03-11,12,13 Senang atas Kelahiran Nabi adalah Perintah Ilahi – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Senang atas Kelahiran Nabi adalah Perintah Ilahi.

Senang atas kelahiran Nabi s.a.w. termasuk dalam pengertian menjalankan perintah Allah s.w.t.:

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ.

Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yūnus: 58).

As-Suyūthī menukil pendapat Ibnu ‘Abbās r.a., yang dimaksud “karunia” dalam ayat tersebut adalah ilmu, sedangkan “rahmat” adalah Nabi s.a.w.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ.

Dan Tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs. al-Anbiyā’: 107).

Bersenang-senang dengan datangnya rahmat Allah adalah perintah Allah, dan rahmat terbesar bagi umat ini adalah diutusnya Nabi Muḥammad s.a.w., Amalan-amalan dalam majelis Maulid yang disebut al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar dan lainnya (dengan berbagai batasannya; lihat hlm. 68) juga sebagai wujud rasa senang atas kelahiran Nabi s.a.w. dengan maksud untuk bersyukur atas nikmat agung tersebut.

Maḥall-ul-Qiyām: Ungkapan Ta‘zhīm dan Iḥtirām.

Berdiri di pertengahan pembacaan kitab Maulid bukan sesuatu yang diwajibkan dan disunnahkan. Itu hanya gerakan biasa yang dianggap baik oleh sebagian ulama, sebagai ungkapan rasa ta‘zhīm dan cinta pada Rasūlullāh s.a.w.

Seperti ketika orang dalam posisi duduk atau tidur kemudian tiba-tiba dikabarkan tentang kelahiran anak, cucu, atau orang dekatnya niscaya akan bangun dari posisinya karena rasa senang. Ini lumrah dan sangat manusiawi. Nah, seperti itu pula kita berdiri dalam Maulid, walau sebagian orang awam memahami bahwa beliau hadir dengan jasad dan ruh. Itu perlu pelurusan, sebab itu bukan dari pemahaman ulama dan tidak bersumber dari dalil yang kuat.

Memang para salaf meyakini bahwa ruh Nabi s.a.w. dan ruh para wali dapat idzin dari Allah untuk hadir ke majelis-majelis yang baik. Ibn-ul-Qayyim dalam kitabnya (ar-Rūḥ, hlm. 144) menukil perkataan sahabat Salmān al-Fārisī r.a.:

أَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ بَرْزَخٍ مِنَ الْأَرْضِ تَذْهَبُ حَيْثُ شَاءَتْ.

Arwah orang-orang mu’min di alam Barzakh dapat pergi ke mana ia suka di muka bumi ini.

Jadi, ruh Rasūlullāh s.a.w. dapat saja menghadiri majelis Maulid dengan idzin Allah s.w.t. tetapi kita tidak boleh memastikan kehadiran itu, karena Allah sajalah yang Maha Mengetahui segalanya.

Berdirinya hadirin di tengah pembacaan kitab Maulid tak terkait dengan hadir atau tidak hadirnya ruh Rasūlullāh s.a.w.. Berdiri di sana menggambarkan rasa sukacita umat ketika kisah yang dibacakan sampai pada detik-detik saat beliau telahir ke alam dunia, yang dalam banyak riwayat pun disebutkan betapa seluruh alam pun bergembira atas nikmat ini.

Kebiasaan berdiri dalam memperingati Maulid saat detik-detik kelahiran Rasūlullāh s.a.w. dibacakan, dilakukan dan dipandang baik oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, ia baik di sisi Allah, demikian seperti disebutkan dalam Musnad Imām Aḥmad pada sebuah hadits mauqūf dari sahabat Ibnu Mas‘ūd r.a.

Dikatakan, penghormatan tersebut boleh di masa beliau hidup, sedangkan saat peringatan Maulid beliau sudah tidak ada. Jawabannya, orang-orang yang menghadiri majelis Maulid menggambarkan dalam hati mereka akan kehadiran Rasūlullāh s.a.w.. Gambaran ini merupakan suatu perkara yang terpuji dan dituntut, demi menyempurnakan ketaatan dan menambahkan kecintaan kepada beliau.

Bahkan dalam bacaan shalat pun, yang merupakan hubungan vertikal hamba dan Khāliq-Nya, beliau kita sertakan dengan ucapan: “As-Salāmu ‘alaika ayyuh-an-nabiyyu wa raḥmatullāhi wa barakātuh. – keselamatan, rahmat, dan berkah atasmu wahai Sang Nabi.” Di sini kita memakai kata ganti orang kedua (kamu) dan tidak menggunakan kata ganti orang ketiga (dia), seakan-akan beliau hadir di hadapan kita.

Keutamaan Memuji Nabi s.a.w.

Menampakkan rasa senang yang tercermin dalam pujian-pujian untuk Nabi s.a.w. lebih terasa dan lebih kuat dari memukul rebana. al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menjelaskan itu termasuk amalan mubāḥ dan terkait dengan jenis ibadah,

Karenanya, Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ-ul-Bārī Syarḥu Shaḥīḥ-il-Bukhārī dan Imām Nawawi dalam Syarḥu Shaḥīḥi Muslim menerangkan, pujian kepada Nabi s.a.w., termasuk di dalamnya syair-syair yang bisa membawa kebaikan seperti meningkatkan dan mempertahankan semangat atau bisa menjadikan Nabi sabagai teladan, hukumnya dianjurkan.

Memuji Nabi s.a.w. jelas mendorong untuk meneladani beliau s.a.w. Disebutkan dalam beberapa riwayat, para sahabat memuji Nabi s.a.w. melalui syair seperti riwayat dalam Shaḥīḥ-ul-Bukhārī (hadits nomor 1104) dari Abū Hurairah tentang pujian ‘Abdullāh bin Rawāḥah untuk Rasūlullāh s.a.w.:

Di tengah-tengah kami ada Rasūlullāh s.a.w. yang membaca kitab-Nya

Kala cahaya muncul dari fajar

Ia memperlihatkan petunjuk kepada kami setelah sebelumnya kami buta

Hati kami yakin apa yang ia ucapkan nyata

Di malam hari lambungan jauh dari tempat tidur

Kala tidur terasa berat oleh orang-orang musyrik.

Disebutkan dalam Shaḥīḥ Muslim (hadits nomor 2490), dari ‘Ā’isyah, tentang syair Ḥassān bin Tsābit sebagai balasan atas celaan yang dialamatkan kepada Nabi s.a.w.:

Kau mencela Muhammad sosok yang berbakti dan bertaqwa

Utusan Allah, dengan ciri menepati janji.

Disebutkan dalam Shaḥīḥ Muslim, diriwayatkan dari ‘Ā’isyah tentang syair pujian Ḥassān bin Tsābit untuk sebagian Bani Hāsyim juga sebagai balasan untuk mereka yang mencela Nabi s.a.w.:

Puncak kemuliaan berasal dari keluarga Hāsyim

Keturunan putri Makhzūm sementara ayahmu seorang budak (221).

Diriwayatkan dari Masrūq (hadits nomor 2488); pujian Ḥassān bin Tsābit untuk Sayyidah ‘Ā’isyah r.a.:

Wanita suci, teguh, tanpa diragukan

Kini melahap daging-daging ternak yang bertanda.

Memuji Nabi s.a.w. merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah s.w.t. karena mengutus beliau sebagai rasūl, dus pengakuan akan kebaikan Rasūlullāh s.a.w.. Beliau bersabda (riwayat Abū Dāwūd no. 4814), (232): “Siapa yang mendapat ujian lalu menyebut-nyebutnya, berarti ia telah mensyukurinya dan bagi yang menutup-nutupi, berarti ia telah mengingkarinya.

Disebutkan dalam Sunan Abī Dāwūd (hadits no. 4779, semua perawi hadits ini adalah para perawi kitab as-shaḥīḥain; Muhājirīn mengadu: “Wahai Rasūlullāh, kaum Anshār menghabiskan semua pahala.”

Rasūlullāh s.a.w. menyahut: “Tidak, selama kalian berdoa dan memuji mereka.

Memuji artinya menyebut kebaikan. Hadits ini menjelaskan, pujian kaum Muhājirīn untuk kaum Anshār membuat mereka sama-sama meriah pahala seperti yang didapatkan kaum Anshār yang membela, menolong dan lebih mementingkan kaum Muhājirīn melebihi kepentingan pribadi meski mereka membutuhkan. Itu merupakan pahala yang sangat besar sekali dan pahala hanya didapatkan melalui ketaatan.

Memuji Nabi s.a.w. adalah sebagai kesaksian bahwa beliau telah menyampaikan dan memiliki akhlak baik seperti kesaksian yang diberikan Allah s.w.t. untuk beliau, seperti itu juga sosok beliau sebagai teladan terbaik. Ini juga mendatangkan pahala besar.

Catatan:

  1. 22). HR. Muslim, nomor 2589.
  2. 23). Taḥqīq: Muḥyiddīn ‘Abd-ul-Ḥāmid. As-Suyūthī memberi tanda hadits ini shaḥīḥ dalam al-Jāmi‘-us-Shaghīr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *