Sejarah Singkat Nasionalisme ‘Arab.
Tiga Abad terakhir negara-negara Muslim, termasuk Negara ‘Arab dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, termasuk Yaman. Meskipun ‘Arab bukan hanya Yaman, akan tetapi penulis akan lebih fokus pada Negara Yaman, sebab diaspora Yaman terjadi hampir secara merata terutama ke Negara-negara Asia, termasuk ke Hindia Belanda. Yaman dijajah oleh Portugis, Inggris kemudian komunis di samping terjadi gejolak dan perang saudara antara Yaman Utara dan Selatan. Di samping semangat dakwah dan tujuan niaga faktor-faktor tersebut dianggap menjadi penyebab terbesar terjadinya adalah kalangan sadāt (plural dari sayyid). Ḥabīb ‘Abdullāh bin ‘Umar bin Yaḥyā misalnya, ia dikenal sebagai pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, sehingga pada saat Ḥabīb ‘Abdullāh datang ke Indonesia, ia diawasi betul oleh Belanda dan diusir dari Hindia Belanda. Demikian juga Sayyid ‘Idrūs bin Salīm al-Jufrī. Ia tertangkap di Hudaidah oleh Inggris dan diberi dua pilihan; kembali ke Yaman dengan status tahanan rumah atau keluar dari Yaman. (61) Dan Sayyid ‘Idrūs memilih pergi ke Hindia Belanda.
Nasionalisme hingga abad 19 tidak dikenal di dunia Islam. Nasionalisme muncul di Barat pada saat perang terjadi antara Kapitalisme dan Komunisme. Pada saat bangsa-bangsa Islam dijajah oleh kolonial maka muncul kesadaran untuk bersatu dan memerdekakan diri dari kolonialisme. Menurut George Mc. Turnan Kahin, Islam tidak hanya menekankan pentingnya persatuan, tetapi juga mengembangkan sentimen dan solidaritas anti kolonialisme asing yang agamanya berbeda dari mereka. Islam juga menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan mengilhami beberapa gerakan masyarakat menentang penjajahan. (72)
Nasionalisme belum menemukan tempat di kalangan ‘Arab hingga penghujung abad 19 dan permulaan abad 20 (83) Meskipun demikian istilah “tanah air”; wathan sudah biasa didengungkan, seperti “ḥubb-ul-wathani min-al-īmān”; (94) cinta terhadap tanah air sebagian dari iman. Dengan demikian konsep “tanah air” telah lebih dahulu menjadi kesadaran kolektif masyarakat ‘Arab, – meskipun persekutuan mereka didasarkan pada kesukuan – , sebelum konsep “Nasionalisme” dikenal dan mendapat tempat di kalangan ‘Arab. Penulis tidak dapat memastikan sejak kapan wathan dimaknai sebagai “tanah air” seperti saat ini. Sebab hingga tahun 711 H./1311 M., pada saat kamus Lisān-ul-‘Arab selesai ditulis (105) sudah ada asosiasi “tanah air” sebagai makna dari wathan. Seperti syair Ibnu Bariy: (116)
كَيْمَا تَرَى أَهْلُ الْعِرَاقِ أَنَّنِيْ | أَوْطَنْتُ أَرْضًا لَمْ تَكُنْ مِنْ وَطَنِيْ |
Supaya penduduk ‘Irāq tahu sesungguhnya aku
tinggal di tempat yang bukan tanah airku.
Wathan juga umum digunakan untuk menyebut kandang hewan seperti dalam ungkapan ‘Arab:
أَوْطَانُ الْغَنَمِ وَ الْبَقَرُ: مُرَابِضُهَا وَ أَمَاكِنُهَا الَّتِيْ تَأْوَى إِلَيْهَا.
Authān (plural: wathan) al-ghanam wal-baqar: kandang, tempat unta dan sapi berlindung. Meskipun dalam Lisān-ul-‘Arab hanya dimaknai dengan tempat tinggal, tanpa mengacu tempat lahir, tapi wathan mempunyai makna lebih jauh dari sekedar “tempat tinggal”, seperti dalam sya‘ir di atas, sehingga wathan dalam pernyataan ḥubb-ul-wathani min-al-īmān, pada mulanya hanya berarti “cinta tempat tinggal bagian dari iman”. Pengertian wathan ikut berubah seiring diterimanya konsep nasionalisme. Dengan demikian meskipun wathan adalah kata berasal dari bahasa ‘Arab Fushḥah (‘Arab murni), akan tetapi kata itu berubah pemaknaannya setelah masuknya konsep nasionalisme di dunia ‘Arab. Meskipun konsep wathan (tanah air) dikenal lama di dunia Islam, tetapi pemahaman umat Islam tentang tanah air adalah seluruh dunia Islam. Tanah air umat Islam. Wathan dimaknai ulang oleh ath-Tahthawī (1801-1073) sebagai suatu negara dengan batas teritorial yang spesifik.
Nasionalisme ‘Arab mulai mengemuka karena dipicu oleh beberap faktor. Pertama, munculnya kesadaran dari kalangan terpelajar ‘Arab Libanon yang menganut agama Kristen untuk membentuk unity, kesatuan atas dasar kebangsaan dan bukan atas dasar agama. Dengan demikian aspek kebangsaan ini akan dapat mengakomodasi aspirasi penganut agama-agama yang berbeda yang ada di ‘Arab. Kedua, runtuhnya dinasti Ottoman pada tahun 1924. Dinasti ini berkuasa di seluruh wilayah yang berpenduduk Muslim dan beberapa wilayah Kristen. Runtuhnya Ottoman dan berdirinya Republik Turki Sekuler, memberi inspirasi bagi bekas wilayah kekuasaan Turki untuk membentuk Negara Republik dengan identitas baru, seperti Republik Iran Sekular yang dirikan oleh Reza Syah. (127) Ketiga, gerakan PAN Islam yang diserukan oleh Jamāluddīn as-Sadabādī (al-Aghanī) yang didukung oleh Muḥammad ‘Abduh dan Rasyīd Ridhā.
Setiap bangsa mempunyai cara dan alasan berbeda untuk mengidentifikasi jati diri mereka dalam sebuah bangsa. Wangsa Romanov yang memerintah orang-orang Tartar dan Left, orang-orang Jerman dan Armenia, Rusia dan Finlandia. Wangsa Hanover bertahta dan memperbudak orang-orang Bengali dan Quebek. Lantaran semua penguasa dinastik pada abad pertengahan itu sudah menggunakan semacam bahasa ibu sebagai bahasa resmi Negaraa, juga karena pesatnya lonjakan gengsi gagasan nasionalis di seluruh kawasan Eropa, muncul kecenderungan yang cukup kentara di kalangan monarki-monarki Euro-Mediteranian untuk merangkak menuju pengkuan akan jati diri nasional masing-masing. Wangsa Romanov menemukan bahwa mereka adalah bangsa Rusia Raya, Wangsa Hanover mengaku sebagai bangsa Inggris, demikian seterusnya wangsa-wangsa dari dinasti-dinasti yang berkuasa lainnya. (138).
Jika wangsa-wangsa di Eropa mengidentifikasi identitas kebangsaannya melalui bahasa Ibu yang mereka gunakan, bangsa Indonesia pada masa awal berdirinya menyadari sebagai bangsa yang satu karena hidup di tanah air yang sama tanpa melihat asal-usul nenek moyang mereka; ‘Arab, Tionghoa, India, pribumi dan yang lainnya. Untuk menunjukkan cinta tanah air, Raja Iran, Muhammad Reza-Pahlavi seorang asing yang menguasai bangsa Iran kemudian memaklumatan dirinya sebagai Shah Iran, ia perlu sujud mencium tanah – demi keperluan dijepret gambarnya oleh para juru foto – dan katanya pada mereka, ia mengambil sejumput tanah kudus (suci) Iran bersamanya ke pengasingan. (149) Untuk kepentingan itu pula Sayyid ‘Idrūs bin Salīm al-Jufrī dalam usaha membangkitkan jiwa dan patriotisme para santri al-Khairat dan anak-cucunya yang lahir di Hindia Belanda ia menulis banyak syair dalam bahasa ‘Arab, di antaranya: (1510)
هَيَّا بِنَا شَبَابَ الْإِسْلَامِيَّةِ نَجْتَهِدْ فِيْ أَعْمَالِنَا
إِنْدُوْنِيْسَا وَطَنُنَا الْعَزِيْزُ الْمَحْبُوْبُ بَيْنَ قُلُوْبِنَا
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْمَانِ يَا شُبَّانَ الْعَصْرِيَّةْ
دَعُو التَّخَاصُمَ وَ التَّفَرُّقِ لِإِصْلَاحِ أَمْرِ مَقَاصِدِنَا
وَ اعْتَصِمُوْا وَ لَا تَفِرُّوْا وَ اعْتَصِمُوْا وَ لَا تَفَرَّقُوْا لِتَقَدُّمِ دِيْنِنَا
Wahai para pemuda Muslim
Wahai para pemuda Muslim, marilah kita kerja keras.
Dan bersungguh-sungguh
Indonesia adalah tanah air kita yang mulia
Yang kita cintai sepenuh hati
Cinta tanah air adalah bukti iman kita
Wahai para pemuda yang moderat
Tinggalkanlah perselisihan dan pertikaian
Demi mencapai tujuan kita
Berpegang teguhlah kepada prinsip-prinsip agama
Dan bersatu-padulah demi kemajuan dan kejayaan agama kita.
Catatan: