02-2 Maqam – Risalah Qusyairiyah

Dari Buku: RISALAH QUSYAIRIYAH (INDUK ILMU TASAWUF)
(Judul Asli: Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyatu fi ‘Ilm-it-Tashawwuf)
Oleh: Imam al-Qusyairy an-Naisabury
Penerjemah: Mohammad Luqman Hakiem, MA - Editor: Tim Risalah Gusti
Penerbit: Risalah Gusti.

Rangkaian Pos: 002 Bab II Terminologi Tasawuf | Risalah Qusyairiyah

BAB II-2

MAQĀM

 

Maqām adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam wushūl kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujūd-kan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyādhah menuju kepada-Nya.

Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqām ke maqām lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqām tersebut. Barang siapa yang belum sepenuhnya qanā‘ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakkal tidak sah ber-taslīm. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber-inābat. Dan barang siapa tidak wara’, tidak sah untuk ber-zuhud.

Al-Maqām berarti iqāmah, sebagaimana kata al-madkhal berarti idkhāl, dan al-makhraj berarti al-ikhrāj. Tidak seorang pun sah menahapi suatu maqām, kecuali dengan penyaksian terhadap kedudukan Allah s.w.t. terhadap dirinya dengan maqām tersebut, yang dengannya struktur bangunan ruhaninya benar menurut pondasi yang shaḥīḥ.

Saya mendengar Abū ‘Alī ad-Daqqāq r.a. berkata: “Ketika al-Wāsithiy masuk ke Naisābūr, bertanyalah ia kepada para santri Abū Utsmān: “Apa yang diperintahkan syaikh kalian kepada kalian?” Mereka menjawab: “Kami diperintah untuk menetapi taat serta melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-Wāsithiy berkata: “Syaikh kalian memerintah dengan cara Majusi murni? Apakah syaikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan hal yang ghaib dengan memandang kepada Yang memunculkan dan Menjalankan yang ghaib?” Maksud al-Wāsithiy dengan kata-kata itu, agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah wilāyah penyimpangan atau keteledoran (taqshīr), karena yang demikian bisa merasukkan adanya cacat dalam adab.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *