Kekeliruan Ijtihad bukan Bid‘ah.
Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid‘ah karena perbedaan pendapat kalangan ahl-ul-‘ilmi dalam ijtihad tidak membuat salah satu dari dua kubu sebagai ahli bid‘ah, bahkan bagi yang salah sekalipun, sebab Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Namun ketika ia memutuskan sesuatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”
Allah s.w.t. tidak memberi pahala untuk bid‘ah, bahkan bid‘ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka: “Setiap bid‘ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”
Disebutkan dalam Musawwadah Ālu Taimiyyah, diriwayatkan dari Imām Aḥmad, ia berkata: “Kebenaran di sisi Allah s.w.t. hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat: “Kamu salah”.
Disebutkan dalam Ḥilyat-ul-Awliyā’, diriwayatkan dari Imām Mālik: “Khalīfah ar-Rasyīd mengusulkan padaku untuk menggantung kitab al-Muwaththa’ di Ka‘bah dan menginstruksikan agar diterapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan: “Jangan, karena para sahabat Rasūlullāh s.a.w. sendiri berbeda pendapat dalam masalah-masalah furū‘, mereka juga sudah berpencar di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar”.”
Rasūlullāh s.a.w. menjelaskan, mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah s.w.t. Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan: “Jika kau mengepung penduduk suatu benteng lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi mereka (dengan mengatasnamakan) berdasarkan hukum Allah, tapi hukumi mereka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ketahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hukum Allah ataukah tidak.” (41) Orang yang tidak bisa memastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya itu salah?!
Disebutkan dalam risalah Imām Syāfi‘ī, (52) saat membahas hadits ijtihad di atas, Imām Syāfi‘ī ditanya: “Apa makna benar dan salah?”
Aku (asy-Syāfi‘ī) menjawab: “Sama seperti makna menghadap qiblat. Arah qiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka‘bah. Mengarah ke qiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka‘bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”
Si penanya berkata: “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikatakan benar dengan selain pengertian tersebut?”
Asy-Syāfi‘ī menjawab: “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-masalah yang dalilnya tidak diketahui. Ketika yang bersangkutan mengamalkannya (berdasarkan ijtihad dengan segala persyaratannya), artinya ia benar dalam hal mengamalkan sesuatu yang dibebankan. Secara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah semata.”
Karena itu, Ibnu Taimiyyah menyatakan, masalah-masalah yang diperdebatkan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalangan lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syāfi‘ī tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Mālik, bagi yang mengikuti pendapat Aḥmad tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Syāfi‘ī, dan seterusnya. (63).
Dengan demikian siapapun yang menyalahkan kalangan yang tidak sependapat – meski berpedoman pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode mereka tersebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sependapat.
Semoga penjelasan ini bermanfaat bagi kita agar lebih berhati-hati dalam menjatuhkan vonis bid‘ah terhadap amalan yang tidak kita ketahui pasti landasan hukumnya yang jelas dan spesifik.