Klasifikasi dan Generalisasi Bid‘ah.
Pendapat di atas (yaitu bahwa bid‘ah ada yang ḥasanah dan ada yang dhalālah) sesungguhnya tidak berseberangan dengan pendapat yang menyatakan tidak ada bid‘ah hasanah dalam syari‘at. Sebab, yang dimaksud hadits tersebut dalam pandangan mereka, bahwa amal yang menyalahi dalil-dalil syar‘i tidak bisa dianggap baik.
Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyyah. Pernyataan Ibnu Taimiyyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyyah, misalnya dalam hal peringatan Maulid, bukanlah ahli bid‘ah berdasarkan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sendiri dalam al-Fatāwā (10/370) bahwa menjaga keumuman sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Setiap bid‘ah itu sesat” hukumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid‘ah dan terbukti baik berdasarkan dalil-dalil syar‘i berarti ada dua kemungkinan pasti:
Kemungkinan pertama, amalan tersebut bukan bid‘ah dalam agama meski dari sisi bahasa disebut bid‘ah, seperti perkataan ‘Umar bin Khaththāb r.a.: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini.”
Kemungkinan kedua, bersifat pernyataan umum namun dikhususkan karena adanya pengecualian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam al-Qur’ān dan Sunnah.
Pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecaulian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhususan dari perkataan umum dalam sabda Nabi s.a.w.: “Setiap bid‘ah itu sesat”, dan menjadikan contoh kasus yang dikecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.
Yang dimaksud “menjaga keumuman” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut): “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid‘ad yang termasuk dhalālah).
Karena itu Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan (57/152), kalangan yang menjadikan hadits tersebut tetap bersifat umum dan kalangan lain yang mengkhususkannya bermuara pada satu kesimpulan yang sama, seperti yang ia sebutkan dalam al-Fatāwā; bid‘ah ḥasanah – bagi yang membagi bid‘ah menjadi bid‘ah ḥasanah dan bid‘ah sayyi’ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahl-ul-‘ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.
Seperti itu juga kalangan yang menyatkan bid‘ah semuanya tercela. Bid‘ah menurut kalangan ini adalah sesuatu yang tidak ada dalil syar‘inya. (31) Karena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid‘ah maupun yang menggeneralisir bid‘ah) bermuara pada satu titik yang sama.
Pendapat pertama mendefinisikan bid‘ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi s.a.w. Dengan demikian bid‘ah menurut pendapat pertama ini harus dibagi menjadi bid‘ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Sementara pendapat kedua menilai bid‘ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil. Bid‘ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil. Bid‘ah menurut pendapat kedua tidak terbagi menjadi dua tapi hanya satu, yang tak lain adalah bid‘ah jenis kedua (bid‘ah dhalālah) menurut pendapat pertama.
Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyyah ini dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid‘ah sebagai “sesuatu yang dibuat sepeninggal Rasūlullāh s.a.w. dan masa salaf tanpa klasifikasi atau batasan apapun” berarti berseberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.
Pengecualian dalam Bid‘ah.
Dalil syar‘i yang menguatkkan baiknya suatu amalan yang secara bahasa disebut bid‘ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Setiap bid‘ah itu sesat”, bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbāth, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidhā’-ush-Shirāth-il-Mustaqīm (1/587) bahwa suatu hal yang terbukti baik bukanlah suatu bid‘ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang terbukti baik berarti mengkhususkan pernyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar‘i yang bersumber dari al-Qur’ān, Sunnah, dan ijma‘ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbāth.
Catatan: