03-3 Sumber Pendapat yang Membid’ahkan Maulid – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Tentang Salaf yang tidak Melakukan Sesuatu

Ibnu Taimiyyah menyatakan, kenyataan bahwa Rasūlullāh s.a.w. tidak mengerjakan sesuatu tidak bisa dijadikan hujjah ketika ada dalil syar‘i lain. Ibnu Taimiyyah menjelaskan saat membahas hukum masuk ke pemandian umum dalam al-Fatāwā (21/313); siapapun tidak bisa menyatakan makruh atau tidak dianjurkan hanya karena Nabi s.a.w. tidak pernah masuk ke pemandian umum, karena kenyataan bahwa Rasūlullāh s.a.w. tidak mengerjakan sesuatu hanyalah salah satu dari sekian dalil-dalil syar‘i. Dalil ini – berdasarkan kesepakatan ulama dan dalil-dalil lain – lebih lemah dari dalil qauli seperti perintah, larangan, dan idzin beliau. Karena itu menafikan hukum yang menganjurkan sesuatu dengan dalil tidak adanya dalil spesifik, tanpa memahami dalil-dalil lain, adalah sebuah kesalahan besar.

Demikian perkataan Ibnu Taimiyyah. Tapi anehnya Ibnu Taimiyyah menentang perayaan Maulid dengan alasan salaf tidak mengerjakannya.

Maka, tanggapan untuk Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya, bahwa nyatanya Rasūlullāh s.a.w. tidak merayakan Maulid, tidak cukup dijadikan dalil perayaan Maulid tidak dianjurkan. Dalil-dalil lain harus diperhatikan khususnya dalil qauli baik berbentuk nash ataupun melalui istinbāth. Mengingat Nabi s.a.w. tidak merayakan Maulid dari sisi tindakan namun dari sisi ucapan menyebutkannya, berarti meski salaf tak merayakan Maulid namun lebih utama untuk tidak menafikan anjuran Nabi s.a.w. (yang terkandung secara implisit dalam berbagai hadits) untuk merayakannya, karena sabda Nabi s.a.w. adalah hujjah mandiri yang tidak bergantung pada dalil lain. Perhatikan saat para ulama mencermati dalil-dalil yang ada dan sebagian dari dalil-dalil itu dijadikan dasar hukum seperti yang akan disebutkan kemudian.

Lalu bagaimana dengan pernyataan Ibnu Taimiyyah bahwa salaf tidak membuat perayaan Maulid meski ada faktor yang mengharuskan untuk itu dan juga tidak ada sebab yang menghalangi? Bantahan Ibnu Taimiyyah ini tidak tepat kecuali jika kalangan yang menganjurkan perayaan Maulid sampai menghukum wajib.

‘Umar bin Khaththāb berkata: “Shalat Tarawih berjam‘ah dengan satu imam lebih baik.” ‘Umar memberlakukan hal tersebut selama dua tahun di masa khilafahnya dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengkritik dan menyatakan: “Abū Bakar saja yang lebih baik dari ‘Umar tidak melakukan hal seperti itu,” sebab keutamaan tidak mengharuskan atau mewajibkan suatu amal.

‘Umar bin Khaththāb juga pernah meminta hujan melalui perantara ‘Abbās padahal sepuluh sahabat yang dijanjikan surga sebagian besar masih ada dan mereka lebih baik.

Contoh lain adalah shalat Tarawih sebanyak tigapuluh enam rakaat yang dilakukan penduduk Madīnah di masa kepemimpinan Abān bin ‘Utsmān (antara tahun 76 hingga 83 Hijriyyah) (91) meski saat itu generasi sahabat kecil (102) dan tabi‘in dewasa (113) masih ada, mereka tidak mengingkari hal itu. Mereka juga tidak berargumen khulafā‘-ur-rāsyidīn tidak menambah rakaat shalat Tarawih sebanyak itu meski adanya faktor yang mengharuskan; mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Meski pendahulu mereka itu tidak melakukannya sekalipun terdapat dalil qauli yang menganjurkan (untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah) tidak menunjukkan amalan tersebut tidak wajib dilakukan atau wajib ditinggalkan, terlepas apakah amalan yang digagas itu bernilai lebih utama atau hanya sekedar utama saja. Amalan utama dianjurkan untuk dilakukan, amalan yang lebih utama tidak wajib dilakukan. Keduannya benar.

Contoh lainnya adalah para sahabat tidak mendirikan rumah sakit wakaf misalnya untuk orang-orang miskin meski ada faktor yang mengharuskan untuk itu dan tidak ada halangan. Raja-raja Islam generasi terakhir yang melakukannya dan itu disepakati oleh ahlu ilmu, mereka menyatakan mendirikan rumah sakit merupakan salah satu amalan utama karena termasuk dalam kategori sedekah jariyah yang disebut dalam sabda Nabi s.a.w. meski secara tindakan tidak dicontohkan oleh beliau. Padahal, faktor yang mengharuskan didirikannya rumah sakit untuk orang-orang miskin, yaitu adanya banyak orang sakit dan terluka, di samping dana yang dibutuhkan untuk itu, telah ada, khususnya setelah terjadinya banyak sekali penaklukan besar dan kaum muslimin memiliki tenaga-tenaga medis berpengalaman – merekalah yang menangani korban-korban luka sebelum adanya rumah sakit – dan tidak adanya halangan untuk mendirikan rumah sakit.

Kaidah serupa juga berlaku untuk semua amal dan tindakan yang dianjurkan, maksudnya adanya salaf tidak melakukan sesuatu, hal tersebut hanya menunjukkan perbuatan tersebut tidak wajib dan bukan berarti tidak dianjurkan. Jadi, ketika dalil anjuran suatu amalan disebut melalui perkataan atau ada dalil lain yang menunjang, berarti amalan tersebut dianjurkan.

Dengan demikian, melarang suatu amalan dengan dalil bahwa para sahabat tidak melakukannya menyalahi kesimpulan syar‘i karena dua alasan:

Pertama, adanya sahabat tidak melakukan sesuatu artinya tidak ada dalil spesifik. Dalil ini tidak bisa dijadikan pedoman ketika ada dalil ketika ada dalil lain yang menganjurkan, yaitu perkataan Nabi s.a.w. sebagai dalil yang menegaskan. Tidak adanya dalil dalam istilah ushul fiqh disebut dalil istisḥabb, seperti dijelaskan Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatāwā (23/15) berpedoman pada dalil istisḥabb semata saat tidak ada dalil lain adalah dalil yang secara mutlak paling lemah untuk dijadikan sandaran berdasarkan kesepakatan ulama. Dalil yang menegaskan merupakan satu di antara sekian jenis dalil, dan dalil ini lebih kuat dari hanya sekedar dalil istisḥabb.

Kedua, sabda Nabi s.a.w. merupakan dalil utama sementara perbuatan sahabat – atau sahabat tidak melakukan sesuatu – bukanlah dalil utama dan hanya bisa dijadikan sandaran ketika bersumber dari dalil perkataan atau perbuatan Nabi s.a.w. Dengan demikian mengabaikan perkataan Nabi s.a.w. dan berpedoman pada perbuatan atau perkataan sahabat bertentangan dengan metode penyimpulan dalil. Seperti anda menyatakan, patutkah perkataan Nabi s.a.w. ditinggalkan karena berseberangan dengan perkataan atau tindakan sahabat. Padahal sebenarnya sama sekali tidak kontradiktif.

Kontradiktif tidak berlaku antara dalil yang menyebut dan dalil yang meniadakan. Karena itu dalam salah satu contoh kasus yang disebutkan sunnah namun tidak disebutkan al-Qur’ān misalnya tidak bisa dibilang bahwa al-Qur’ān dan Sunnah berseberangan. Demikian juga tidak bisa dikatakan adanya kontradiksi antara hadits yang menunjukkan keutamaan perayaan Maulid dengan tidak adanya tindakan para sahabat untuk merayakannya.

Dalam konteks dalil tentang Maulid, yang benar adalah ada dalil tentang Maulid dari sunnah namun tidak ada dalil dari tindakan sahabat. Dalil ini sudah cukup menjadi dalil akan keutamaan Maulid.

Kontradiktif hanya bisa dibayangkan antara dua dalil yang sama-sama menyebut, seperti misalnya Nabi s.a.w. mengerjakan sesuatu sementara sahabat mengerjakan kebalikannya. Langkah tarjīḥ saat itu harus ditempuh. Andai tidak adanya contoh perbuatan dari Nabi s.a.w. adalah dalil kuat dari pada tindakan sahabat, dan saat itu perbuatan mereka tidak bisa dijadikan dalil.

Andai tidak adanya penjelasan salaf tentang suatu masalah adalah dalil bahwa masalah tersebut tidak dianjurkan, tentu para tābi‘īn tidak berhak membahas masalah yang tidak dibahas para sahabat, tentu para pengikut tābi‘īn tidak berhak membahas masalah yang tidak dibahas tābi‘īn.

Kondisi tersebut menyalahi penjelasan Imām Aḥmad, seperti disebutkan dalam Musawwadah Ālu Taimiyyah halaman 336; Abū Dāwūd berkata: “Aḥmad bin Ḥanbal berkata: “Ketika aku menemukan dalil dari Rasūlullāh s.a.w., aku tidak berpaling ke dalil lain. Ketika tidak aku temukan, aku mencari dalil dari khulafā’-ur-rāsyidīn. Ketika tidak aku temukan, aku mencari dalil dari tokoh-tokoh sahabat. Jika tidak ada, aku mencari dalil dari tābi‘īn dan para tābi‘-ut-tābi‘īn.

Andai tidak adanya riwayat adalah dalil bahwa sesuatu tidak dianjurkan tentu tābi‘īn selayaknya menyatakan: “Andai hal tersebut baik tentu lebih dahulu dilakukan oleh para sahabat sebelum kami,” dan tentu para tābi‘-ut-tābi‘īn menyatakan: “Andai hal tersebut baik tentu lebih dahulu dilakukan oleh para tābi‘īn sebelum kami.”

Penjelasan Imām Aḥmad di atas bersumber pada riwayat an-Nasā’ī dari Ibnu Mas‘ūd: “Jika ada suatu masalah yang tidak disebutkan dalam kitāb-ullāh, putusan Nabi-Nya s.a.w., dan kaum shāliḥīn, hendaklah ia berijtihad dengan pendapatnya.” (124).

Andai tidak adanya riwayat adalah dalil bahwa sesuatu tidak dianjurkan tentu hadits “hendaklah ia berijtihad dengan pendapatnya” tidak benar dan seharusnya disebutkan; andai hal tersebut baik tentu sudah didahului oleh orang-orang shalih sebelumnya dan tidak boleh berijtihad.

Karena itu bagi yang menyatakan: “Andai merayakan Maulid itu baik tentu para sahabat sudah terlebih dahulu merayakannya sebelum kita.” Tanggapan kami, merayakan Maulid sudah didahului dan dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. berdasarkan dalil anjuran untuk itu melalui kesimpulan dalam menetapkan perioritas. Mengingkari kesimpulan dengan semacam perkataan di atas menyimpang dari manhaj al-Qur’ān, sunnah, dan salaf-ush-shāliḥ seperti yang akan disebutkan dalam penjelasan Ibnu Taimiyyah selanjutnya. Nabi s.a.w. tidak berkewajiban menyampaikan semua syariat kepada kita melalui tindakan karena sunnah qauliyyah adalah dalil independen yang tidak bergantung pada contoh tindakan Rasūlullāh s.a.w. atau tindakan sahabat mengingat dalil qauli lebih kuat dari dalil fi‘li berdasarkan kesepakatan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Catatan:

  1. 9). Mushannaf Ibnu Syaibah, nomor 7689, al-Mudawwanah, 1/222-223, Mukhtashar-ul-Muzannī, hal. 26.
  2. 10). Sahabat kecil: yang sempat berjumpai Nabi ketika mereka masih berusia kanak-kanak.
  3. 11). Tābi‘īn dewasa: yang sempat berjumpa sahabat Nabi saat mereka sudah dewasa.
  4. 12). HR. Aḥmad nomor 5397.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *