03-4,5,6,7 Nabi tidak Melakukan semua Perbuatan Mubah – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Nabi tidak Melakukan semua Perbuatan Mubāḥ.

Seluruh orang muslim mengetahui dengan pasti bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukan segala yang mubāḥ, karena terlalu banyak hal-hal mubāḥ itu, mustahil seorang bisa merinci secara menyeluruh segala yang dilakukan.

Nabi s.a.w. seorang yang zuhud dan sederhana, beliau melakukan perbuatan mubāḥ sebatas kebutuhan saja, selebihnya beliau tinggalkan. Sehingga, barang siapa mengklaim suatu perbuatan itu haram dengan alasan bahwa Nabi tidak melakukan, maka itu hanya klaim belaka, tidak berdalil, dan tertolak.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim dari sahabat Khālid bin al-Walīd, ia berkata: “Pada suatu saat dihidangkan pada beliau daging panggang dhab – semacam biawak – di rumah Maimūnah r.a., beliau ingin mengambilnya dan seorang memberi tahu bahwa daging panggang itu adalah daging dhab, beliau tidak jadi mengambil daging itu.

Aku bertanya: “Haramkah ia ya Rasūlullāh?”

Beliau menjawab: “Tidak, hanya saja kaumku tidak memakannya, dan aku tidak terbiasa.

Lalu Khālid berkata: “Aku memakannya dan Nabi melihat.”

Hadits ini dipakai sebagai kaidah dalam ilmu ushul: bahwa yang ditinggalkan oleh Nabi tidak serta-merta menjadi haram, ketika Khālid melihat Nabi s.a.w. tidak jadi mengambil dan memakan daging itu, maka dia ragu apakah daging itu haram, oleh karena itu dia bertanya dan jawaban Nabi memperkuat kaidah tersebut, yaitu tidak semua yang ditinggalkan hukumnya haram.

Nabi s.a.w. juga tidak melakukan semua sunnah karena kesibukan beliau pada hal-hal yang lebih penting, seperti menyampaikan dakwah, berdiskusi dengan orang-orang musyrik dan ahlul kitāb, berjihad melawan kuffār untuk menjaga kesucian Islam, membuat perjanjian dan segala kontrak perdamaian, melaksakan hukum hudud, menyelematkan tawanan, mengutus para ‘āmil zakat, menyampaikan hukum-hukum, dan banyak hal lain lazimnya seorang pemimpin. Bahkan, beliau secara sengaja meninggalkan amalan sunnah karena kuatir amalan sunnah itu akan menjadi wajib, atau karena rahmatnya yang besar pada umat agar tidak memberatkan.

Dalil Anjuran Merayakan Maulid: Kelahiran Beliau adalah Rahmat.

As-Suyūthī menyebutkan, al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar – terkait dengan perayaan Maulid dan penentuan serta pengkhususan sebagian amal shalih pada hari kelahiran Nabi s.a.w. setiap tahunnya – bersandar pada hadits qauli, yaitu hadits tentang puasa ‘Āsyurā’ yang disebutkan dalam Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, hadits nomor 3216 dan Shaḥīḥu Muslim, hadits nomor 1130, lafazh hadits milik Muslim; saat Nabi s.a.w. tiba di Madīnah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari ‘Āsyurā’, beliau bertanya dan mereka menjawab: “Itulah hari kala Allah menenggelamkan Fir‘aun dan menyelamatkan Mūsā, kami puasa pada hari itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.” Riwayat al-Bukhārī-Muslim lainnya menyebutkan: “Kami puasa pada hari itu untuk mengangungkanya.” (131).

Rasūlullāh s.a.w. kemudian bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih utama atas Mūsā dari kalian.

Berdasarkan riwayat di atas al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menjelaskan seperti disebutkan dalam al-Ḥāwī (1/302): “Hadits ini menjelaskan turunnya nikmat atau terhindar dari suatu musibah pada hari tertentu perlu disyukuri, dan puasa pada hari itu adalah sebagai wujud rasa syukur.

Hari semacam ini terulang setiap tahunnya dan rasa syukur kepada Allah s.w.t. bisa dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud syukur, puasa, sedekah, tilawah, dan lainnya. Dan nikmat mana yang lebih agung dari kelahiran Nabi pembawa rahmat pada hari tersebut?!”

Kesimpulan Ibnu Ḥajar ini diambil dari sisi prioritas, dengan kata lain selamatnya Mūsā a.s. layak disyukuri setiap tahunnya, maka selamatnya Nabi s.a.w. saat berhijrah misalnya lebih layak untuk disyukuri karena nikmatnya lebih besar. Setiap kali nikmat yang diberi lebih besar berarti lebih berhak untuk disyukuri. Karena itu al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menyatakan tentang Maulid Nabawi: “Nikmat mana lagi yang lebih besar dari nikmat kelahiran Nabi pembawa rahmat s.a.w. karena risalahnya adalah rahmat seperti yang Allah s.w.t. sampaikan:

وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiyā’: 107).

Dalam hadits disebutkan, sosok beliau adalah rahmat seperti yang beliau sampaikan: “Aku tidak lain adalah (pembawa) rahmat dan petunjuk.” (142).

Allah s.w.t. berfirman:

وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَ أَنْتَ فِيْهِمْ وَ مَا كَانَ اللهُ مُعَذِّبَهُمْ وَ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ.

Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Qs. al-Anfāl: 33).

Meski kaum Quraisy ingkar dan menentang Nabi s.a.w., namun keberadaan beliau s.a.w. di tengah-tengah mereka, mencegah turunnya adzab untuk mereka.

Kekuatan Ḥujjah melalui Qiyās Aulā (153).

Berhujjah pada qiyās aulā termasuk salah satu dalil kuat dan mengabaikan dalil ini menyimpang dari manhaj al-Qur’ān dan sunnah seperti yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatāwā (21/207); siapapun yang tidak mempertimbangkan makna kalam Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya, tidak memahami kata-kata yang tersurat (teks) dan tersirat (konteks), berarti termasuk golongan ahli zhāhir, seperti itu juga dengan qiyās aulā meski secara tekstual tidak disebutkan namun bisa diketahui hukumnya lebih utama dari yang tersurat. Mengingkari hal tersebut merupakan bid‘ah kalangan ahli zhāhir yang tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang salaf pun. Salaf menjadikan keduanya sebagai hujjah.

Disebutkan dalam al-Fatāwā (12/349), metode nabawi-salafi dalam ilmu-ilmu teologi menggunakan qiyās aulā.

Syubhat Maulid Menyerupai Ahli Kitāb?

Mengingat peringatan Maulid nabawi atau hijrah dianjurkan setiap tahun berdasarkan dalil syar‘i, berarti tidak masalah jika perayaan ini menyerupai Yahudi ataupun Nasrani, toh menyerupai Yahudi terkait dengan puasa ‘Āsyurā’ lebih terasa dari perayaan Maulid, namun Nabi s.a.w. tetap melakukannya (puasa ‘Āsyurā’). Menyerupai ahli kitāb terlarang ketika tidak ada dalil syar‘inya.

Hal di atas kemudian ditanggapi demikian: Nabi s.a.w. memerintahkan puasa tanggal 9 Muḥarram agar tidak menyerupai Yahudi.

Ada dua jawaban untuk tanggapan di atas:

Pertama, Rasūlullāh s.a.w. tidak memerintahkan puasa tanggal 9 Muḥarram secara tegas apalagi sampai menyatakan bagi yang hanya puasa 10 Muḥarram akan berdosa. Puasa tanggal 9 Muḥarram hanyalah tambahan dan sisi kesamaan dengan Yahudi tetap ada di sana.

Kedua, Nabi s.a.w. setuju dan tidak menyalahi orang-orang Yahudi terkait puasa 10 Muḥarram, Nabi s.a.w. hanya menambah satu hari lagi dan tambahan ini sudah cukup untuk tidak menyamai orang-orang Yahudi.

Perayaan Maulid Nabi s.a.w. yang dilakukan kaum muslimin banyak sekali sisi perbedaannya dengan perayaan yang dilakukan orang-orang Yahudi di hari ‘Āsyurā’, karena adanya amalan-amalan lain selain puasa seperti yang bisa disarikan dari perkataan Nabi s.a.w. Perayaan Maulid Nabi s.a.w. juga memiliki banyak perbedaan dengan hari perayaan Natal bagi kalangan Nasrani karena mereka banyak sekali melakukan syiar-syiar kesyirikan, minum minuman keras dan lainnya.

Kesimpulannya, amalan apapun yang ada dalil syar‘inya tidak sepatutnya ditinggalkan dengan dalih agar tidak menyerupai ahli kitab, sebab jika itu ditinggalkan berarti menyangkal dan mengabaikan dalil-dalil yang ada.

Catatan:

  1. 13). HR. al-Bukhārī hadits no. 3727, Muslim hadits no. 1130.
  2. 14). Al-Mustadrak, 1/35, hadits shaḥīḥ sesuai syarat Bukhārī-Muslim, dan pernyataan ini disetujui adz-Dzahabī.
  3. 15). Qiyās Aulā, yaitu suatu qiyās yang ‘illat-nya mewajibkan adanya hukum yang disamakan (mulḥaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari tempat menyamakannya (mulḥaq bih). Misalnya, meng-qiyās-kan memukul kedua orangtua dengan mengatakan “ah” kepadanya.

    Mengatakan “ah” kepada ibu bapak dilarang karena ‘illat-nya ialah ialah menyakitkan hati, Oleh karena itu, memukul kedua ibu bapak tentu lebih dilarang, sebab di samping menyakitkan hati juga menyakitkan jasmaninya. ‘Illat larangan yang terdapat pada mulḥaq lebih berat dari pada yang terdapat pada mulḥaq bih. Dengan demikian, larangan memukul kedua orangtua lebih keras dari pada larangan mengatakan “ah” kepadanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *