02-7 Jam’ dan Farq – Risalah Qusyairiyah

Dari Buku: RISALAH QUSYAIRIYAH (INDUK ILMU TASAWUF)
(Judul Asli: Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyatu fi ‘Ilm-it-Tashawwuf)
Oleh: Imam al-Qusyairy an-Naisabury
Penerjemah: Mohammad Luqman Hakiem, MA - Editor: Tim Risalah Gusti
Penerbit: Risalah Gusti.

BAB II-7

JAM‘ DAN FARQ

 

Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tashawwuf. Syaikh Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkata: “Al-Farq, suatu kondisi yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam‘, berkaitan dengan hal-hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, segala upaya hamba seperti menegakkan ‘ubūdiyyah dan hal-hal yang layak dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Ḥaqq (Allah s.w.t.) seperti munculnya makna-makna dan datangnya kelembutan serta iḥsān, maka disebut al-Jam‘.

Definisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam konteks jam‘ dan farq. Sebab kondisi tersebut merupakan bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Ḥaqq dalam perbuatan-perbuatannya seperti ketaatan dan pengingkaran dirinya, maka hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafrīqah). Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hadapan Al-Ḥaqq melalui perbuatan yang didelegasikan dari Af‘āl Allah s.w.t., maka sang hamba telah menyaksikan al-Jam‘. Penetapan makhluk merupakan pintu tafrīqah, dan penetapan Al-Ḥaqq merupakan predikat al-Jam‘.

Bagi hamba haruslah berkondisi jam‘ dan farq. Sebab yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan (‘ubūdiyyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam‘, ia tidak pernah ma‘rifat kepada-Nya.

Firman Allah s.w.t.: (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) “Hanya kepada-Mu kami menyembah”, merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-Nya: (إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ) “dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”, merupakan isyarat al-jam‘.

Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya melalui bahasa munajatnya, apakah memohon, mendu‘a, memuji, bersyukur, menyucikan diri ataupun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah (tafrīqah). Namun, apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian mendengarkan melalui qalbunya apa yang telah dikatakan lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-Nya, ataupun yang dikenalkan oleh-Nya makna-makna-Nya, atau bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan yang diperlihatkan oleh-Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam‘.

Saya mendengar Syaikh Abū ‘Alī ad-Daqqāq r.a. berkata: “Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustādz Abū Sahl ash-Sha‘lukiy r.a. : “Engkau buat, menjadi bersih pandanganku kepadamu”. Ketika itu Abul-Qāsim an-Nashr Abadziy hadir di sana. Lalu Ustādz Abū Sahl berkata: “جَعَلْتَ (huruf tā di-nashab). Maka Abū Nashr Abadziy berkata: جَعَلْتُ (huruf tā di-dhammah).”

Artinya, barang siapa mengucapkan perkataan: جَعَلْتُ = kujadikan, berarti mengkhabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang hamba berkata: ini! Jika ia berkata: جَعَلْتَ = engkau jadikan, seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhannya: “Engkau-lah yang mengkhususkan kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang pertama, berkaitan dengan bisikan du‘a, dan yang kedua, dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan sariguna. Maka bedakan antara orang yang mengatakan: “Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang: “Melalui keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”

Adapun jam‘-ul-jam‘i di atas semua itu. Manusia memiliki frekuensi masing-masing sesuai dengan manifestasi perilaku dan kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada Yang Ḥaqq, dan inilah al-jam‘. Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal yang tampak dan berdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap inilah yang disebut jam‘-ul-jam‘i.

Tafrīqah adalah penyaksian terhadap makhluk, hanya untuk Allah s.w.t. Al-Jam‘ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama Allah s.w.t. dan jam‘-ul-jam‘i, berarti sirna dengan universalitas, dan fanā-nya rasa kepada selain Allah s.w.t. ketika terlanda hakikat. Jam‘-ul-jam‘i merupakan kondisi mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap kefardhuan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya untuk dan bersama Allah s.w.t., bukan bagi hamba bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-Ḥaqq. Ia menyaksikan awal zatnya dan kenyataannya bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-Nya.

Sebagian Shufi mengisyaratkan kata al-jam‘ dan al-farq kepada Perbuatan al-Ḥaqq atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari keseluruhan dalam proses bolak-balik dan perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang menjalankan sifat-sifat mereka. Kemudian Allah s.w.t. memisahkan dalam ragam: Satu kelompok, Allah s.w.t. membahagiakan mereka, dan kelompok lain Allah s.w.t. menjauhkan dan menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi Allah s.w.t. menarik hati mereka, dan kelompok yang lain dilupakan dan diputusasakan dari rahmat-Nya. Pada satu golongan Allah memuliakan melalui karamah-Nya, dan satu golongan lagi Allah s.w.t memutus kehendak mereka untuk menyatakan Diri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada kelompok yang didekatkan oleh Allah s.w.t., dan ada yang disirnakan. Bahkan ada golongan yang lebih didekatkan dan dihadirkan, kemudian Allah meminumkan karunia hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam Af‘āl-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan diingat. Para Shufi pernah melantunkan syair bagi al-Junaid, mengenai makna jam‘ dan farq:

Engkau telah membuat nyata-Mu dalam rahasiaku,

Lalu lisanku munajat pada-Mu,

Kita berkumpul bagi makna-makna

dan berpisah bagi makna-makna pula,

Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintasan mataku,

Toh Engkau buat keserasian dari dalam yang mendekatku.

Mereka bersyair lagi:

Jika telah tampak padaku,

Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang yang tak dikehendaki,

Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya,

Sedang ketunggalan yang saling bertemu adalah dua dalam satu bilangan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *