II
MAKNA KONDISI SPIRITUAL
(AL-AḤWĀL)
Syaikh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Ada pun makna aḥwāl (bentuk jama‘ dari ḥāl, pent.) ialah sesuatu dari kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan dzikir tersebut.
Diceritakan dari al-Junaid – raḥimahullāh – yang mengatakan, bahwa: Ḥāl ialah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bisa lama (terus-menerus).
Disebutkan pula, bahwa ḥāl ialah dzikir secara samar (khafī).
Diriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau pernah bersabda: “Sebaik-baik dzikir ialah dzikir khafī (dilakukan secara samar) (H.R. Aḥmad, Ibnu Ḥibbān, Abū Uwānah dan al-Baihaqī dari Sa‘īd bin Abī Waqqāsh r.a.)
Ḥāl tidak bisa diperoleh lewat cara perjuangan spiritual, ibadah, pelatihan spiritual sebagaimana yang biasa dilakukan dalam maqāmat yang telah kami sebutkan. Akan tetapi ḥāl adalah seperti murāqabah, qurbah, maḥabbah, khauf, rajā’, syauq, uns, thuma’ninah, musyāhadah, yaqīn dan lain-lain.
Diceritakan dari Abū Sulaimān ad-Dāranī – raḥimahullāh – yang mengatakan: “Jika mu‘āmalah dengan Allah telah menembus hati, maka anggota tubuh akan terasa nyaman dan ringan.”
Apa yang dikatakan Abū Sulaimān ini mengandung dua pengertian:
Pertama: yang dimaksud terasa ringan adalah ringan dari kegiatan-kegiatan perjuangan spiritual (mujāhadah), apabila ia disibukkan dengan menjaga hatinya dan melindungi rahasia hatinya dari segala bersitan-bersitan dan pikiran-pikiran jelek yang hanya akan menyibukkan hatinya sehingga lupa mengingat Allah.
Kedua: mungkin juga apa yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah memungkinkan untuk terus ber-mujāhadah, melakukan ‘amal-‘amal saleh dan ibadah-ibadah yang lain, di mana semuanya telah menjadi kebiasaannya, sehingga bisa merasakan kelezatan, menemukan manisnya dan hilang rasa capek dan letih yang pernah dirasakan sebelumnya.
Sebagaimana sebagian kaum Shūfī yang lain mengatakan – dan saya kira si Shūfī itu tidak lain adalah Muḥammad bin Wāsi‘, (yang berkata): “Saya berjuang dengan penuh kesulitan untuk menghidupkan malamku selama dua puluh tahun, dan saya bisa merasakan nikmatnya selama dua puluh tahun pula.”
Sementara yang lain juga mengatakan – saya kira dia adalah Mālik bin Dīnār (yang berkata): “Lidah saya berkomat-kamit membaca al-Qur’ān selama dua puluh tahun, dan saya bisa merasakan nikmatnya membaca al-Qur’ān selama dua puluh tahun pula.”
Al-Junaid berkata: “Seseorang tak akan bisa diantarkan sampai pada memelihara hak-hak Allah kecuali dengan menjaga rahasia hati. Barang siapa tidak memiliki rahasia hati (sirr) maka ia adalah orang yang selalu berbuat dosa. Sementara orang yang selalu berbuat dosa tak akan pernah ada kebaikan yang bisa jernih.”
Sementara itu, jawaban-jawaban kaum Shūfī tentang al-Maqāmāt dan al-Aḥwāl cukup banyak. Dan apa yang saya sebutkan di sini cukup ringkas. Semoga Allah senantiasa memberi taufīq kepada kita.