04 Ulasan as-Suyuthi tentang Maulid Nabi (1/2) – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Rangkaian Pos: 04 Ulasan as-Suyuthi tentang Maulid Nabi - Dalil Syar'i Maulid Nabi

Ulasan as-Suyuthi tentang Maulid Nabi

Anjuran Menampakkan Rasa Senang

Turunnya nikmat
atau terhindar dari suatu musibah pada hari tertentu
perlu disyukuri.
Hari semacam ini terulang setiap tahunnya
dan rasa syukur kepada Allah s.w.t.
bisa dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah
seperti sujud syukur, puasa, sedekah, tilawah dan lainnya.
Dan nikmat mana yang lebih agung
dari kelahiran Nabi pembawa rahmat?!

Anjuran Menampakkan Rasa Senang

Mari kita belajar dari para ulama dan para pakar hadits bagaimana mereka menanggapi masalah ini. Untuk mendapatkan kesempurnaan manfaat, mari kita simak bersama bagaimana sanggahan al-Imām Suyūthī terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Maulid adalah bid‘ah.

Karya Imām Suyūthī ini, Ḥusn-ul-Maqāshidi fī ‘Amal-il-Maulid (Maksud Baik dalam Merayakan Maulid Nabi s.a.w.), menjelaskan legalitas Maulid Nabawi dan membantah kalangan yang menyatakan perayaan Maulid Nabawi bid‘ah. Kami menerbitkan buku ini dengan maksud menanggapi kesalahpahaman yang disertai fanatik buta tersebut serta menuduh kaum muslimin bid‘ah dan bodoh.

As-Suyūthī menulis kitab ini sebagai tanggapan atas buku tulisan Syaikh Tāj-ud-Dīn ‘Umar bin ‘Alī al-Lakhamī al-Iskandarī, yang dikenal sebagai al-Fākihānī, generasi terakhir fuqahā’ Mālikiyyah. Kitab yang dimaksud berjudul al-Mauridu fil-Kalāmi ‘alā ‘Amal-il-Maulid. Dalam kitabnya ini Syaikh Tāj-ud-Dīn menyatakan merayakan Maulid Nabi bid‘ah tercela.

Di sini, mari kita baca dengan cermat kitab karya Imām Suyūthī ini agar kita dapat memahami masalah dengan kepala yang dingin dan jauh dari keangkuhan dalam menanggapi perbedaan. Di bagian lampiran, anda dapat menyimak biografi Imām Suyūthī agar dapat mengenalnya lebih dekat.

Semoga Allah s.w.t. berkenan memberi manfaat dari ilmu yang kita ketahui, mengajari hal yang bermanfaat kepada kita, dan menjadikan kita sebagai hamba-hambaNya yang shalih.

Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm

Segala puji bagi Allah s.w.t., shalawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi pilihan, Muḥammad s.a.w.

Selanjutnya, ada pertanyaan tentang merayakan Maulid Nabi s.a.w. di bulan Rabī‘-ul-Awwal, apa hukumnya menurut syariat; baik ataukah tercela? Apakah yang merayakan mendapat pahala atau tidak?

Jawaban:

Hemat saya, perayaan Maulid Nabi s.a.w. yang pada dasarnya adalah berkumpul, membaca sebagian ayat al-Qur’ān dan kisah tentang Nabi s.a.w. dan berbagai tanda yang terjadi saat kelahirannya, setelah itu diberi jamuan makan dan pulang, adalah bid‘ah ḥasanah yang mendatangkan pahala bagi yang melaksanakan karena amalan tersebut mengagungkan wibawa Nabi s.a.w., memperlihatkan rasa senang dan gembira akan kelahirannya.

Orang pertama yang membuat perayaan Maulid Nabi s.a.w. adalah penguasa Irbil raja al-Muzhaffar Abū Sa‘īd Kaukabrī (versi lain Kūkubūrī) bin Zainuddīn ‘Alī bin Baktakin, salah seorang raja mulia, memiliki banyak jejak peninggalan baik dan dialah yang membangun Jāmi‘-ul-Muzhaffari di Safah Qasiun.

Ibnu Katsīr menjelaskan dalam at-Tārīkh, Raja al-Muzhaffar membuat perayaan besar Maulid Nabi s.a.w. di bulan Rabī‘-ul-Awwal, ia adalah sosok pemberani, berakal, alim dan adil.

Syaikh Abū Khaththāb bin Duhaiyah menuliskan satu jilid buku tentang Maulid Nabi s.a.w. untuknya dengan judul at-Tanwīru fī Maulid-il-Basyīri wan-Nadzīr, kemudian sang raja memberinya hadiah sebesar seribu dinar. Raja al-Muzhaffar bertahta lama hingga meninggal dunia saat mengepung kota Oka pada tahun 630 Hijriyyah.

Cucu Ibn-ul-Jauzī menyebutkan dalam Mir’āt-uz-Zamān:

Sebagian orang yang pernah menghadiri jamuan makan perayaan Maulid Nabawi yang dirayakan al-Muzhaffar menyatakan, pada jamuan tersebut disediakan lima ribu kepala kambing bakar, seratus ribu ayam, seratus kuda, seribu potong keju, dan tiga puluh ribu piring manisan.

Perayaan Maulid yang diadakan al-Muzhaffar dihadiri oleh sejumlah ulama dan para sufi, para hadirin diberi kebebasan, para tamu dari kalangan sufi diberi lantunan nyanyian dari zhuhur hingga fajar. Al-Muzhaffar pun turut menari bersama.

Saat Maulid, al-Muzhaffar mengeluarkan dana sebesar tiga ratus ribu dinar, ada ruang khusus untuk menyambut kedatangan para tamu yang hadir dari mana saja. Untuk keperluan ruang tersebut, al-Muzhaffar mengeluarkan dana sebesar seratus ribu dinar setiap tahunnya.

Setiap tahunnya al-Muzhaffar juga melepaskan tawanan di tangan orang asing dengan dana sebesar dua ratus ribu dinar. Sedang untuk keperluan dua tanah suci (Makkah dan Madinah) dan keperluan air di jalanan Ḥijāz, al-Muzhaffar mengeluarkan dana sebesar tigapuluh ribu dinar setiap tahunnya. Itu semua di luar sedekah-sedekah rahasia.

(Apakah al-Muzhaffar adalah sosok seorang raja yang memang gemar menghambur-hamburkan harta dan bermegah-megahan dalam kesehariannya? peny.)

Istrinya, Rabi‘ah Khatun binti Ayyūb, saudari raja Nashīr Shalāḥuddīn menuturkan, baju yang dikenakan al-Muzhaffar terbuat dari kain kasar dengan nilai tidak lebih dari lima dirham. Ia menegur suaminya karena hal itu kemudian al-Muzhaffar menyatakan: “Mengenakan pakaian seharga lima dirham dan menyedekahkan sisanya itu lebih baik bagiku daripada mengenakan pakaian mahal sementara orang fakir miskin tidak aku hiraukan.”

Ibnu Khalkān menjelaskan dalam biografi al-Ḥāfizh Abul-Khaththāb bin Duhaiyah;

Salah seorang ulama dan tokoh ternama datang dari Maroko kemudian memasuki Syām dan ‘Irāq, setelah itu melintas di kawasan Irbil pada tahun 604 Hijriyyah, ia mendapati raja agung Muzhaffar-ud-Dīn bin Zain-ud-Dīn memberi perhatian pada Maulid Nabawi, ia pun menuliskan sebuah buku berjudul at-Tanwīru fī Maulid-il-Basyīri wan-Nadzīr, ia bacakan buku tersebut di hadapannya dan diberi hadiah sebesar seribu dinar. Ia menyatakan, buku tersebut kami bacakan di hadapan sultan dalam enam kali pertemuan pada tahun 625 Hijriyyah.

Sementara itu Syaikh Tāj-ud-Dīn ‘Umar bin ‘Alī al-Lakhamī al-Iskandarī yang dikenal sebagai al-Fākihānī, salah satu generasi fuqahā’ Mālikiyyah menyatakan, perayaan Maulid Nabi s.a.w. bid‘ah tercela. Ia menulis sebuah buku terkait dengan pernyataan tersebut dengan judul al-Mauridu fil-Kalāmi ‘alā ‘Amal-il-Maulid. Berikut akan kami sampaikan pernyataannya dan akan kami tanggapi satu persatu.

Syaikh Tāj-ud-Dīn menyatakan:

Segala puji bagi Allah s.w.t. yang telah menuntun kita untuk mengikuti sunnah pemimpin para rasul, menguatkan kita dengan hidayah menuju tiang-tiang penopang agama, memberi kita kemudahan untuk meneladani jejak-jejak salaf shalih hingga hati kita penuh dengan cahaya ilmu syariat dan kebenaran yang nyata, membersihkan hati kita dari berbagai amalan yang dibuat-buat dan bid‘ah dalam agama, segala puji bagi Allah s.w.t. atas karunia cahaya keyakinan yang diberikan, puji syukur bagi Allah s.w.t. atas tuntunan untuk berpegang teguh pada tali yang kuat. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muḥammad adalah hamba dan rasūl-Nya, pemimpin manusia pertama dan terakhir. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepadanya, keluarga, para sahabat, istri-istri suci beliau ummahāt-ul-mu’minīn hingga hari pembalasan kelak.

Selanjutnya, banyak sekali pertanyaan muncul tentang perkumpulan yang dilakukan oleh sebagian orang di bulan Rabī‘-ul-Awwal yang mereka sebut sebagai acara Maulid. Apakah acara ini memiliki landasan hukum dalam syariat, ataukah bid‘ah dalam agama? Pertanyaan ini ditujukan untuk menemukan jawaban jelas dan spesifik.

Berikut jawabannya:

Saya tidak mengetahui adanya landasan hukum untuk acara Maulid baik dalam al-Qur’ān maupun sunnah, perayaan ini juga tidak diriwayatkan dari seorang ulama umat pun yang menjadi panutan dan berpedoman pada atsar para pendahulu, bahkan perayaan ini merupakan bid‘ah yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak punya pekerjaan.

Perayaan Maulid merupakan syahwat yang benar-benar menjadi perhatian para tukang makan. Sebagai buktinya, ketika kami suguhkan lima hukum fiqh apakah wājib, dianjurkan (sunnah), mubāḥ, makrūh ataukah ḥarām, perayaan Maulid tidak wajib berdasarkan ijma‘, tidak pula dianjurkan karena hakikat anjuran adalah tuntutan syariat namun tidak tercela jika ditinggalkan. Sementara perayaan Maulid adalah sesuatu yang tidak diidzinkan oleh syariat, tidak pernah dilakukan para sahabat dan tābi‘īn yang taat beragama, setahu kami.

Inilah jawaban saya di hadapan Allah s.w.t. kelak jika saya ditanya nanti. Perayaan Maulid juga tidak mubāḥ, sebab bid‘ah dalam agama bukanlah sesuatu yang mubāḥ berdasarkan ijma‘ kaum muslimin.

Dengan demikian yang tersisa hanya hukum makrūh atau ḥarām saja. Ada dua pasal untuk menjelaskan hal tersebut dan harus dibedakan seperti di bawah ini:

Pertama, perayaan Maulid diselenggarakan seseorang dari dana pribadi untuk keluarga, teman-teman dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, perkumpulan di acara tersebut tidak lebih dari makan dan tidak melakukan suatu dosa sedikit pun. Inilah yang kami singgung sebagai tindakan bid‘ah tercela, karena tidak pernah dilakukan oleh seorang pun di kalangan para ahli ketaatan yang terdepan, yaitu para fuqahā’ dan ‘ulamā’.

Kedua, perayaan Maulid disertai suatu kejahatan dan beban yang memberatkan, hingga ada yang memberi makan sementara hati tidak rela dan sakit karena ia sendiri memerlukan. Ulama menyatakan, mengambil harta dengan wibawa sama seperti mengambil harta dengan pedang.

Terlebih ketika perayaan Maulid disertai nyanyian, alat-alat musik seperti rebana, para lelaki dewasa membaur bersama pemuda dan wanita baik secara langsung atau sekedar melirik, berjoget, hanyut dalam kelalaian, lupa akan kematian, seperti itu juga ketika kaum wanita berkumpul secara terpisah, bernyanyi dengan suara keras, jauh dari tilawah dan dzikir yang disyaratkan, lupa bahwa Allah s.w.t. mengintai.

Hal tersebut disepakati haram dan tidak ada seorang pun yang memiliki harga diri yang menilai sebagai tindakan bagus. Itu semua hanya dinilai manis oleh mereka yang mati hatinya, tidak terlepas dari beragam dosa.

Lebih dari itu, mereka menilai semua perbuatan tersebut sebagai ibadah, bukan sebagai kemungkaran yang diharamkan. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Islam bermula (dengan dianggap) aneh dan akan kembali (dianggap) aneh seperti saat bermula.

Bagus sekali ungkapan guru kami, al-Qusyairī:

Kemungkaran dianggap baik dan kebaikan
dianggap mungkar di masa-masa sulit yang menimpa kita
Ahlul ilmi pun berada di jurang
Sementara orang bodoh berada di tempat terhormat
Mereka melampaui kebenaran, lantas….
Apa hubungannya dengan kebenaran itu di masa lalu
Aku pun berkata kepada orang-orang berbakti yang bertaqwa….
Dan taat beragama saat petaka kian genting….
Jangan ingkari kondisi kalian karena musibah….
Telah menimpa di zaman (kalian dianggap) aneh.

Bagus apa yang diungkapkan Imām Abū ‘Amr bin ‘Allā’: “Manusia akan senantiasa baik-baik saja selama merasa aneh pada sesuatu yang aneh.”

Bulan Rabī‘-ul-Awwal saat Nabi s.a.w. lahir merupakan bulan yang sama saat beliau meninggal dunia. Merasa senang pada bulan tersebut tidaklah lebih diutamakan dari rasa sedih. Inilah yang harus kami jelaskan, semoga Allah s.w.t. berkenan menerimanya.

Demikian semua penjelasan al-Fākihānī dalam buku yang dimaksud dan berikut ini adalah tanggapan kami (al-Ḥāfizh al-Imām Suyūthī):

Pernyataan al-Fākihānī, bahwa ia tidak mengetahui adanya landasan hukum untuk acara Maulid baik dalam al-Qur’ān maupun sunnah.

Tanggapan: Menafikan pengetahun bukan berarti menafikan yang ada karena Imām al-Ḥāfizh Abul-Fadhl bin Ḥajar menyebutkan dua landasan hukum sunnah untuk perayaan Maulid yang akan dijelaskan selanjutnya.

 

***

Pernyataan al-Fākihānī, bahkan perayaan Maulid adalah bid‘ah yang dibuat-buat oleh orang yang tidak punya kekerjaan, dan seterusnya.

Tanggapan: Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perayaan Maulid (secara terbuka dengan mengumpulkan orang banyak, peny.) pada mulanya diselenggarakan oleh seorang raja yang adil dan berilmu.

Perayaan ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., acara tersebut dihadiri oleh sejumlah ulama dan orang-orang shalih yang tidak perlu dipungkiri, dinilai bagus oleh Ibnu Duhaiyah dan sebuah buku pun ditulis berkenaan dengan Maulid. Para ulama yang taat beragama tersebut mengakui dan tidak mengingkari perayaan Maulid.

 

***

Pernyataan al-Fākihānī, bahwa perayaan Maulid juga tidak dianjurkan karena hakikat anjuran adalah tuntutan syariat.

Tanggapan: Tuntutan dalam anjuran kadang bersumber dari nash dan kadang bersumber dari qiyās. Perayaan Maulid meski tidak ada nashnya tapi ada qiyāsnya pada dua sumber hukum yang akan disebut selanjutnya.

 

***

Pernyataan al-Fākihānī, bahwa perayaan Maulid tidak bisa dihukumi mubāḥ sebab bid‘ah dalam agama bukan hal mubāḥ berdasarkan ijma‘ kaum muslimin.

Tanggapan: Pernyataan ini tidak bisa diterima sebab bid‘ah tidak terbatas pada ḥarām dan makrūh semata, justru bisa jadi mubāḥ, dianjurkan dan bahkan wājib.

Imām an-Nawawī menjelaskan dalam Tahdzīb-ul-Asmā’i wal-Lughāt: “Bid‘ah menurut syariat adalah membuat-buat sesuatu yang tidak ada di masa Rasūlullāh s.a.w. Bid‘ah terbagi menjadi dua; bid‘ah ḥasanah (baik) dan bid‘ah qabīḥah (tercela).”

Syaikh ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām menjelaskan dalam al-Qawā‘id: “Bid‘ah terbagi menjadi bid‘ah wājib, ḥarām, dianjurkan (sunnah), makrūh, dan mubāḥ.”

Cara membedakannya adalah membandingkan bid‘ah dengan kaidah-kaidah syariat. Ketika termasuk dalam kaidah wājib berarti tersebut hukumnya wājib, ketika termasuk dalam kaidah ḥarām berarti hukumnya ḥarām, ketika termasuk dalam kaidah anjuran berarti dianjurkan, seperti itu juga ketika termasuk dalam kaidah makrūh atau mubāḥ, berarti bid‘ah tersebut hukumnya makrūh atau mubāḥ.”

‘Izz-ud-Dīn menyebutkan contoh-contoh untuk kelima bagian tersebut hingga pada penjelasan berikut: “Contoh bid‘ah yang dianjurkan; membuat kawasan penjagaan tapal batas dan sekolahan, seperti itu juga dengan amal baik yang tidak dikenal di masa sahabat, seperti shalat Tarawih (berjama‘ah), penjelasan tentang sisi mendalam tashawwuf, seperti itu juga dalam disiplin ilmu debat, mengumpulkan beragam informasi untuk dijadikan pedoman dalam berbagai masalah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah s.w.t.”

Al-Baihaqī meriwayatkan dalam Manāqib-usy-Syāfi‘ī, dari asy-Syāfi‘ī: “Bid‘ah terbagi dua:

Pertama, bid‘ah yang berseberangan dengan al-Qur’ān, Sunnah, atsar atau ijma‘. Inilah bid‘ah sesat.

Kedua, kebaikan yang dibuat dan tidak ada contoh sebelumnya yang tidak berseberangan dengan al-Qur’ān, Sunnah, atsar ataupun ijma‘. Bid‘ah ini tidak tercela.

‘Umar bin Khaththāb r.a. berkata tentang qiyām bulan Ramadhān: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini,” maksudnya shalat Tarawih secara berjama‘ah di bulan Ramadhān adalah amalan yang dibuat-buat dan belum ada contohnya sebelum itu.” Demikian penjelasan asy-Syāfi‘ī.

Dengan demikian dapat diketahui kesalahan dalam pernyataan Syaikh Tāj-ud-Dīn bahwa perayaan Maulid tidak bisa dihukumi boleh dan dinyatakan sebagai bid‘ah terlarang, sebab memang benar perayaan Maulid adalah sesuatu yang diada-adakan namun tidak berseberangan dengan al-Qur’ān, Sunnah, atsar, ataupun ijma‘. Ini bukanlah bid‘ah tercela seperti yang disebutkan dalam redaksi asy-Syāfi‘ī yang disebut sebagai amal baik yang tidak dikenal dalam generasi pertama (generasi sahabat), sebab memberi makan yang jauh dari tindakan dosa merupakan amalan baik. Termasuk bid‘ah yang dianjurkan seperti disebutkan dalam redaksi Ibnu ‘Abd-is-Salām.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *