BAB II-1
WAKTU
Esensi waktu (al-waqt) menurut penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda didatangi awal bulan.”, maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan adalah sesuatu yang seperti nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syaikh Abū ‘Alī ad-Daqqāq r.a. berkata: “Waktu adalah sesuatu yang anda berada di dalamnya. Kalau anda di dunia, maka waktu anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu anda adalah akhirat, ketika anda senang, maka senang itulah waktu anda. Kalau anda susah, susah itulah waktu anda.” Maksud Syaikh tadi: waktu memiliki definisi yang umum bagi manusia.
Ada kalanya waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman.: Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Shufi merupakan anak sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Shufi disibukkan dengan prioritas utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan: “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tetapi lebih mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan: “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti menelantarkan waktu berikutnya.’
Terkadang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang dilakukan oleh al-Ḥaqq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi diri mereka. Mereka mengatakan (si Fulan dengan hukum waktu), yakni: Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang gaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah s.w.t., atau terapan menurut hukum syariat. Karena adanya penelantaran terhadap apa yang diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yang Anda hasilkan melalui penyimpanan, berarti keluar dari agama.
Mereka berkata: “Waktu adalah pedang.” Sebagaimana fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan kebenaran dan melewatinya.
Dikatakan: “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam sayatannya. Barang siapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan barang siapa bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini:
Dan seperti pedang,
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh,
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barang siapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah kepadanya.
Saya mendengar Syaikh Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkata: “Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu, Yakni jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syaikh bersyair:
Setiap hari ia lewat meraih tanganku,
Memberikan penyesalan dalam hatiku,
Kemudian ia berlalu.
Dalam syair pula:
Seperti penghuni neraka,
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang,
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan:
Bukanlah orang mati itu,
Orang istirahat sebagai mayit,
Tetapi orang mati itu,
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak mandiri dengan syariat. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.