BAB II-3
ḤĀL
Al-Ḥāl (kondisi ruhani), menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau sukacita. Maka setiap al-Ḥāl merupakan karunia. Dan setiap Maqām adalah upaya. Pada al-Ḥāl datang dari Wujūd itu sendiri, sedang al-Maqām diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki maqām, menempati maqām-nya, dan orang yang berada dalam Ḥāl, bebas dari kondisinya.
Salah seorang guru berkata: “Beberapa al-Ḥāl seperti kilatan, kalau menetap, itu sekadar omongan nafsu.”
Mereka berkata: “al-Ḥāl itu sebagaimana namanya, yakni, al-Ḥāl seperti ketika menempati dalam qalbu, kemudian hilang:
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan hal,
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya,
Berkuranglah ketika ia memanjang.
Beberapa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Ḥāl. Mereka berkata: “Sebenarnya jika al-Ḥāl tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Ḥāl yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamakan al-Ḥāl.”
Di sinilah Abū Utsmān al-Hīriy berkata: “Aku tidak pernah benci terhadap maqām yang telah diberikan Allah s.w.t. kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridhā. Dan ridha merupakan bagian dari al-Ḥāl.
Seharusnya dikatakan: “Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Ḥāl, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Ḥāl berarti bagian dari seseorang, kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Ḥāl ini memiliki beberapa ihwal, yaitu: Jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.”