Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar melanjutkan penjelasan sebelumnya seperti yang dinukil dari al-Ḥāwī (1/302): “Berkenaan dengan amalan-amalan yang dikerjakan saat Maulid, selayaknya terbatas pada hal-hal yang mencerminkan rasa syukur kepada Allah s.w.t. seperti tilawah, memberi makanan, sedekah, dan melantunkan pujian-pujian nabawi, dan syair-syair tentang zuhud.
Hal-hal selebihnya, seperti adanya nyanyian, permainan, dan lainnya perlu diperhatikan: jika itu sesuatu yang mubāḥ dan mendatangkan kesenangan terkait dengan hari Maulid, sah-sah saja disertakan dalam acara Maulid, sementara jika haram atau makruh tidak boleh disertakan,” demikian penjelasan Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar.
Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar tidak hanya membatasi puasa saja meski yang disebutkan dalam hadits tentang puasa ‘Āsyurā’ dan puasa hari Senin (161) adalah puasa, sebab hadits Ibnu ‘Abbās r.a. seperti yang dijelaskan dalam Fatḥ-ul-Bārī (5/799) menunjukkan motif puasa ‘Āsyurā’ adalah menyamai Yahudi dalam suatu sebab, yaitu sebagai wujud rasa syukur kepada Allah s.w.t. karena Mūsā a.s. selamat.
Ulama ushul fiqih menjelaskan, ketika Allah s.w.t. menyebutkan suatu hukum beserta alasannya – sebab yang menjadi maksud pemberlakuan suatu amalan – berarti amalan apapun yang bisa menjurus pada maksud tersebut itulah yang dimaksud oleh Allah s.w.t. berdasarkan nash.
Disebutkan dalam Musawwadah Ālu Taimiyyah (2/736); suatu hukum berlaku hingga cabangan masalah berdasarkan alasan yang disebutkan dan dimaksudkan oleh nash. Karena itu semua amalan yang menjurus pada ungkapan rasa syukur dianjurkan berdasarkan petunjuk hadits seolah-olah disebut dalam bentuk nash. (172).
Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah s.w.t. atas petunjuk pada salah satu sunnah Rasūlullāh s.a.w. yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat seperti disebutkan dalam Shaḥīḥ Muslim dari Mu‘āwiyah r.a. disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya: “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab: “Untuk mengingat dan memuji Allah karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam dan menganugerahkan Islam kepada kami.”
Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab: “Demi Allah hanya itu alasan kami duduk berkumpul.”
Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan: “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibrīl baru saja datang menghampiriku dan memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat.”
Berkumpul untuk memuji Allah s.w.t. atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah s.w.t. karena nikmat kelahiran junjungan kita Muḥammad s.a.w. karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah s.w.t. seperti yang disampaikan ‘Ā’isyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasūlullāh s.a.w.: “Bukankah kau membaca al-Qur’ān?”
Si penanya menjawab: “Ya, betul.”
‘Ā’isyah berkata: “Akhlak Nabi s.a.w. adalah al-Qur’ān.” (183).
Di atas, Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menyebutkan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi s.a.w., dan syair-syair tentang zuhud.
Tilawah sebagai wujud rasa syukur bersumber dari firman Allah s.w.t.:
وَ اذْكُرُوْهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَ إِن كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّيْنَ.
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Qs. al-Baqarah: 198).
Al-Qur’ān adalah dzikir terbaik meski dzikir juga bisa dilakukan dengan tahlil, tasbih, doa, dan apapun yang disebut dzikir oleh syariat, seperti takbir yang disampaikan dalam firman Allah s.w.t.:
وَ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. al-Baqarah: 185).
Memberi makan sebagai wujud rasa syukur juga termasuk dzikir seperti yang disebut dalam firman Allah s.w.t.:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (Qs. al-Kautsar: 1-2).
Berkurban dimaksudkan untuk memberi makan orang-orang fakir dan memberi makan adalah sedekah. Bersyukur dengan bersedekah tidaklah terbatas.
Terkait dengan ungkapan rasa syukur dengan amalan-amalan mubah yang dilakukan satu Maulid, terdapat riwayat yang menyebutkan seperti itu seperti riwayat dalam Musnad Aḥmad (194); ada seorang wanita datang menghampiri Nabi s.a.w. kemudian berkata: “Aku bernadzar untuk menabuh rebana di dekat kepala Tuan.”
Nabi s.a.w. bilang: “Tunaikan nadzarmu.”
Al-Khaththābī menjelaskan dalam Ma‘ālim-us-Sunan, (205) memukul rebana tidak termasuk dalam rangkaian ketaatan terkait dengan nadzar, batas maksimalnya hanya sampai pada amalan mubah, hanya saja amalan ini terkait dengan ungkapan rasa senang atas kedatangan Rasūlullāh s.a.w. di Madīnah dengan selamat, karena itu menabuh rebana berdasarkan nadzar yang diucapkan hampir seperti amal ibadah sunnah, karena itu menabuh rebana dibolehkan dan dianjurkan dalam acara pernikahan.
Hal serupa juga disebutkan dalam sabda Nabi s.a.w. kepada Ḥassān bin Tsābit yang memintanya untuk bersenandung: “Dengan syair-syair itu seolah-olah ia memercikkan air di hadapan kaum.”
Seperti itu juga kata Rasūlullāh s.a.w. meminta ‘Abdullāh bin Rawāḥah, Ka‘ab bin Mālik dan sahabat lain untuk bersyair. (216)
Tak berbeda dengan rasa senang atas kelahiran dan peringatan Maulid Nabi s.a.w. Menabuh rebana kala itu termasuk dalam amal yang mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., sama seperti pemberitahuan rasa senang saat Rasūlullāh s.a.w. kembali dengan selamat dari suatu perjalanan atau peperangan, bahkan Nabi s.a.w. sendiri mengaitkan hal tersebut dengan nadzar dan diperintahkan agar dipenuhi.