Melalui penjelasan di atas dapat diketahui, mereka yang menilai pujian untuk Nabi s.a.w. sebagai suatu kemungkaran berdasarkan hadits: “Jangan memujiku seperti kaum Nasrani memuji putra Maryam.” (241) mereka berpedoman pada hadits yang tidak pada tempatnya.
Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menjelaskan dalam Fatḥ-ul-Bārī, ithrā’ adalah memuji secara batil. Bahkan andaipun ithrā’ diartikan sebagai pujian secara mutlak, toh lanjutan hadits menjelaskan dan membatasi larangan yang disebut, yaitu pujian yang melampaui batas seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani, Rasūlullāh s.a.w. tidak berkata: “Jangan memujiku,” begitu saja, tapi “Jangan memujiku seperti kaum Nasrani memuji putra Maryam.”
Pujian para sahabat yang disampaikan di hadapan Nabi s.a.w., pengakuan Nabi s.a.w. atau pujian para sahabat dan dorongan beliau bagi kaum Muhājirīn agar memuji kaum Anshār menjelaskan hadtis larangan untuk memuji secara berlebihan dan menangkal syubhat-syubhat yang dijadikan pedoman oleh mereka yang melarang pujian untuk Rasūlullāh s.a.w.
Imām ath-Thabarī menjelaskan dalam tafsrinya (1/482), seperti yang diketahui, tidak ada seorang pun yang menyandang sifat mencela orang yang memuji Nabi s.a.w., juga tidak ada yang terlalu memperbanyak pujian atas keutamaan beliau s.a.w.
Kalangan yang menyatakan Nabi s.a.w. sudah tidak memerlukan pujian lagi karena sudah dipuji Allah s.w.t. dalam al-Qur’ān, mereka salah karena orang-orang yang suka memuji Nabi s.a.w. bukan berarti Nabi s.a.w. memerlukan pujian, tapi dengan pujian itu mereka berharap mendapatkan keutamaan-keutamaan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kita berlindung kepada Allah s.w.t. dari segala upaya mengakali dalil-dalil syar‘i dan saling dibenturkan satu sama lain. Kita memohon kepada Allah s.w.t. semoga berkenan memenuhi hati kita dengan cinta kepada Rasūlullāh s.a.w., keluarga, sahabat dan para pewaris beliau, memenuhi hati kita dengan rasa senang dan pujian untuk Rasūlullāh s.a.w.
Menyenandungkan syair dalam majelis Maulid – termasuk menyebut kebaikan-kebaikan Rasūlullāh s.a.w. – merupakan wujud mengingat nikmat Allah s.w.t. atas kelahiran dan diutusnya Rasūlullāh s.a.w. serta dijadikan sebagai teladan bagi orang-orang mu’min.
Allah s.w.t. berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْ عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلَالٍ مُّبِيْنٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasūl dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitāb dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Āli ‘Imrān: 164).
Para sahabat yang menyenandungkan syair pujian di hadapan beliau s.a.w. dimaksudkan untuk mengingat nikmat agung tersebut.
Seperti disebutkan dalam riwayat al-Bukhārī; dari Salamah bin Akwā’, ia berkata: “Kami bepergian bersama Nabi s.a.w. menuju Khaibar lantas ada seseorang di antara kaum berkata: “Hai ‘Āmir, tolong perdengarkan syair-syairmu untuk kami.”
‘Āmir kemudian menuntun mereka untuk menyebut-nyebut: “Demi Allah, andai bukan karena Allah niscaya kami tidak mendapat petunjuk.” (252).
Redaksi: “‘Āmir kemudian menuntun mereka untuk berdzikir” adalah nash yang menyebut tujuan menyenandungkan syair.
Al-Bukhārī menyebutkan lanjutan syair itu dalam kitab peperangan, bab perang Khaibar (no. 3960).
Ya Allah, andai bukan karena-Mu niscaya kami tidak mendapat petunjuk
Tidak bersedekah ataupun shalat
Karena itu ampunilah kami selama hayat masih dikandung badan
Kuatkan pendirian kami saat menghadapi musuh
Limpahkan ketenangan kepada kami
Kala kami diseru untuk perang lalu kami enggan untuk memenuhi
Musuh akan menguasai kami.
Tadzkīr maksudnya mendorong untuk dzikir dalam arti yang luas, tapi dalam hal ini bermakna khusus, yaitu sebagai wujud rasa syukur kepada Allah s.w.t. karena petunjuk yang diberikan, atas zhahirnya Rasūlullāh s.a.w. di tengah-tengah umat ini, karena beliau jua hidayah Allah s.w.t. ada.
Allah s.w.t. menjadikan beliau sebagai perantara hidayah dan menyebutnya sebagai penuntun.
Allah s.w.t. berfirman:
وَ إِنَّكَ لَتَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. asy-Syūrā [42]: 52).
Nabi s.a.w. bersabda: “Siapa tidak berterimakasih kepada sesama, ia tidak bersyukur kepada Allah.” (Musnad Aḥmad, hadits nomor 7504, Sunan at-Tirmidzī, hadits nomor 1954, at-Tirmidzī menyatakan hadits ini ḥasan shaḥīḥ.)
Mengingat perayaan tahunan dan penentuan batas waktunya bersandar pada hadits puasa ‘Āsyurā’ mengingat masing-masing sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat agung, karena itu perayaan mingguan pada hari Senin lebih kuat dalilnya, sebab puasa Senin merupakan ibadah yang disyariatkan secara khusus terkait dengan kelahiran Nabi s.a.w., seperti disebutkan dalam hadits riwayat Muslim (1162); Nabi s.a.w. ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: “Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus (diberi wahyu).”
Demikian alasan atas anjuran puasa Senin yang dijelaskan Rasūlullāh s.a.w., dan alasan ini ada dalam setiap ibadah yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah s.w.t. atas kelahiran Nabi s.a.w. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan mubāḥ yang terkait dengan tujuan tersebut tidak memerlukan dalil karena hukum asalnya mubāḥ.
Selanjutnya ketika tujuan tersebut ditambahi rasa senang atas kelahiran Nabi s.a.w., amal yang dilakukan lebih mendekati anjuran syar‘i seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam hadits Abū Dāwūd tentang menabuh rebana dan ulasan para ahli hadits.
Wallāhu a‘lam.