Pasal Kedua
Gegabah Memvonis Bid‘ah.
‘Umar bin Khaththāb berdalih kepada Abū Bakar,
meski tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w.
mengumpulkan al-Qur’ān adalah langkah baik,
dan karena baik berarti dianjurkan.
Abū Bakar selanjutnya mengulang jawaban ‘Umar itu
saat Zaid bin Tsābit bertanya kepadanya:
“Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasūlullāh?”
Abū Bakar menjawab: “Demi Allah itu baik”
Definisi bid‘ah pertama kali dijelaskan oleh Imām Syāfi‘ī berdasarkan riwayat al-Baihaqī dalam Manāqib-usy-Syāfi‘ī (1/469).
Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan dengan al-Qur’ān, Sunnah, atsar, atau ijma‘. Inilah bid‘ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid‘ah yang tidak tercela.
‘Umar bin Khaththāb r.a. berkata tentang qiyām Ramadhān: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini; maksudnya shalat Tarāwīḥ bersifat baru dan tidak ada sebelumnya – karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”
Kemudian asy-Syāfi‘ī menjelaskan maksud “bid‘ah” dalam perkataan ‘Umar bin Khaththāb di atas.
Apa pengertian bid‘ah? Yaitu sesuatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid‘ah mencakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi s.a.w. dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid‘ah yang paling tepat. Untuk itu bid‘ah harus dibagi menjadi dua bagian:
Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menyalahi al-Qur’ān, Sunnah, atsar atau ijma‘. Inilah bid‘ah yang sesat karena berseberangan dengan dalil-dalil syar‘i.
Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid‘ah yang tidak tercela karena menurut syari‘at baik adanya. Karena menurut syari‘at baik, berarti bid‘ah tersebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.
Selanjutnya asy-Syāfi‘ī menjelaskan alasan kenapa ‘Umar bin Khaththāb r.a. memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyām Ramadhān secara berjama‘ah) meski ia sebut sebagai bid‘ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan dengan al-Qur’ān, Sunnah, atsar atau ijma‘.
Imām asy-Syāfi‘ī r.a. menyatakan: “Kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun adalah bid‘ah yang tidak tercela.”
Pernyataan asy-Syāfi‘ī ini juga bersandar pada perkataan ‘Umar r.a., serta persetujuan Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. dan Zaid bin Tsābit r.a. bahwa pengumpulan al-Qur’ān dalam satu kitab dianjurkan meski tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w., karena hal tersebut baik adanya.
‘Umar bin Khaththāb berkata, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Zaid bin Tsābit: “Menurutku, engkau harus mengumpulkan al-Qur’ān (dalam satu kitab).”
Abū Bakar berkata kepada ‘Umar: “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w.?!”
‘Umar berkata: “Demi Allah itu baik.”
Abū Bakar berkata: “‘Umar terus mempertimbangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (2).
Pada mulanya Abū Bakar berdalih mengumpulkan al-Qur’ān dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w., sementara ‘Umar bin Khaththāb berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w., tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abū Bakar selanjutnya mengulang jawaban ‘Umar saat Zaid bin Tsābit berkata kepadanya: “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasūlullāh?” Abū Bakar menjawab: “Demi Allah itu baik.”
Jawaban dari kedua khalifah Rasūlullāh s.a.w. tersebut adalah tanggapan bagi siapapun yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat dan tidak ada sebelumnya dengan dalih tidak pernah dilakukan Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabat. Sebab menurut nash kitābullāh kebaikan itu diperintahkan untuk dilakukan dan diberi janji keberuntungan. Allah s.w.t. berfirman:
وَ افْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
“Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” (QS. al-Ḥajj: 77).
Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 104).
Karenanya, menurut penjelasan asy-Syāfi‘ī, bid‘ah yang tidak tercela adalah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar‘i.