BAB II-5
HAIBAH DAN UNS
Rasa takut disertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkat khauf, dan basth di atas tingkat rajā’, maka haibah lebih tinggi daripada qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada basth. (21)
Hak haibah adalah keghaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa lebur dalam keghaiban. Orang-orang yang berada dalam ghaib frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka dalam keghaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian “Minuman jiwa”. Mereka ke dalam neraka Jahannam, sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junaid r.a. berkata: “Aku mendengar batinku berkata: “Seorang hamba bisa sampai pada suatu batas seandainya wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya. Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Aḥmad bin Maqātil al-‘Ikkiy, ia berkata: “Aku memasuki tempat asy-Syiblī, sedangkan beliau tengah mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan kepadanya: “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian pada diri sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.” Ia menjawab: “Celaka anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka, beginilah, itu tampak padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka, beginilah, aku memasuki kepedihan atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup dariku. Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku, sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena keduanya mengandung perubahan pada diri hamba. Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan ahli tamkīn. Mereka hangus dalam wujūd nyata. Tidak ada haibah dan tiada pula uns, tidak ada ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abū Sa‘īd al-Kharrāz: “Suatu saat di kampung, aku berkata:
Aku datangi, maka aku tak mengerti.
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia.
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusianya,
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam qalbuku:
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab,
Yang lebih luhur wujūdnya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina,
Dan dengan manusia.
Kalau engkau dari ahli wujūd yang hakiki,
Pastilah engkau ghaib dari Jagad, ‘Arasy, dan Kursiy,
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah,
Jauh dari mengingat,
Pada jin dan manusia.
Catatan: