BAB II-8
FANĀ’ DAN BAQĀ’
Sejumlah Shufi mengisyaratkan Fanā’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara Baqā’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalaupun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut, maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barang siapa fanā’ dari sifat-sifat yang tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkah laku. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak, dalam satu segi. Demikian pula manakala sang hamba terus-menerus membersihkan perbuatannya melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah s.w.t. memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah lakunya, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fanā’ dari syahwatnya. Jika telah fanā’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ‘ubūdiyyahnya. Siapa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah fana’ dari kesenangannya. Dan jika telah fanā’ kesenangannya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya. Barang siapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit qalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong, dan sebagainya dari keangkuhan nafsu, maka berarti telah fanā’ dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya pada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri. Barang siapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan: Ia telah fanā’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk. Jika ia fanā’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat al-Ḥaqq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikit pun yang disaksikan, baik alam, kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia telah fanā’ dari makhluk, dan abadi bersama al-Ḥaqq. Ke-fanā’-an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkah lakunya yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu. Ke-fanā’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya, dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka. Kalau telah fanā’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka subjek ke-fanā’-an dari semua itu tidak boleh di-maujūd-kan.
Apabila dikatakan: “Manusia benar-benar fanā’ dari dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga tidak mereka. Tidak ada rasa, maupun berita. Maka dirinya ada, dan makhluk menjadi ada berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya dan makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh dalam kesibukannya terhadap sesuatu yang lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah berfirman:
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)iya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.” (Yūsuf:31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yūsuf a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka berkata:
وَ قُلْنَ حَاشَ للهِ مَا هذَا بَشَرًا إِنْ هذَا إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيْمٌ
“Dan mereka berkata: “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang mulia.” (Yūsuf:31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan al-Ḥaqq? Kalaupun mereka lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka, adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barang siapa fanā’ dari kebodohannya, yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fanā’ dari syahwatnya, yang kekal adalah kesadarannya. Siapa yang fanā’ dari kesenangannya, yang kekal dalah zuhudnya. Siapa yang fanā’ dari angan-angannya, yang kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya. Apabila hamba fanā’ dari sifatnya yang bisa diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fanā’-nya dari melihat ke-fanā’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut Fanā’-ul-fanā’). Sebagaimana digambarkan penyair:
Ada kaum yang tersesat di padang gersang,
Ada pula yang tersesat di padang cintanya,
Mereka fanā’, kemudian fanā’, lalu fanā’,
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhannya.
Yang pertama adalah fanā’ dari dirinya, fanā’ dari sifatnya karena Baqā’-Nya Sifat-sifat al-Ḥaqq. Kemudian fanā’-nya dari sifat-sifat al-Ḥaqq karena penyaksiannya terhadap al-Ḥaqq itu sendiri, kemudian fanā’-nya dari melihat penyaksian Fanā’, melalui keleburan dirinya dalam Wujūd al-Ḥaqq.