Pendapat para Ulama.
Ibn-ul-Atsīr berkata dalam kitab an-Nihāyah bahawasanya bid‘ah terbagi dua: bid‘ah hudā (didasari petunjuk agama), dan bid‘ah dhalāl, yaitu segala yang menyalahi perintah Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya. (Yang terakhir ini) termasuk bid‘ah yang tercela dan munkar.
Adapun yang masuk dalam keumuman perintah Allah dan anjuran Rasūlullāh s.a.w., itu adalah bid‘ah yang terpuji, walaupun tidak pernah ada contoh sebelumnya, seperti macam-macam kedermawanan, amalan yang baik. Sungguh itu adalah hal terpuji.
Contoh lain perkataan ‘Umar r.a.: “Ini adalah sebaik-baik bid‘ah.”
‘Umar r.a. menyebutnya bid‘ah, tapi ia sendiri memujinya. ‘Umar menyebut itu bid‘ah karena Nabi s.a.w. tidak melakukan shalat Tarawih seperti yang ia lakukan. (Sebagaimana diketahui dari sejumlah riwayat) beliau s.a.w. melakukan shalat Tarawih hanya beberapa hari, kemudian beliau tinggalkan. Di masa khalifah Abū Bakar r.a. belum dilakukan shalat berjama‘ah seperti pada masa khalifah ‘Umar r.a., oleh karena itu ‘Umar menamakan bid‘ah, padahal pada hakikatnya itu adalah Sunnah, karena Nabi telah melakukan.
Nabi s.a.w. bersabda: “Hendaknya kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah al-khulafā’-ur-Rāsyidīn setelahku.”
Dengan demikian, bid‘ah dalam konteks hadits kullu muḥdatsatin bid‘ah (segala yang baru itu bid‘ah) adalah bid‘ah yang bertentangan dengan ushul syarī‘ah serta tidak sesuai dengan sunnah.
Imām Abū Sulaimān Aḥmad bin Muḥammad al-Khithābī al-Bustī (388 H.) menjelaskan makna hadits kullu bid‘atin dhalālah (setiap bid‘ah itu sesat): “Sesungguhnya ini berlaku khusus, tidak berlaku umum. Segala hal yang berhubungan dengan pokok-pokok ajaran agama dan tidak sesuai dengan dalil syari‘at, itulah bid‘ah dhalālah. Adapun yang bersandar pada kaidah-kaidah ushul, bukanlah bid‘ah (yang masuk dalam pengertian hadits tersebut, karena tidak dapat disebut bid‘ah dhalālah).”
Al-Imām al-Ḥāfizh Abū ‘Umar Yūsuf bin ‘Abd-il-Barr an-Namirī al-Andalusī mengatakan bahwa makna perkataan ‘Umar: “Ini adalah sebaik-baik bid‘ah,” maka bid‘ah menurut lisān-ul-‘Arab adalah hal baru yang tidak ada awalnya.
Jika hal baru itu menyalahi sunnah, itu adalah bid‘ah yang tidak ada kebaikan padanya, wajib diingkari, ditinggalkan, serta diboikot pelakunya jika kita ketahui bahwa ia bermadzhab dengan madzhab yang buruk. Adapun bid‘ah yang tidak menyalahi kaidah agama dan sunnah, itulah sebaik-baik bid‘ah sebagaimana yang dilakukan ‘Umar r.a.
Begitu juga apa yang dikatakan Ibnu ‘Umar tentang shalat Dhuḥā: “Sebaik-baik bid‘ah.” Ibnu Abī Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Āliyah dari al-Ḥarīrī dari Ḥakam dari al-A‘rāj, ia berkata: “Aku bertanya pada Ibnu ‘Umar tentang shalat Dhuḥā, ia menjawab: “Bid‘ah dan ini sebaik-baik bid‘ah”.”
Al-‘Allāmah al-Faqīh al-Muḥaddits al-Imām Zainuddīn Abul-Faraj ‘Abd-ur-Raḥmān bin Aḥmad yang dikenal dengan Ibnu Rajab al-Ḥanbalī terkait hadits “setiap bid‘ah sesat”, ia berkata: ‘Ini adalah peringatan bagi umat agar tidak mengikuti bid‘ah. Yang dimaksud bid‘ah di sini adalah segala sesuatu yang tidak ada landasan hukum syari‘at. Adapun yang mempunyai landasan hukumnya, bukanlah bid‘ah dalam pengertian agama, meskipun disebut bid‘ah secara etimologi.”
Syaikh-ul-Islām Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā an-Nawawī menjelaskan bahwa hadits kullu bid‘atin dhalālah (setiap bid‘ah itu sesat) merupakan kalimat umum yang dikhususkan. Maksudnya, kebanyakan bid‘ah. Para ahli bahasa berkata bahwa bid‘ah adalah setiap amal yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya, adapun ulama berkata bahwa bid‘ah itu ada lima, yaitu wājib, mandūb (sunnah), ḥarām, makrūh, mubāḥ.
Alhasil, masih banyak para hafizh dan ulama-ulama besar ahli hadits dan pakar bahasa berpendapat senada dengang pendapat di atas, bahkan ini pendapat mayoritas seperti Ibnu Ḥajar, ash-Shan‘ānī, Ibn-ul-‘Arabī al-Mālikī al-Bājī, az-Zarqānī. Adapun pendapat yang tidak mau membagi bid‘ah, itu pendapat yang sangat tidak populer, bertentangan dengan pendapat jumhur ulama.
Lucunya, ketika mereka ditanya tentang menunaikan haji dengan pesawat, menggunakan pengeras suara di waktu khutbah dan shalat, berdakwah dengan radio dan lain-lain, mereka menjawab bahwa itu urusan dunia. Bid‘ah dalam urusan duniawi, menurut mereka, boleh. Yang tidak boleh adalah bid‘ah ukhrawi.
Tanpa mereka sadari, mereka pun membagi bid‘ah menjadi dua. Padahal tidak ada hujjah yang membagi bid‘ah menjadi perkara dunia dan akhirat. Sangat tidak konsekuen, di satu sisi mereka melarang pembagian bid‘ah menjadi ḥasanah dan dhalālah, tapi di sisi lain membagi menjadi duniawiyyah dan ukhrawiyyah. Mereka menentang klasifikasi bid‘ah para ulama dan mereka memukul rata bahwa bid‘ah ya bid‘ah dan semua bid‘ah itu dhalālah, tapi nyatanya mereka pun membuat klasifikasi bid‘ah sendiri.