Hati Senang

03-1 Khaizuran Binti ‘Atha’ (W. 173 H.) & Akultursi Budaya Persia – Sejarah Maulid Nabi

SEJARAH MAULID NABI
Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan
Sejak Khaizurān (173 H.) Hingga
Ḥabīb Luthfī bin Yaḥyā (1947 M. – Sekarang)


Penulis: Ahmad Tsauri
Diterbitkan oleh: Menara Publisher

Khaizurān Binti ‘Athā’ (W. 173 H.) dan Akultursi Budaya Persia.

Khaizurān adalah seorang wanita terpelajar. Namanya terukir dalam catatan sejarah. Kitab Tārīkh Baghdād, Tārīkh Thabarī, al-Bidāyatu wan-Nihāyah, al-Kāmilu fī Tārīkh, Syadzarāt Dzahab, al-Qāmūs-ul-Muḥīth menjadi sebagian kitab yang mengabadikan namanya.

Semula, ia adalah seorang budak. Dia dibeli dan dimerdekakan oleh Khalīfah al-Mahdī bin Manshūr al-‘Abbās pada tahun 159 H. Khalīfah kemudian menikahinya. Khaizurān mempunyai paras jelita, menawan, berkharisma, cerdas, dan berwawasan luas. Ia termasuk wanita yang menguasai fiqh secara mendalam. Khaizurān mendalami fiqh di bawah asuhan Imām ‘Auzā‘ī. Ia juga berguru kepada Imām Sufyān ats-Tsaurī. Karena kepribadiannya yang menawan itu, al-Mahdī sangat mencintai Khaizurān, al-Mahdī tidak pernah bisa jauh dari istrinya. Seperti pada saat Khaizurān menunaikan ibadah haji di Makkah. Sedangkan al-Mahdī di Baghdād. Al-Mahdī mengirim surat kepada Khaizurān, mengurai kerinduan yang dirasakannya. Al-Mahdī menulis:

نَحْنُ فِيْ غَايَةِ السُّرُوْرِ وَ لكَنْ لَيْسَ إِلَّا بِكُمْ يَتِمُّ السُّرُوْرُ
عَيْبٌ مَا نَحْنُ فِيْهِ يَا أَهْلَ وُدِّيْ أَنَّكُمْ غَيْبٌ وَ نَحْنُ حُضُوْرُ
فَأَجِدُوْا فِي السَّيْرِ بَلْ إِنْ قَدَرْتُمْ أَنْ تَطِيْرُوْا مَعَ الرِّيَاحِ فَطِيْرُوْا.

Aku sangat bahagia, tapi hanya engkau yang bisa menggenapkannya.
Ada sesuatu yang kurang duhai pemilik hati; engkau di sana aku di sini.
Segeralah kembali, jika kau bisa terbang bersama angin maka terbanglah.

Khaizurān membalas puisi al-Mahdī:

قَدْ أَتَانَا الَّذِيْ وَصَفْتَ مِنَ الشَّوْ قِ فَكِدْنَا وَ مَا قَدَرْنَا نَطِيْرُ
لَيْتَ أَنَّ الرِّيَاحَ كُنَّ يُؤَدِّيْنَ إِلَيْكُمْ مَا قَدْ يَكُنِ الضَّمِيْرُ
لَمْ أَزَلْ صُبَّةً فَإِنْ كُنْتَ بَعْدٍ فِيْ سُرُوْرٍ فَدَامَ ذَاكَ السُّرُوْرُ

Kisah rindumu sudah sampai padaku, seandainya bisa, sayang aku tak mampu terbang.
Andai angin menyampaikan padamu, apa yang ada dalam hati.
Semoga senantiasa aku tuangkan, kebahagiaan yang kau rasa dan abadilah itu.

Khaizurān menjadi penasihat pribadi bagi suami dan kedua putranya yang menjadi (Khalīfah) di kemudian hari. Yaitu Khalīfah al-Hādī (w. 170 H.) dan ar-Rasyīd (w. 193 H.). (51) Khaizurān tinggal di Baghdād, pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbāsiyyah sejak al-Manshūr pada 173 H.

Baghdad secara politik merupakan bekas wilayah imperium Sasania Persia kuno. Dinasti itu mempunyai sejarah panjang. Memiliki kebudayaan dan peradaban yang sangat lebih maju. Persia masuk ke dalam wilayah Islam sejak pemerintahan Amīr-ul-Mu’minīn ‘Umar bin Khaththāb pada tahun 16 H. (62) Sejak saat itulah terjadi akulturasi budaya antara Islam dan budaya Persia. Puncaknya, pada saat al-Manshūr membangun sekaligus memusatkan pemerintahan di Baghdād pada tahun 145 H. Kota dibangun dalam bentuk lingkaran. Di bagian tengah, diletakkan kantor-kantor lembaga pemerintahan yang dibuat mengelilingi lingkaran paling dalam. Lingkaran paling dalam adalah istana khalīfah. Dengan demikian istana khalifah dekat dengan seluruh departemen. Tidak ada departemen yang lebih dekat dari istana raja dibanding yang lainnya. Tata kota seperti ini merupakan hal baru dalam kebudayaan umat Islam. Pola seperti ini diadopsi oleh al-Manshūr dari Dinasti Sasania Persia. (73).

Khalīfah Abū Ja‘far al-Manshūr dan para penerusnya mempunyai perhatian serius terhadap peradaban Persia dan Yunani. Keseriusan itu diwujudkan dalam proyek penerjemahan buku-buku warisan dua peradaban besar tersebut. Terutama tulisan Abqarat dan Galen tentang pengobatan yang diterjemahkan oleh Hunain bin Isḥāq serta Kitab Kalīlah wa Dimnah yang dialih bahasakan oleh Ibn-ul-Muqaffa’ ke dalam bahasa ‘Arab. Khalīfah ar-Rasyīd melanjutkan proyek ayahnya itu dengan itu dengan membangun Bait-ul-Ḥikmah. Proyek ini selanjutnya diteruskan oleh Khalīfah al-Mu’mūn. Selain Ḥunain bin Isḥāq dan Ibnu Muqaffa’, nama-nama lain yang populer dalam proyek “penerjemahan” al-Manshūr adalah keluarga an-Nubikhāt, Ḥasan bin Sahal, Aḥmad bin Yaḥyā bin Jābir al-Baladzrī dan ‘Umar bin al-Farkhan. Dinasti ‘Abbāsiyyah sejak al-Manshūr mengadopsi banyak unsur Dinasti Sasania Persia; sistem pemerintahan, (84) seni arsitektur, makanan, fashion, pengobatan, filsafat, sastra, (95) dan kebudayaan populer seperti perayaan hari-hari besar.

Pada era Dinasti ‘Abbāsiyyh, umat Islam mencapi puncak kejayaannya. Pada era ini pemerintah mendirikan sekolah kedokteran, mendirikan rumah sakit dan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah yang menghadirkan para pakar kedokteran baik dari Timur maupun Barat. Pertemuan dilangsungkan pada saat musim haji. Baghdād di Timur dan Qordoba di Barat menjadi pusat dan barometer kedokteran pada masa itu.

Di lain pihak, Dinasti ‘Abbāsiyyah secara geografis sangat strategi. Imperium Islam sangat luas. Wilayah kekuasaan mencakup darat dan lautan. Lalu lintas darat dan laut terjaga keamanannya. Kondisi ini efektif meningkatkan perekonomian umat Islam. Perjalanan dagang dan ekspedisi semarak. Realitas ini berbaring lurus dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan dan intelektualitas masyarakat Muslim. Pada era pemerintahan ar-Rasyīd, ekspedisi perdagangan yang dilakukan saudagar Muslim sudah sampai ke India, Cina, Asia Tengah, Afrika, dan Eropa. Masyarakat yang sudah mempunyai kesiapan intelektual semacam itu, memiliki sistem dokumentasi yang baik. Ketika melakukan ekspedisi atau perjalanan dagang, mereka menulis apa yang mereka saksikan di setiap Negara yang mereka singgahi. Ini menggugah kesadaran dan merubah cara pandang Muslim pada masa itu dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengubah kesadaran sosial masyarakat secara massif yang berimplikasi luas, meliputi perdagangan, sosial budaya, politik, dan juga profesi.

Kebudayaan Muslim dan Persia mengalami akultrasi besar-besaran. Termasuk perayaan hari-hari besar Islam. Pada masa pemerintahan Dinasti ‘Abbāsiyyah, terdapat tiga perayaan besar yang merupakan peninggalan Dinasti Sasania Persia. Pemerinta mengidzinkan perayaan itu diadakan setiap tahunnya. Utamanya pada masa Hārūn ar-Rasyīd. Tiga perayaan tersebut adalah perayaan awal tahun yang disebut perayaan Nairūz (Norūz), perayaan akhir tahun yang disebut Mahrajān dan perayaan Ram.

Tiga momen itu menjadi hari perayaan selain hari raya ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā. Ide mengadopsi perayaan Nairūz dan Mahrajān sudah muncul sejak Khalīfah Hisyām bin ‘Abd-il-Mālik dari Dinasti Umayyah (105-125 H.). Para pejabat pada masa itu berkumpul dan mengutarakan gagasan merayakan perayaan akhir dan awal tahun pada Gubernur Khālid bin ‘Abdillāh. Mereka mencoba menyiasati agar perayaan itu tidak serupa (tasyabbuh) (106) dengan perayaan yang diadakan oleh penguasa Sasania. Yaitu dengan mengakhirkan pelaksanaan perayaan satu bulan saja dari waktu yang digunakan oleh Dinasti Sasania. Ide itu disampaikan para Gubernur melalui sebuah surat kepada Hisyām bin ‘Abd-il-Mālik. Hisyām menjawab acara itu tidak mungkin dirayakan sebab khawatir melanggar firman Allah:

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaithan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs. at-Taubah: 37).

Pemerintahan Bani Umayyah runtuh dan belum sempat mengidzinkan perayaan itu. Demikian pula penguasa dari ‘Abbāsiyyah sejak Abul-‘Abbās ash-Shaffāḥ, Abū Ja‘far al-Manshūr, al-Mahdī hingga Mūsā al-Hādī, perayaan itu belum mendapatkan idzin resmi. Baru pada masa Khalīfah Hārūn ar-Rasyīd, perayaan ini dapat mendapat idzin resmi khalifah. Meskipun pada mulanya muncul kekhawatiran ada kesamaan dengan perayaan Majusi. Perayaan Nairūz dianggap penting dan dirayakan selama lima hari. Demikian juga dengan hari raya Mahrajān. Perbedaannya, Nairūz sebagai perayaan awal tahun. Mahrajān perayaan akhir tahun dan Ram adalah perayaan akhir tahun yang diadakan pada hari ke-21 pada tahun tersebut. Dalam perayaan ini bangsa Persia berbagi hadiah, makanan dan pakaian. Tradisi semacam ini dilakukan saat perayaan ini diadopsi oleh umat Islam pada masa ‘Abbāsiyyah.

Tidak mengherankan jika Khaizurān, seorang wanita yang salehah dan terpelajar menginisiasi perayaan Maulid Nabi di Madīnah dan Makkah pada tahun 170 H. Tepat pada tahun Hārūn ar-Rasyīd diangkat menjadi Khalīfah. Khaizurān memerintahkan perayaan Maulid Nabi tiga tahun sebelum beliau wafat pada 173 H. Mungkin ada beberapa pertanyaan yang muncul? Kenapa Khaizurān baru berinisiatif merayakan Maulid Nabi s.a.w. baru pada masa Hārūn ar-Rasyīd? Tidak pada masa Mūsā al-Hādī? Atau bahkan pada masa pemerintahan al-Manshūr, suaminya?

Dari penjelasan sebelumnya, agaknya Khaizurān terinspirasi perayaan Nairūz, Mahrujān dan Ram. Perayaan hari besar selain ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā yang mulai diadakan pada masa putranya Hārūn al-Rasyīd. Sebelumnya, perayaan ini terhenti sejak Dinasti Sasania jatuh ke Amīr-ul-Mu’minīn ‘Umar bin al-Khaththāb. Tidak ada gagasan dan inovasi yang sama sekali baru. Dalam ilmu pengetahuan teori ini disebut epistemic rupture, retakan epistemik. Inovasi dan segala sesuatu yang baru pasti didahului oleh contoh meski dalam bentuknya sangat yang sederhana. Alasan lainnya, karena kekhawatiran melanggar norma bid‘ah dhalālah. (117) Inovasi yang sesat seperti kekhawatiran Hisyām bin ‘Abd-il-Mālik bin Marwān sebelumnya.

Alasan-alasan yang penulis kemukakan perlu ditelusuri melalui literatur lebih awal. Penulis menduga kuat, ide Khaizurān mengadakan perayaan Maulid Nabi di Makkah dan Madīnah berasal dari model perayaan di luar Islam itu. Bagaimana bentuk perayaan Maulid Nabi pada masa itu? Sementara, karena minimnya data dari abad kedua yang terjaga hingga kini, berdasarkan beberapa catatan sejarah pada masa itu, penulis hanya bisa menduga beberapa hal. Pertama, perayaan Maulid pada masa itu dengan mendengarkan bacaan Maulid Nabi berupa sastra puisi (syi‘ir) maupun esai. Ada beberapa argumen yang mendasari: (i) tradisi pembacaan syair yang berisi pujian atas kemuliaan Nabi s.a.w. sudah dimulai pada masa Nabi, seperti Ka‘ab bin Zubair yang membacakan syairnya di hadapan Nabi, dan Nabi menyuruh para sahabat untuk mendengarkannya dengan seksama. Dan dalam bentuk esai (natsar) sangat mungkin karena sastra dalam bentuk esai ini masuk dari tradisi Persia ke dalam kebudayaan Muslim; (ii) Pada masa Dinasti ‘Abbāsiyyah, mendengarkan kisah (hikayat; cerita pendek) adalah kegiatan yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang. Masyarakat Muslim senang sekali mendengarkan cerita langka, cerita lucu, dan kisah-kisah yang menginspirasi. Jadi kebiasaan mendengar cerita ini tentu sejalan dengan kebiasaan masyarakat ‘Arab terpelajar yang suka membacakan sya‘ir ataupun natsar. (128)

Kedua, adanya pembagian makanan atau pakaian dalam perayaan Maulid Nabi s.a.w. Alasan yang mendasarinya: (i) kebiasaan membagikan makanan dan pakaian menjadi tradisi dalam setiap perayaan ‘Īd-ul-Fithri dan ‘Īd-ul-Adhḥā pada saat itu. Bahkan dalam perayaan Nairūz dan Mahrajān yang diadopsi sejak pemerintahan ar-Rasyīd, masyarakat juga melakukan hal yang sama. (ii) Dikuatkan juga boleh adanya fakta bahwa “dermawan” adalah salah satu sifat Khaizurān yang populer dalam sejarah hidupnya. Setiap hari ia membagikan makanan, manisan dan pakaian. Sehingga karena dermawannya ini, Khaizurān bersitegang dengan putranya Mūsā al-Hādī, dan hubungan keduanya semakin memburuk sampai al-Hādī wafat pada tahun 170 H. (139).

Dari analisis di atas, penulis menyatakan bahwa Khaizurān-lah yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid. Meskipun ini perlu ditelusuri lebih jauh. Kesimpulan penulis ini didukung oleh informasi dari al-Azrāqī (250 H.) sejarawan dari abad ke-3, an-Naqqās (266-351 H.) dan Ibnu Jubair (540 H.- 614 H.) Azrāqī, ulama dan sejarawan Makkah, mengatakan bahwa di Makkah, ada satu tempat yang sangat dianjurkan untuk dijadikan tempat shalat, yaitu tempat Rasūlullāh s.a.w. dilahirkan. Khaizurān mengalihfungsikan tempat itu menjadi masjid.

An-Naqqās yang masa kehidupannya tidak jauh dari Khaizurān, menyebutkan bahwa pada masanya, tempat lahir Nabi s.a.w. memiliki keistimewaan di mata masyarakat. Berdoa di tempat itu pada hari kelahiran Nabi diyakini mustajab. (1410) Nampaknya pada masa itu perhatian pada hari kelahiran Nabi s.a.w. mulai besar dan dikaitkan dengan tempat kelahirannya. Fakta ini menjadi salah satu praktik Maulid Nabi yang dilahirkan pada abad-abad pertama di Makkah. Dan karakteristiknya sesuai dengan lokalitas Makkah yang kaya akan situs-situs sejarah yang terkait dengan Nabi s.a.w. Berdoa pada hari Senin sangat dianjurkan di tempat lahir Nabi, berdasar pada keyakinan bahwa Nabi dilahirkan pada hari Senin.

Ketiga, sumber otoritatif paling awal berikutnya adalah tulisan seorang pelancong terkenal Ibnu Jubair. Ibnu Jubair melakukan dua kali kunjungan ke Makkah. Pada kunjungan pertama, ia tinggal delapan bulan lebih di Makkah. Ibnu Jubair menuliskan catatan perjalanannya selama di Makkah, terutama yang terkait rumah Nabi. (1511):

وَ مِنْ مَشَاهِدِهَا الْكَرِيْمَةِ أَيْضًا مَوْلِدُ النَّبِيُّ (ص). وَ التُّرْبَةُ الطَّاهِرَةُ الَّتِيْ هِيَ أَوَّلُ تُرْبَةِ مَسَّتْ جِسْمَةَ الطَّاهِرَةَ بُنِيَ عَلَيْهِ مَسْجِدُ لَمْ يُرَ أَحْفَلَ بِنَاءٍ مِنْهُ أَكْثَرُهُ ذَهَبُ مُنَزَّلٌ بِهِ وَ الْمَوْضِعُ الْمُقَدَّسُ الَّذِيْ سَقَطَ فِيْهِ (ص) سَاعَةَ الْوِلَادَةِ السَّعِيْدَةِ الْمُبَارَكَةِ الَّتِيْ جَعَلَهَا اللهُ رَحْمَةً لِلْأُمَّةِ أَجْمَعِيْنَ مَحْفُوْفٌ بِالْفِضَّةِ فَيَا لَهَا تُرْبَةٌ شَرَفَهَا اللهُ بِأَنْ جَعَلَهَا اللهُ مَسْقَطُ أَطْهَرُ الْأَجْسَامُ، وَ مَوْلِدُ خَيْرُ الْأَنَامِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ أَهْلِهِ وَ أَصْحَابِهِ الْكِرَام. يُفْتَحُ هذَا الْمَوْضِعُ الْمُبَارَكُ فَيَدْخُلُهُ النَّاسُ كَافَّةً مُتَبَرِّكِيْنَ بِهِ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ وَ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ مِنْهُ لِأَنَّهُ كَانَ شَهْرَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ (ص) وَ فِي الْيَوْمِ الْمَذْكُوْرِ وُلِدَ (ص) وَ تُفْتَحُ الْمَوَاضِعُ الْمُقَدَّسَةُ الْمَذْكُوْرَةُ كُلُّهَا وَ هُوَ يَوْمَ مَشْهُوْرٌ بِمَكَّةِ دَائِمًا.

Situs sejarah yang ada di Kota Makkah yang mulia, adalah tempat lahir Nabi s.a.w. Tanah suci yang menjadi tanah pertama yang tersentuh oleh fisik Nabi yang suci. Di tempat itu didirikan masjid. Tiada ada tempat yang lebih megah dari tempat itu, hampir keseluruhan bangunan itu terbuat dari emas. Tempat suci yang mengenai kulit Nabi saat Nabi s.a.w. dilahirkan – kelahiran yang menjadi rahmat bagi seluruh umat – dilapisi oleh perak. Itulah tanah yang dimuliakan karena menjadi tempat Nabi s.a.w. lahir. Tempat suci itu dibuka, dan semua orang boleh memasukinya – untuk mengambil berkah – tiap hari Senin bulan Rabī‘-ul-Awwal, karena bulan itu adalah bulan dilahirkannya Nabi s.a.w., dan di hari itu Nabi dilahirkan. Semua tempat yang disebutkan (situs-situs di Makkah), dibuka pada hari itu. Hari (Senin bulan Rabī‘ul-Awwal) itu sangat terkenal di Kota Mekkah.”

Pada masa itu Makkah dipimpin oleh penguasa keturunan Nabi s.a.w. Amir Mukhtar bin ‘Alī, keturunan Imām Ḥasan bin ‘Alī. (1612).

Kemungkinan lain, Khairuzān memerintahkan penduduk Madīnah dan Makkah mengadakan Maulid agar umat Islam tidak latah ikut serta dalam perayaan Nairūz dan Mahrajān. Dua perayaan non-Muslim yang muatannya bertentangan dengan syariat Islam. Dua perayaan ini nampaknya menyebar ke seluruh wilayah Islam. Terutama daerah yang penduduk Kristennya banyak seperti Andalusia. Dalam buku ad-Durr-ul-Munazhzhamu fī Maulid Nabī al-Mu‘azhzham, Abul-‘Abbās al-‘Azafī menulis: “Saya pikir bahwa kedekatan dengan orang-orang Kristen, hubungan dengan para pedagang mereka dan pergaulan sosial yang intensif selama masa penahanan mereka telah mendorong penduduk Andalus untuk bertindak seperti ini.” Para ulama Andalusia mengutuk perayaan Nairūz, Mahrajān, dan Ram itu, seperti Ibnu Waddāh (w. 289 H.), Ibnu Basykuwāl (w, 578 H.). Problem yang sama juga terjadi di daerah lain. Abul-‘Abbās al-‘Azafī (557/1162 – 633/1236) mengatakan Muslim tidak seharusnya meniru kaum Yahudi, Kristen ataupun non-Muslim lainnya. Abul-Qāsim al-‘Azafī menyebutkan, itulah yang memotivasi ayahnya; Abul-‘Abbās al-‘Azafī menyusun buku ad-Durr-ul-Munazhzhamu fī Maulid Nabī al-Mu‘azhzham, berakar pada kepeduliannya yang sangat mendalam untuk menyaksikan dan mengikuti laporan-laporan lisan bahwa penduduk Islam di Andalusia pada masa itu meniru Ahli Kitāb dalam merayakan Nairūz dan Mahrajān. (1713).

Abul-‘Abbās al-‘Azafī mencurahkan perhatian mengganti kedua perayaan itu dengan perayaan hari kelahiran Nabi s.a.w. dan menyebarkannya ke berbagai wilayah Islam. Setelah Abul-‘Abbās al-‘Azafī wafat, upaya-upaya itu dilakukan oleh putranya Abul-Qāsim al-‘Azafī, termasuk dalam penyelesaian buku ad-Durr-ul-Munazhzhamu fī Maulid Nabī al-Mu‘azhzham. Dalam buku itu Abul-‘Abbās al-‘Azafī mengatakan: (1814)

“Saya telah mencari dengan intensif dan memeras otak saya untuk menemukan sesuatu yang akan mengalihkan perhatian orang dari bid‘ah ini, namun ia harus sesuatu yang mubah, yang tidak menyebabkan orang yang mengikutinya menjadi berdosa. Allah mengilhami saya dengan motif (tawiyyah) saya dan Allah ‘azza wa jalla mengilhami saya dengan sebuah rencana yang akan merupakan argumentasi yang menentukan bagi mereka dalam bidang agama maupun sekuler, manakala mereka dihadapkan dengan ini. Oleh sebab itu saya mengalihkan perhatian mereka pada hari lahir Nabi Muḥammad s.a.w. Umat Nabi Muḥammad s.a.w., dan sementara kita memperingati nabi-nabi lain, seperti hari lahir ‘Īsā dan Yaḥyā ibn Zakariyyā, kita tidak mengakui ini, meskipun ini penting, ini merupakan kesalahan yang sudah berlangsung cukup lama.”

Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa perayaan Nairūz dan Mahrajān sejak diadopsi oleh umat Islam pada masa Khalīfah Hārūn ar-Rasyīd menyebar luas ke berbagai wilayah Islam dan menjadi masalah baru bagi umat Islam. Bahkan sebuah catatan pada tahun 774 H., Rasā’il-ul-Kubrā yang ditulis oleh Ibn ‘Abbād ar-Rundī, menunjukkan ada penolakan keras terhadap perayaan Nairūz dan Mahrajān. (1915).

Ulasan ini menunjukkan penyebaran tradisi perayaan Nairūz dan Mahrajān ke wilayah yang sangat jauh. Di sisi lain juga menunjukkan adanya penolakan terhadap tradisi itu dan adanya upaya mencari alternatif dengan menjadikan perayaan Maulid Nabi sebagai ganti yang tepat dari dua tradisi itu. Dan kondisi itu menuntut kaum terpelajar dan ulama di wilayah dan era berbeda, seperti Khaizurān pada tahun (w. 173), Ibnu Waddāh (w. 289/900), Ibnu Basykuwāl (w. 578/1183) dan Abul-‘Abbās al-‘Azafī (w. 633/1236) mencari solusi dengan memberikan media baru bagi umat Islam. Suatu perayaan yang tidak bertentangan dengan Syariat. Khaizurān dan Abul-‘Abbās al-‘Azafī berbeda dengan para ulama di masa itu. Para ulama umumnya menyikapi keterlibatan masyarakat Muslim dalam perayaan Nairūz dan Mahrajān dengan mengeluarkan fatwa haram. Khaizurān dan Abul-‘Abbās al-‘Azafī memberi solusi dan alternatif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; yaitu perayaan Maulid Nabi s.a.w.

Catatan:

  1. 5). Aḥmad Khalīl Jumah, Nisā’ Min-at-Tārīkh, (Beirut: al-Yamamah, 2000), Cet ke-II, hlm. 231-254.
  2. 6). ‘Abd-ur-Raḥmān Jalāluddīn as-Suyūthī, Tārīkh-ul-Khulafā’, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), hlm. 123.
  3. 7). Ḥasan Ibrāhīm Ḥasan, Tārīkh-ul-Islām; as-Siyāsī wad-Dīniy wa Tsaqafī wal-Ijtimā‘ī, (Beirut: Dāru Iḥyā’-it-Turāts-il-‘Arabī, 1964), juz II, cet ke-7, hlm. 369-370.
  4. 8). Antony Black, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta: Serambi, 2006 M.), Cet ke-1, hlm. 56-74, 107-120.
  5. 9). Ḥasan Ibrāhīm Ḥasan, Tārīkh-ul-Islām; as-Siyāsī wad-Dīniy wa Tsaqafī wal-Ijtimā‘ī, (Beirut: Dāru Iḥyā’-it-Turāts-il-‘Arabī, 1964), juz II, cet ke-7, hlm. 345.
  6. 10). Dalam tradisi hukum Islam, menyerupai kelompok lain yang berbeda agama merupakan larangan. Larangan ini didasarkan kepada Hadits yang berbunyi:

    مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

    Barang siapa menyerupai satu komunitas maka ia termasuk ke dalam kelompok mereka.

    Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Aḥmad, Abū Dāwūd, dan Thabrānī. Hadits ini bersambung kepada sahabat ‘Abdullāh bin ‘Umar dengan status marfū‘ dengan kualitas hadits dha‘if. Konsep tasyabbuh ini sangat kompleks. Secara umum menyerupai non-muslim dibagi dua macam. Pertama, penyerupaan (imitasi) yang didasari rasa simpati pada agama mereka. Imitasi semacam ini dapat berupa penggunaan simbol keagamaan yang menjadi ciri khusus mereka, seperti dalam berpakaian, peribadatan, dan perayaan keagamaan. Penyerupaan semacam ini bisa menyebabkan kufur. Kedua, penyerupaan yang tanpa didasari oleh kecenderungan percaya kepada agama mereka, seperti menyerupai hal-hal di atas tanpa ada keinginan masuk kepada agama mereka. Perbuatan semacam ini hukumnya haram. Lihat az-Zabīdī, Ittiḥāf Sadāh al-Muttaqīn, hlm. 591.

  7. 11). Masyarakat Muslim awal sangat memperhatikan aturan agama. Membuat ritual keagamaan baru merupakan sesuatu yang terlarang. Hal ini didasarkan kepada sejumlah hadits. Di antaranya hadits riwayat Jābir bin ‘Abdillāh berikut:

    كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وُ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

    Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasā’ī dalam Sunan al-Kubrā. Para ulama menyatakan “segala hal baru” adalah bid‘ah. Maksud “hal baru” di sini bukan benar-benar semua perbuatan. Sebab para sahabat melakukan berbagai macam perbuatan atas dasar keumuman perintah Allah s.w.t. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya di akan melihat (balasan)-nya.” (Qs. az-Zalzalah: 49). “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Qs. al-Kahfi: 30).

    Saat Rasūlullāh s.a.w. melihat banyak perbuatan “baru” yang dilakukan para sahabat yaitu yang belum pernah beliau contohkan, beliau mendiamkan. Diam beliau dalam masalah seperti ini dapat menjadi argumen kebolehan perbuatan para sahabat itu. Alasannya, Rasūlullāh s.a.w. pasti tidak akan menyetujui perbuatan tercela. Konsep ini berlaku setelah Rasūlullāh s.a.w. wafat. Keumuman hadits di atas terbatas pada perbuatan baru dalam masalah agama. Hadits yang membatasi keumuman dalam hadits itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah:

    مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

    Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam agama ini padahal bukan bagian dari agama, maka itu tertolak.

    Kedua hadits di atas saling menjelaskan. Hanya saja, hadits ‘Ā’isyah lebih rinci karena menjelaskan sejauhmana cakupan perbuatan baru yang termasuk bid‘ah dhalālah. Hadits terakhir membatasi pada urusan agama (fī amrinā). Dalam riwayat lain. Nabi s.a.w. menjelaskan bahwa perbuatan yang baru juga bisa berupa perbuatan baik. Bila perbuatan baik itu ditiru orang lain. Inisiatornya akan mendapatkan pahala tambahan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa perbuatan baru yang baik tidak termasuk bid‘ah dhalālah. Hadits itu mengatakan:

    مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا.

    Barang siapa yang mentradisikan perbuatan baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya.

    Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Muslim dalam kitab Shaḥīḥ Muslim. Apabila semua hal baru adalah sesat, dhalālah dan tertolak, pastinya Rasūlullāh s.a.w. tidak mengapresiasi orang yang mentradisikan hal baik tersebut. Contoh perbuatan baik yang tidak dicontohkan Nabi s.a.w. adalah pelaksanaan shalat Tarāwīḥ pada bulan Ramadhān yang ditradisikan oleh Khalīfah ‘Umar bin al-Khaththāb dan menambahan satu adzan dalam pelaksanaan shalat Jum‘at oleh Khalīfah ‘Utsmān bin ‘Affān. Shalat Tarāwīḥ adalah perbuatan baik. Begitu pula adzan yang ditradisikan Khalīfah ‘Utsmān. ‘Alī bin Muḥammad bin Thāhir bin Yaḥyā, Taḥqīq-ul-Bid‘ah; Dirāsatu Syāmilati Qadīman wa Ḥadītsan, (Saudi ‘Arabia: Dār al-Dhiyā’, 2010), Cet ke-1, hlm. 47-70.

  8. 12). Ḥasan Ibrāhīm Ḥasan, Tārīkh-ul-Islām; as-Siyāsī wad-Dīniy wa Tsaqafī wal-Ijtimā‘ī, (Beirut: Dāru Iḥyā’-it-Turāts-il-‘Arabī, 1964), juz II, cet ke-7, hlm. 344.
  9. 13). Khaizurān ikut mengatur jalannya pemerintahan dan terlalu banyak pemintaan yang menyulitkan al-Hādī. Sifat Khaizurān merupakan efek dari perlakuan al-Mahdī yang sangat memanjakannya. Al-Mahdī selalu mengabulkan permintaan Khaizurān bahkan menyangkut mengangkat atau mengganti pejabat. Aḥmad Khalīl Jumah, Nisā’ Min-at-Tārīkh, (Beirut: al-Yamamah, 2000), Cet ke-II, hlm. 237-241.
  10. 14).

    و قال النقاش: يستجاب الدعاء إذا دخل من باب بني شيبة، و في دار خديجة بنت خويلد (ر) ليلة الجمعة، و في مولد النبي (ص) يَوم الإثنين عند الزوال، و في دار الخيزران عند المجتبى بين العشائين.

    An-Nuqāsy (seorang sarjana al-Qur’ān abad ke-3 – penulis) mengatakan: “(pada masa ia hidup – penulis) dianjurkan berdoa pada saat masuk pintu Abī Syaibah, pada saat masuk rumah Khadījah binti Khuwailid r.a. pada malam Jum‘at, dan di tempat Nabi s.a.w. dilahirkan pada hari Senin saat siang hari, dan di “Dār” Khaizurān di antara waktu Maghrib.” Taqiyyuddīn Muḥammad bin Aḥmad bin ‘Alī al-Fāsī al-Makial-Mālikī, Syifā’-ul-gharāmi bi akhbār-il-balad-il-ḥarām, (Beirut: Dār-ul-Kutub-il-‘Ilmiyyah, 2000), cet I, Juz 1, hlm 486.

  11. 15). Muḥammad bin Aḥmad bin Jubair, Riḥlah, (Leyden: Berill, 1907), Cet, ke-III, hlm. 114.
  12. 16). Aḥmad Muthohar, Maulid Nabi: Menggapai Keteladanan Rasūlullāh s.a.w.. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), Cet. ke-1, hlm. 20-22.
  13. 17). Nico Kaptein menulis redaksi asli dari kitab ad-Durr-ul-Munazhzhamu fī Maulid Nabī al-Mu‘azhzham:

    وَ كَانَ الَّذِيْ يَحْمِلُ أَبِيْ (ر) عَلَى جَمْعِهِ وَ إِقْبَالِهِ عَلَى ذلِكَ بِبَصَرِ اعْتِنَائِهِ وَ سَمْعِهِ مَا قَدْ ذَكَرَهُ فِيْ أَوَّلِ الْكِتَابِ مِنْ مُتَابَعَةِ أَهْلِ الْوَقْتِ فِيْ إِقَامَةِ نَيْرُوْز و الْمَهْرَجَان عَنْ أَهْلِ الْكِتَابِ.

    Nico Kaptein, Materials for the History of the Prophet Muhammad’s Birthday Celebration in Mecca, hlm. 75.

  14. 18). Nico Kaptein, Materials for the History of the Prophet Muhammad’s Birthday Celebration in Mecca, hlm. 80.
  15. 19). Nico Kaptein, Materials for the History of the Prophet Muhammad’s Birthday Celebration in Mecca, hlm. 109-110.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.