Pasal Ketiga
“Untuk apa kalian duduk berkumpul?” tanya Nabi s.a.w.
“Untuk mengingat dan memuji Allah
karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam
dan menganugerahkan Islam kepada kami,” jawab sahabat.
“Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”
“Demi Allah hanya itu alasan kami duduk berkumpul.”
“Aku meminta kalian bersumpah
bukannya aku meragukan kalian,
Jibrīl baru saja datang menghampiriku
dan memberitahukan bahwa Allah
membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat”.”
Berkumpul untuk memuji Allah s.w.t.
atas pelbagai untuk bersyukur kepada Allah s.w.t. karena nikmat zhahirnya junjungan kita Muḥammad s.a.w.
di alam wujud ini dan di tengah-tengah umat manusia.
Untuk menjawab pertanyaan ini, bentuk pertanyaannya harus diubah ke bentuk lain: Adakah dalil syar‘i yang menganjurkan merayakan Maulid Nabi sehingga dinyatakan sunnah ataukah tidak ada sehingga dinyatkan bid‘ah?
Yang dimaksud dalil syar‘i adalah al-Qur’ān, sunnah qauliyyah (perkataan Nabi), fi‘liyyah (perbuatan Nabi), dan taqrīr (persetujuan Nabi), serta istinbath bersumber dari dalil-dalil tersebut seperti yang ditegaskan oleh para imam dan dinukil dari penjelasan Ibnu Taimiyyah pada bab sebelumnya. Dalil syar‘i tidak terbatas pada sunnah fi‘liyyah semata seperti yang dikemukakan oleh kalangan yang terburu-buru membid‘ahkan orang lain bahwa apapun yang tidak dilakukan Rasūlullāh s.a.w. itulah bid‘ah, atau yang tidak dilakukan salaf itulah bid‘ah.
Imām Suyūthī dalam risalahnya yang berjudul Ḥusn-ul-Maqshūdi fil-Iḥtifāl-il-Maulid menyebutkan sederetan ulama yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi, seperti, Ibnu Duhaiyah, Ibn-ul-Jazarī, Ibnu Nāshir ad-Dimasyqī, demikian pula al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar. Mereka menulis banyak sekali fatwa mengenai masalah ini dengan dikuatkan banyak dalil. Mereka adalah para imam yang menjadi panutan.
Karena itu siapapun yang setuju dan menerima dalil-dalil mereka tidak bisa disebut ahli bid‘ah karena yang dimaksud adalah mengikuti dalil. Seperti itu juga tidak bisa disebut ahli bid‘ah bagi siapapun yang mengikuti pemahaman mereka. Tentu demikian halnya, sebab mereka tidak memiliki kemampuan ilmiah untuk menganalisa berbagai dalil dan mereka mengikuti imam-imam tersebut berdasarkan perintah Allah s.w.t.:
فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ahl-udz-dzikr – orang yang ingat pada Allah) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Naḥl: 43). (71)
Kemudian, para imam pun menyebutkan alasan tarjīḥ (pendapat yang lebih kuat dari pendapat lainnya) bagi muqallid (orang yang ber-taqlīd).
Ibnu Taimiyyah dalam al-Musawwadah (hlm. 538) menyebutkan satu pasal tentang men-tarjīḥ satu pendapat bagi muqallid karena banyaknya pendapat dari sejumlah ahli fatwa saat meminta fatwa. Dalam pasal ini Ibnu Taimiyyah menukil penjelasan panjang lebar dari Ibnu Ḥubairah tanpa sanggahan, di antaranya, “Ketika muqallid menghadapi suatu masalah yang diperdebatkan, dianjurkan untuk mengikuti pendapat mayoritas dan mengamalkan pendapat jumhur bukan pendapat satu ulama saja, itu lebih tepat, lebih hati-hati dan lebih utama, meski dibolehkan untuk mengamalkan pendapat satu ulama.” Selanjutnya Ibnu Taimiyyah menyatakan, berpedoman pada pendapat satu ulama adalah dengan catatan tidak berdasarkan motif hawa nafsu ataupun fanatisme.
Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidhā’-ush-Shirāt-il-Mustaqīm (2/619) menyatakan tentang kalangan yang merayakan Maulid:
Allah s.w.t. memberi mereka pahala atas cinta dan kesungguhan, bukan atas bid‘ah dan membuat perayaan Maulid Nabi s.a.w. dengan menyertakan banyak orang karena hal itu tidak pernah dilakukan salaf meski ada faktor yang mengharuskan untuk itu dan tidak adanya penghalang. Andai perayaan Maulid Nabi s.a.w. murni baik atau rajih, tentu salaf lebih berhak dari kita karena mereka jauh lebih mencintai Rasūlullāh s.a.w. dari pada kita.
As-Suyūthī menjelaskan dalam bukunya Ḥusn-ul-Maqshadi fī ‘Amal-il-Mawlid, (82) Syaikh Tājuddīn ‘Umar bin ‘Alī al-Lakhamī (al-Fakihānī) menilai perayaan Maulid bid‘ah, ia menyebut dalil-dalilnya secara rinci, membahas, dan memberikan bantahan (terhadap perayaan Maulid). Dalil-dalilnya yang tertolak tersebut sama persis dengan yang disebutkan Ibnu Taimiyyah jika direnungkan dengan benar.
Kesimpulan dari bantahan as-Suyūthī, adanya salaf tidak merayakan Maulid tidak lebih sebagai tindakan abstain (diam). Tidak ada riwayat yang menyebutkan mereka melarang perayaan Maulid. Sikap abstain (diam) diperlukan pada saat tidak ada dalil, kemudian ketika ada dalil – terlebih dalil qauli seperti yang disebut sebelumnya dari Ibnu Ḥajar – dalil lebih diprioritaskan dari sikap abstain (diam). Adanya dalil tentang Maulid menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. sudah mendahului kita menyatakan anjuran merayakan Maulid melalui perantaran dalil tersebut.
Kesimpulannya, langkah tersebut lebih penting dari argumentasi bahwa “tentu salaf lebih dahulu akan melakukannya sebelum kita”. Patutkah sikap diam salaf lebih diprioritaskan dari dalil-dalil yang disarikan dari sabda Rasūlullāh s.a.w.?