02-4 Qabth dan Basth – Risalah Qusyairiyah

Dari Buku: RISALAH QUSYAIRIYAH (INDUK ILMU TASAWUF)
(Judul Asli: Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyatu fi ‘Ilm-it-Tashawwuf)
Oleh: Imam al-Qusyairy an-Naisabury
Penerjemah: Mohammad Luqman Hakiem, MA - Editor: Tim Risalah Gusti
Penerbit: Risalah Gusti.

BAB II-4

QABDH DAN BASTH

 

Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah seorang hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Rajā’. Al-Qabdh di mata seorang ‘ārif sama kedudukannya dengan tahap al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya dengan ar-Rajā’ di mata pemula yang mencari jalan kepada Allah.s.w.t.

Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Rajā’

Al-Khauf: Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang diketahui.

Ar-Rajā’: membayangkan sang kekasih di masa depan atau sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Shufi).

Al-Qabdh: Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam waktu seketika, begitu juga al-Basth.

Orang yang mempunyai khauf dan rajā’, hatinya bergantung dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dan basth menurut keterpautan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak terpenuhi. Dan dari segi yang tergenggam (al-maqbūdh), tidak ada jalan selain dominasi pendatang di dalam dirinya. Karena diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.

Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsūth): kadang-kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi mabsūth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke ihwal lain.

Saya mendengar Abū ‘Alī ad-Daqqāq r.a. berkata: “Sebagian orang memasuki tempat Abū Bakr al-Qihthiy. Di sana ada seorang anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak hatinya). orang-orang itu melewati tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa iba kepada al-Qihthiy, seraya berkata: “Kasihan Syaikh, bagaimana digoda oleh anak yang jelek itu?” Ketika mereka memasuki rumah al-Qihthiy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata: “Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak bukit?” Al-Qihthiy menjawab: “Sesungguhnya kami telah dibebaskan dari belenggu segala hal dalam Azali.” (Artinya, ia telah tenggelam dalam keparipurnaan ‘ubūdiyyah kepada Allah s.w.t, sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah s.w.t.)

Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun (adab), sehingga dalam qalbunya mendapatkan qabdh.

Terkadang yang datang dalam qalbunya merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan ketenteraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global, qabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.

Terkadang sebab-musabab qabdh menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam qalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini adalah taslīm, sehingga waktu seperti itu berlalu. Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiyarnya, sehingga berhadap qabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu tergolong sū’-ul-adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu, maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman:

وَ اللهُ يَقْبِضُ وَ يَبْسُطُ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (al-Baqarah:245).

Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika demikian, ia harus tenang dan menjaga adab. Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku harus menghindari makar yang samar di dalamnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian Shufi: “Telah dibuka padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku pun tertutup dari maqām-ku.” Karenanya berkatalah mereka: “Bertetaplah pada kelapangan (al-bisāth) dan hati-hatilah, berupaya melapangkan.”

Ada ahl-ul-aqīqat (taqīq) mengategorikan perilaku qabdh dan basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan. Karena keduanya disandarkan pada yang di atasnya berupa tahap kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.

Al-Junaid berkata: “Al-Khauf dari Allah membuatku tergenggam. Dan ar-Rajā dari Allah membuatku lapang. Hakikat telah mengumpulkan diriku. Dan al-Ḥaqq memisahkanku. Apabila Dia membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Rajā melapangkanku, Dia mengembalikan kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka dia menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan al-Ḥaqq, aku disaksikan oleh selain diriku, kemudian menutupiku. Allah s.w.t. dalam semua hal itu adalah menggerakku tanpa mengekangku, Dia yang membuatku takut tanpa gembiraku. Aku, dengan kehadiranku, merasakan rasa wujūd-ku. Fanā’ku datang dari diriku, membuatku nikmat, atau menggaibkan dariku, sehingga aku ringan.”