03-2 Ka’ab Bin Zuhair & Tradisi Memuji Nabi S.A.W. – Sejarah Maulid Nabi

SEJARAH MAULID NABI
Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan
Sejak Khaizurān (173 H.) Hingga
Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang)

Penulis: Ahmad Tsauri
Diterbitkan oleh: Menara Publisher

Rangkaian Pos: 003 Perayaan Maulid Nabi Di Era Klasik | Sejarah Maulid Nabi

Ka‘ab bin Zuhair Dan Tradisi Memuji Nabi s.a.w..

Orang pertama yang menulis kitab Maulid Nabi s.a.w. dan kemudian dibacakan di hadapan khalayak luas, di majlis yang diadakan oleh Khalīfah ‘Abbāsiyyah, adalah Imām al-Ḥāfizh al-Qādhī Muḥammad yang wafat di Baghdād pada tahun 207 H. Kitab Maulid-nya dibaca di hadapan al-Mahdī al-‘Abbāsī. Sedangkan yang pertama kali menuliskan biografi dan perikehidupan Nabi s.a.w. adalah Muḥammad bin Isḥāq (201) yang wafat pada tahun 151 H.

Muḥammad bin Isḥāq menguraikan riwayat Maulid Nabi s.a.w. dan menjelaskan berbagai manfaat yang dapat dipetik oleh kaum Muslim dari peringatan-peringatan Maulid Nabi yang bentuknya antara lain berupa; walimah, sedekah dan kebajikan-kebajikan lain yang bersifat ibadah. Muḥammad bin Isḥāq ini merupakan guru dari Ibnu Hisyām (212) yang menulis sejarah Nabi. Nampaknya catatan Ibnu Isḥāq ini tidak sampai pada kita.

Ibnu Hisyām dan Muḥammad bin Isḥāq menulis biografi Nabi. Keduanya menyusun qashīdah dan sya‘ir yang dibacakan di hadapan khalayak. Inisiatif merayakan dan menulis Maulid Nabi s.a.w. tentu karena mereka melihat contoh dari para sahabat yang mereka jumpai. Para sahabat memang tidak pernah merayakan Maulid Nabi dengan bentuk dan tata cara seperti yang ada pada saat ini; yaitu pengajian dan membagi-bagikan makanan. Namun model yang masih sangat sederhana seperti menggubah puisi yang penuh pujian banyak sekali dan mudah ditemukan dalam literatur. Qashīdah digubah oleh para sahabat dan dibacakan di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Contohnya seperti qashīdah yang disusun oleh Ka‘ab bin Zuhair saat bertemu Nabi s.a.w. di Madīnah sesaat setelah mengikrarkan keislamannya.

Ada juga sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Ibn ‘Abbās adalah orang yang secara eksplisit membaca sya‘ir Maulid dan meminta idzin kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk membacanya di hadapan beliau s.a.w. Kisah Ka‘ab bin Zuhair banyak dimuat dalam kitab-kitab sejarah. Dikisahkan, Nabi bukan hanya mendengarkan qashīdah yang dilantunkan Ibn Zuhair, tapi juga menghadiahkan burdah; sebuah jubah, bahkan ketika Ibn Zuhair baru sampai pada bait 48-49:

إِنَّ الرَّسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلُ
فِيْ فِتْيَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ قَائِلُهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ لَمَّا أَسْلَمُوْا زُوْلُوْا.

Artinya:

Sesungguhnya Rasūl adalah cahaya yang menerangi
Kuat pemberani dari pedang India yang terhunus
Bersama sekelompok orang Quraisy, salah satu dari mereka berkata
Di lembah Makkah ketika mereka masuk Islam, hijrahlah.

Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan sahabat yang sedang berkumpul untuk mendengarkan qashīdah Ka‘ab bin Zuhair dengan seksama. (223) Dan Ka‘ab melanjutkan:

زَالُوْا فَمَا زَالَ أَنْكَاسٌ وَ لَا كُشُفٌ عِنْدَ اللِّقَاءِ وَ لَا مِيْلٌ مَعَازِيْلُ
شُمُّ الْعَرَانِيْنِ أَبْطَالٌ لُبُوْسُهُمْ مِنْ نَسْجِ دَأوُدَ فِي الْهَيْجَا سَرَابِيْلُ
بِيْضٌ سَوَابِغُ قَدْ شُكَّتْ لَهَا حَلَقٌ كَأَنَّها حَلَقُ القَفْعَاءِ مَجْدُوْلُ
يَمْشُوْنَ مَشْيَ الْجِمَالِ الزُّهْرِ يَعْصِمُهُمْ ضَرْبٌ إِذَا عَرَّدَ السُّوْدُ التَّنَابِيْلُ
لَا يَفْرَحُوْنَ إِذَا نَالَتْ رِمَاحُهُمُ قَوْمًا و لَيْسُوْا مَجَازِيْعًا إِذَا نِيْلُوْا
لَا يَقَعُ الطَّعْنُ إِلَّا فِيْ نُحُوْرِهِمُ وَ مَا لَهُمْ عَنْ حِيَاضِ الْمَوْتِ تَهْلِيْلُ

(Belum ada terjemahannya)

Qashīdah dibacakan oleh Ka‘ab bin Zuhair di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Para sahabat mendengarkan dengan seksama atas penekanan Rasūlullāh s.a.w. Peristiwa ini menjadi dasar kebolehan memuji Rasūlullāh s.a.w. Baik dalam bentuk qashīdah, puisi, maupun prosa.

Ibn Hisyām mengatakan bahwa Muḥammad bin Isḥāq meriwayatkan qashīdah ini tanpa menyebutkan sanadnya. Dan al-Ḥāfizh al-Baihaqī meriwayatkan qashīdah ini dengan sanad yang bersambung dalam kitab Dalā’il-un-Nubuwwah. Al-Ḥāfizh al-Baihaqī meriwayatkan dari al-Ḥajjāj bin Dzir-Ruqaibah bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin Ka‘ab bin Zuhair bin Abī Silmī dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasūlullāh s.a.w. menyuruh para sahabat untuk mendengarkan qashīdah yang dibaca oleh Ka‘ab bin Zuhair. Mengomentari riwayat ini, Ibnu Katsīr mengatakan bahwa dalam riwayat lain terdapat keterangan bahwa Rasūlullāh s.a.w. menghadiahkan burdah yang dikenakan beliau pada waktu itu kepada Ka‘ab. Al-Ḥāfizh Abul-Ḥasan bin al-Atsīr dalam kitab Usd-ul-Ghābah mengatakan bahwa burdah yang dihadiahkan kepada Ka‘ab bin Zuhair itu disimpan secara turun-temurun oleh para Khalīfah. (234).

Riwayat pembacaan qashīdah oleh Ka‘ab bin Zuhair ini masuk ke dalam kategori hadits taqrīrī (persetujuan). Rasūlullāh s.a.w. mendengarkan qashīdah Ibnu Zuhair, bahkan menghadiahi Ibnu Zuhair sebuah burdah yang sedang dipakai oleh beliau. Hadits inipun masuk ke dalam kategori aqwāl Nabi (ucapan Nabi), sebab Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan para sahabatnya untuk mendengarkan qashīdah Ibnu Zuhair yang isinya tiada lain menyanjung Nabi s.a.w. Hadits yang menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. tidak pernah memerintahkan sahabat untuk menyanjungnya, bahkan Nabi menyebut namanya hanya dengan Muḥammad di hadapan para sahabatnya, itu semata karena sifat tawādhu‘ Nabi s.a.w.

Catatan:

  1. 20). Muḥammad bin Isḥāq bin Yasār bin Khiyār. Dilahirkan di Madīnah pada tahun 85 H. dan wafat pada tahun 153 H. Muḥammad bin Isḥāq tumbuh di Madīnah dan terkenal sebagai pemuda yang tampan. Setelah cukup dewasa ia berpindah dari satu Negara ke Negara lain. Pertama ia ke Iskandariah (Mesir) sekitar tahun 115 H. Di Iskandariah ia berguru kepada ‘Ubaidah al-Mughīrah, Yazīd bin Ḥubaib, Tsumāmah bin Syāfī, ‘Ubaidillāh bin Abī Ja‘far, Qāsim bin Quzmān, as-Sukān bin Abī Karīmah, ia diberi hak meriwayatkan beberapa hadits yang tidak diriwayatkan oleh yang lain. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Kūfah, Jazīrah, Hirah, dan Baghdād. Dan di Baghdād ia bertemu dengan Khalīfah al-Manshūr dan menuliskan sebuah kitab tentang sejarah Nabi untuk al-Mahdī, putra al-Manshūr. Ibn Hisyām, as-Sīrat-un-Nabawiyyah li Ibn Hisyām, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2004), Cet ke-IV, hlm. 14.
  2. 21). Nama lengkapnya adalah Abū Muḥammad ‘Abd-ul-Mālik bin Hisyām bin Ayyūb al-Ḥumairī. Lahir dan tumbuh di Syiria dan menetap di Mesir. Beliau wafat pada tahun 218 H. Ibn Hisyām menyandang ke-professor-an dalam bidang nahwu, bahasa dan sastra ‘Arab. Dan mempunyai banyak karangan selain kitab as-Sīrat-un-Nabawiyyah. Ibn Hisyām, as-Sīrat-un-Nabawiyyah li Ibn Hisyām, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2004), Cet ke-IV, hlm. 17.
  3. 22). Ismā‘īl bin Katsīr, al-Bidāyatu wan-Nihāyah, (Kairo: Dār al-Taqwā, 1999), Cet ke-1, juz II, hlm. 391.
  4. 23). Ibid.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *