan. Ādam dan orang-orang yang (derajatnya) ada di bawahnya berada di bawah panjiku.”
Keutamaan waktu dan tempat-tempat tertentu yang diutamakan Allah s.w.t. sebagai waktu utama untuk melakukan amal ibadah tidaklah terkait pada waktu dan tempat secara esensi, tapi terkait dengan makna-makna yang terkandung secara khusus. Perhatikan keistimewaan yang Allah s.w.t. berikan pada bulan Rabī‘-ul-Awwal dan hari Senin, bukankah puasa pada hari Senin merupakan keutamaan besar karena pada hari itu Rasūlullāh s.a.w. dilahirkan.
Karena itu, ketika bulan Rabī‘-ul-Awwal tiba, kita harus memuliakan, mengagungkan, dan menghargai dengan sepantasnya untuk Rasūlullāh s.a.w. sebagai wujud mengikuti sunnah beliau mengkhususkan waktu-waktu mulia dengan lebih banyak berbuat baik dan memperbanyak amal ibadah. Perhatikan perkataan Ibnu ‘Abbās: “Rasūlullāh s.a.w. adalah manusia yang paling derma (membagikan) kebaikan, dan beliau paling mulia pada bulan Ramadhān.” Karena itu mari kita muliakan waktu-waktu utama dengan melakukan amal baik sebisanya seperti yang dicontohkan Rasūlullāh s.a.w..
Jika dikatakan, Rasūlullāh s.a.w. meningkatkan intensitas ibadah pada waktu-waktu utama seperti yang sama kita ketahui namun bulan Rabī‘-ul-Awwal tidak termasuk di antara waktu-waktu utama tersebut.
Tanggapan: seperti yang sama kita ketahui dari kebiasaan mulia Rasūlullāh s.a.w., beliau ingin meringankan umat terlebih terkait dengan amalan-amalan khusus bagi beliau. Bukankah Rasūlullāh s.a.w. mengharamkan Makkah, meski demikian, Rasūlullāh s.a.w. tidak memberlakukan hukuman bagi yang membunuh hewan buruan di Makkah ataupun bagi yang menebang pohon di Makkah ataupun bagi yang menebang pohon di Madīnah demi meringankan umat di samping sebagai wujud kasih-sayang beliau s.a.w.
Rasūlullāh s.a.w. mempertimbangkan sisi beliau, meski suatu amalan yang bernilai utama bagi beliau namun sengaja beliau tinggalkan demi meringankan umat.
Berdasarkan hal tersebut, memuliakan bulan Rabī‘-ul-Awwal adalah dengan meningkatkan amal-amal shalih, sedekah, dan ibadah lain. Bagi yang tidak mampu minimal menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang terlarang demi memuliakan bulan tersebut. Meski hal tersebut dituntut di bulan lain, namun pada bulan ini lebih ditekankan seperti halnya di bulan Ramadhān dan di bulan-bulan haram. Jauhi tindakan membuat-buat hal baru dalam agama, bid‘ah, dan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya.
Sebagian orang di saat ini justru melakukan hal sebaliknya. Ketika bulan agung ini tiba, mereka dengan segera hanyut dalam kelalaian dan permainan, tidak ada pekerjaan lain selain menyanyi. Lebih dari itu, sebagian di antara mereka mengaku terpelajar dan memulai acara Maulid dengan membaca al-Qur’ān dan melakukan berbagai tindakan yang menyenangkan dengan dalih meniru orang yang lebih berilmu. Ini jelas merupakan kerusakan.
Tidak sebatas sampai di sana saja, bahkan sebagian lainnya melakukan sesuatu yang berbahaya, yaitu pemuda tampan ditunjuk sebagai penyanyi dengan bentuk fisik dan busana yang menawan untuk selanjutnya melantunkan lagu-lagu penyulut hawa-nafsu yang tercermin pada suara dan gerakan hingga tidak sedikit kalangan lelaki dan perempuan yang tergoda hingga semuanya terkena fitnah dan jatuh dalam kerusakan. Pada umumnya kondisi tersebut menjurus pada rusaknya hubungan antara suami-istri dan memicu perceraian.
Kerusakan-kerusakan di atas terjadi kala Maulid diselenggarakan dengan nyanyian. Sementara ketika tidak disertai nyanyian dan hanya menyuguhkan makanan saja dengan niat untuk merayakan Maulid selanjutnya mengundang teman-teman dan tidak mengandung kemungkaran-kemungkaran seperti disebut sebelumnya, tindakan ini bid‘ah berdasarkan niat tersebut karena menambah-nambahi sesuatu dalam agama dan bukan sebagai amalan salaf. Mengikuti sunnah salaf lebih utama dalam hal ini. Tidak ada riwayat dari seorang salaf pun yang berniat merayakan Maulid. Kita cukup meneladani mereka supaya mendapat keleluasaan seperti yang mereka raih.
Kesimpulannya, perayaan Maulid tidak tercela. Yang tercela adalah perayaan Maulid yang di dalamnya terdapat berbagai tindakan terlarang dan kemungkaran.
Bagian awal penjelasan Imām Abū ‘Abdullāh bin Ḥajj secara tegas menyebut, bulan Rabī‘-ul-Awwal selayaknya diistimewakan dengan meningkatkan amal baik, sedekah, dan ibadah lain. Inilah merayakan Maulid Nabawi yang kami nilai bagus, sebab yang ada dalam acara Maulid tidak lain adalah membaca al-Qur’ān dan memberi makan. Ini adalah amal baik dan ibadah.
Terkait pernyataan Imām Abū ‘Abdullāh bin Ḥajj yang menyebut bid‘ah perayaan Maulid Nabawi tampaknya itu berseberangan dengan penjelasan sebelumnya, atau yang dimaksud adalah bid‘ah ḥasanah seperti yang telah dijelaskan di awal buku ini, atau diartikan merayakan Maulid baik adanya. Sisi bid‘ah terletak pada niatnya saja seperti yang disinggung dalam pernyataannya bahwa merayakan Maulid adalah bid‘ah berdasarkan niatnya, dan tidak diriwayatkan dari seorang salaf pun yang berniat merayakan Maulid (seperti itu).
Secara tekstual dari penjelasan di atas, Imām Abū ‘Abdullāh me-makrūh-kan jika hanya sekedar berniat merayakan Maulid semata, namun tidak makrūh jika saat perayaan menyuguhkan makanan dan mengundang kawan untuk makan bersama.
Demikian kesimpulan yang bisa dipetik jika kita cermati secara mendalam mengingat tidak ada korelasi antara penjelasan awal dan akhir, karena pada bagian awal Imām Abū ‘Abdullāh mendorong untuk meningkatkan amal baik sebagai wujud rasa syukur kepada Allah s.w.t. yang telah memunculkan sosok pemimpin para rasul di bulan Rabī‘-ul-Awwal.
Inilah makna niat perayaan Maulid. Ini tidak berarti Imām Abū ‘Abdullāh mencela perayaan Maulid karena pada bagian pertama justru mendorong untuk itu.
Sementara hanya sekedar berbuat baik saja tanpa disertai niat sama sekali, ini tidak bisa dibayangkan. Jika pun bisa amal tersebut bukanlah ibadah dan tidak ada pahalanya mengingat tidak ada amalan tanpa niat. Dan dalam kasus ini amal baik yang dilakukan tidak disertai niat selain sebagai wujud syukur untuk Allah s.w.t. semata atas kelahiran nabi mulia di bulan mulia.
Inilah makna niat merayakan Maulid. Niat ini bagus adanya. Silahkan direnungkan.
Imām Abū ‘Abdullāh bin Ḥajj melanjutkan, ada juga sebagian orang yang merayakan Maulid dengan niat bukan hanya sekedar mengagungkan tapi untuk menarik kembali pemberian-pemberian yang telah dibagikan kepada banyak orang pada acara tertentu.
Agar tidak malu menarik kembali pemberian-pemberian tersebut, akhirnya dibuatlah acara Maulid Nabi s.a.w. yang menjadi cara untuk mendapatkan kembali pemberian-pemberian tersebut. Di sini terdapat banyak sekali kerusakan, di antaranya; yang bersangkutan menyandang sifat nifaq, yaitu memperlihatkan sesuatu tidak seperti yang disembunyikan karena secara lahir yang bersangkutan mengadakan acara Maulid dengan maksud mencari surga sementara sisi batinnya menginginkan untuk menarik kembali pemberian-pemberian yang telah diberikan pada orang lain.
Ada juga yang mengadakan acara Maulid demi mengumpulkan uang, mencari pujian, dan bantuan orang lain. Ini juga mengandung banyak sekali kerusakan.
Ini juga contoh seperti sebelumnya. Celaan dalam merayakan Maulid terletak pada sisi tidak adanya niat yang baik, bukan pada Maulidnya.
***
Syaikh-ul-Islām di masanya, al-Ḥāfizh Abul-Fadhl Ibnu Ḥajar pernah ditanya tentang mengadakan acara Maulid, berikut jawabannya:
Hukum asal menyelanggarakan acara Maulid bid‘ah, tidak diriwayatkan dari seorang salaf shalih pun dari tiga generasi pertama Islam tentang hal tersebut. Meski demikian Maulid mengandung banyak sekali kebaikan dan juga kebalikannya. Bagi yang memilih sisi kebaikan dan menjauhi sisi keburukan di acara Maulid, itulah bid‘ah ḥasanah. Jika tidak seperti itu, berarti bukan bid‘ah ḥasanah.
Saya mendapatkan landasan hukum kuat untuk Maulid, yaitu riwayat dalam kitab ash-Shaḥīḥain yang menyebutkan saat Nabi s.a.w. tiba di Madīnah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari ‘Āsyurā’, beliau bertanya dan mereka menjawab: “Itulah hari kala Allah menenggelamkan Fir‘aun dan menyelamatkan Mūsā, kami puasa pada hari itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.”
Dari hadits ini dapat ditarik suatu kesimpulan, turunnya nikmat atau terhindar dari suatu musibah pada hari tertentu perlu disyukuri, dan puasa pada hari itu adalah sebagai wujud rasa syukur. Hari semacam ini terulang setiap tahunnya dan rasa syukur kepada Allah s.w.t. bisa dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud syukur, puasa, sedekah, tilawah dan lainnya. Dan nikmat mana yang lebih agung dari kelahiran Nabi pembawa rahmat pada hari tersebut?!
Karena itu hari yang dimaksud harus dicari agar sesuai dengan kisah Mūsā pada hari ‘Āsyurā’. Bagi yang tidak memiliki perhatian tidak akan memperdulikan Maulid pada bulan Rabī‘-ul-Awwal. Lebih dari itu ada yang bersikap sangat toleran hingga memindahkan Maulid di luar bulan Rabī‘-ul-Awwal.
Demikian terkait dengan landasan hukum perayaan Maulid.
***
Sementara terkait dengan apa yang dilakukan saat Maulid harus terbatas pada tindakan-tindakan sebagai wujud syukur kepada Allah s.w.t. seperti yang telah disebut sebelumnya, yaitu tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan qashīdah-qashīdah berisi pujian untuk Nabi, qashīdah-qashīdah tentang zhuhur (pengejawatahan) yang bisa menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan demi akhirat.
Terkait dengan nyanyian dan semacamnya yang disertakan dalam acara Maulid, jika perbuatan tersebut mubāḥ karena mendatangkan rasa senang karena hari kelahiran Nabi s.a.w., hukumnya tidak apa-apa untuk disertakan. Tapi jika ḥarām atau makrūh tidak boleh disertakan. Seperti itu juga dengan apapun yang berseberangan dengan yang lebih utama.
***
Saya lanjutkan, saya juga mendapatkan landasan hukum lainnya untuk acara Maulid, yaitu riwayat al-Baihaqī dari Anas r.a., Nabi s.a.w. meng-‘aqīqah-i diri beliau setelah kenabian meski ada riwayat yang menyebutkan sudah di-‘aqīqah-i oleh kakeknya ‘Abd-ul-Muththalib pada hari ketujuh setelah kelahiran dan ‘aqīqah tidak perlu diulang lagi.
Tindakan Nabi s.a.w. tersebut diartikan sebagai perwujudan rasa syukur karena Allah s.w.t. menciptakannya sebagai sosok pembawa rahmat bagi seluruh alam, juga sebagai contoh bagi umat. Untuk itu kita juga dianjurkan untuk memperlihatkan rasa syukur atas kelahiran Rasūlullāh s.a.w. dengan berkumpul, membuat makanan dan amal baik lain sebagai wujud menampakkan rasa senang.
***
Selanjutnya saya membaca tulisan Imām al-Qurrā’ al-Ḥāfizh Syams-ud-Dīn bin al-Jauzī dalam bukunya ‘Urf-ut-Ta‘rīfi bil-Maulid-isy-Syarīf sebagai berikut:
Ada yang bermimpi bertemu Abū Lahab setelah kematiannya, ia ditanya: “Bagaimana kondisimu?”
Ia menjawab: “Aku berada di neraka, namun siksaku diringankan pada malam Senin, aku menghisap air dari jari-jariku seukuran ini – ia menunjukkan ujung jarinya, itu karena aku memerdekakan budakku Tsuwaibah yang memberitahukan kabar gembira kelahiran Nabi s.a.w., juga karena menyusuinya.”
Abū Lahab saja yang kafir itu dan dicela oleh al-Qur’ān saja dilindungi di neraka karena merasa senang pada malam hari kelahiran Nabi s.a.w., lantas bagaimana halnya dengan orang Muslim dan mengesakan Allah s.w.t. di antara umat Nabi s.a.w. yang merasa gembira atas kelahiran beliau s.a.w. berbagi dengan sesama sebatas kemampuan demi cintanya kepada Rasūlullāh s.a.w.
Sungguh balasannya tidak lain adalah dimasukkan ke dalam surga yang penuh kenikmatan berkat karunia-Nya.
Al-Ḥāfizh Syams-ud-Dīn bin Nashīr-ud-Dīn ad-Damasyqī menjelaskan dalam bukunya Maurid-ush-Shādī fī Maulid-il-Hādī, “Diriwayatkan bahwa siksaan Abū Lahab diringankan pada hari Senin karena ia pernah memerdekakan Tsuwaibah, budak yang menyampaikan kabar gembira kelahiran Nabi s.a.w.”
Selanjutnya Syams-ud-Dīn bersyair:
Jika orang kafir di mana nash mencelanya saja seperti itu
Juga disebutkan tangannya kekal di neraka Jaḥīm
Tiap hari Senin siksanya diringankan
Karena rasa gembiranya pada (kelahiran) Muḥammad…
Lantas bagaimana kiranya dengan orang yang menghabiskan usia
Dengan merasa gembira pada (kelahiran) Muḥammad dan mati dalam keadaan mengesakan (Allah s.w.t.)?!
Al-Kamāl al-Adfudī menjelaskan dalam ath-Thāli‘-us-Sa‘īd:
Nashīr-ud-Dīn Maḥmūd bin Aḥmad meriwayatkan bahwa Abū Thayyib Muḥammad bin Ibrāhīm as-Sibtī al-Mālikī salah seorang ulama pekerja (mengamalkan ilmu), suatu ketika ia berpapasan dengan seseorang di hari kelahiran Nabi s.a.w. kemudian berkata: “Hai orang yang berilmu, ini adalah hari bahagia, bagikan hadiah-hadiah ini untuk anak-anak.”
Ini adalah bukti Nashīr-ud-Dīn Maḥmūd mengakui dan tidak mengingkari hari Maulid. Ia adalah sosok yang mendalam ilmunya, bermadzhab Māliki, piawai di berbagai disiplin ilmu dan wara‘. Abū Ḥayyān dan lainnya pernah berguru padanya. Ia meninggal dunia pada tahun 695 Hijriyyah.
***
Abū ‘Abdillāh bin Ḥajj menjelaskan, jika ada yang bertanya, apa hikmah Nabi s.a.w. mengistimewakan hari kelahirannya di bulan Rabī‘-ul-Awwal dan kenapa beliau mengistimewakan hari Senin, kenapa tidak di bulan Ramadhān bulan diturunkannya al-Qur’ān dan di sana juga ada malam Qadar, juga tidak di bulan-bulan haram, malam pertengahan Sya‘bān, atau hari Jum‘at?
Ada empat jawaban:
Pertama, disebutkan dalam hadits bahwa Allah s.w.t. menciptakan pohon pada hari Senin. Ini adalah sebuah peringatan agung, pada hari itulah diciptakan makanan, rizki, buah-buahan dan segala kebaikan sebagai bekal hidup manusia.
Kedua, kata rabi‘ (tempat terbit) menyelipkan sebuah optimisme bagus jika dikaitkan dengan akar katanya. Abū ‘Abd-ir-Raḥmān ash-Shaqalī berkata: “Setiap orang memiliki bagian dari namanya.”
Ketiga, musim semi adalah musim terbaik, dan syariat Nabi s.a.w. adalah syariat yang terbaik dan paling toleran.
Keempat, Allah s.w.t. bermaksud memuliakan waktu kelahiran Nabi s.a.w. (dengan kelahiran Nabi s.a.w., waktu itu menjadi mulia, peny.). Andai beliau dilahirkan pada waktu-waktu (mulia) seperti disebut di atas pasti dikira Allah s.w.t. (tengah menampakkan) kemuliaan waktu-waktu tersebut.
***
Alḥamdulillāh, demikianlah terjemah dari ulasan al-Imām al-‘Allāmah Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī sebagaimana tertuang dalam kitabnya: Ḥusn-ul-Maqāshidi fī ‘Amal-il-Maulid (Maksud Baik dalam Merayakan Maulid Nabi s.a.w.)