01-6 Dusta Atas Nama Allah S.W.T. – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Dusta atas Nama Allah s.w.t.

 

‘Abdullāh bin al-Mubārak berkata: “Salām bin Abī Muthī‘ mengabarkan kepada kami dari Abū Dākhilah, dari ayahnya, ia berkata: “Suatu ketika aku berada di tempat Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasūlullāh s.a.w. melarang anggur kering dicampur dengan kurma kering.

Kemudian seseorang di belakangku berkata: “Apa yang ia katakan?”

Aku berkata: “Rasūlullāh s.a.w. mengharamkan anggur kering dicampur dengan kurma kering.”

Lantas ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata: “Kau berdusta.”

Aku katakan: “Bukankah kau bilang bahwa Rasūlullāh s.a.w. melarang hal itu? Berarti itu haram.”

Ibnu ‘Umar bertanya: “Kau menyaksikan hal itu?” (percakapan Salām dan Ibnu ‘Umar berakhir sampai di sini, peny.).

Lalu Salām berkata: “Ibu ‘Umar seolah-olah berkata: Apa yang Nabi s.a.w. larang itulah etika.”

Perhatikan kata-kata Ibnu ‘Umar yang merupakan salah satu fuqahā’ di kalangan sahabat, “Kau berdusta”, yang ia sampaikan kepada orang yang menafsirkan kata larangan sebagai sesuatu yang pasti haram, meski larangan terhadap campuran anggur kering dan kurma kering tersebut memang menunjukkan keharamannya, hanya saja Ibnu ‘Umar tidak secara tegas menyebutkannya haram, karena larangan juga bisa menunjukkan makruh. Inilah yang dimaksud dalam perkataan Salām: “Itulah etika.”

Inti perkataan Ibnu ‘Umar adalah tidak boleh bagi orang muslim lancang mengharamkan sesuatu tanpa dalil tegas dari al-Qur’ān ataupun Sunnah. Inilah langkah yang ditempuh para sahabat, tabi‘in, dan para imam.

Ibrāhīm an-Nakha‘ī, seorang tabi‘in berkata: “Mereka memakruhkan berbagai hal, bukan mengharamkannya.”

Seperti itu juga Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, mereka menahan diri untuk mengucapkan kata-kata “haram” terhadap sesuatu selama tidak diyakini betul keharamannya, baik karena adanya syubhat di sana, karena adanya perbedaan pendapat terkait sesuatu, ataupun karena faktor lain. Salah satu di antara mereka hanya menyatakan: “Saya memakruhkan ini dan itu,” tidak lebih dari itu.

Terkadang Imām Syāfi‘ī pun menyatakan: “Saya khawatir hal itu haram.” Ia tidak memastikan haram karena ia pasti paham jika ia memastikan haramnya sesuatu pada sesuatu yang tak didapat keterangannya secara tegas, dikhawatirkan masuk pada yang dimaksud dalam firman Allah s.w.t.:

وَ لَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هذَا حَلَالٌ وَ هذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: “Inilah halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. an-Naḥl [16]: 116).

Untuk mereka yang saat ini bersikap berlebihan, memastikan ini dan itu hukumnya haram, mencela suatu amalan tanpa dalil apapun selain klaim bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukannya, mereka termasuk dalam penjelasan umum ayat di atas.

Di antara amalan umat Islam saat ini yang tidak dilakukan Nabi s.a.w. adalah: Perayaan Maulid Nabi, Perayaan malam Isrā’ Mi‘rāj, Menghidupkan malam pertengahan Sya‘bān, Mengiring jenazah dengan dzikir, Membaca al-Qur’ān untuk mayit di rumah, Membaca al-Qur’ān untuk mayit di kubur, sebelum, dan setelah dimakamkan, Shalāt Tarāwīḥ berjamā‘ah.

Maka, siapapun yang mengharamkan hal-hal di atas dan semacamnya dengan klaim bahwa Nabi s.a.w. tidak melakukannya, silakan baca firman Allah s.w.t.:

ءَآللهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُوْنَ.

Apakah Allah telah memberikan idzin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. Yūnus [10]: 59).

Juga tidak dikatakan bahwa bolehnya hal-hal di atas dan semacamnya termasuk dalam penjelasan umum ayat sebelumnya (mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, peny.), karena bagi kami selama tidak ada nash yang melarang dan menunjukkan hal-hal tersebut haram atau makruh, berarti mubah sesuai hukum asal berdasarkan sabda Nabi s.a.w.: “Dan apa yang Ia diamkan berarti dimaafkan,” yaitu mubah.

Demikian penjelasan kami tentang masalah tark (meninggalkan suatu amalan), dan kami telah membantah pandangan kalangan yang menjadikan tark sebagai hujjah, berdasarkan dalil-dalil tak terbantahkan yang telah kami sebut sebelumnya.

Allah s.w.t. menyatakan kebenaran dan Dia-lah yang menuntun menuju jalan lurus. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Demikian kami nukil penjelasan Sayyid ‘Abdullāh al-Ghumarī dalam kitabnya Itqān ash-Shun‘ah.

Semoga ini dapat menjadi pelajaran penting agar kita tidak mudah menetapkan hukum atas sesuatu yang belum kita pahami duduk perkaranya secara utuh, hingga kita mudah mempersalahkan orang lantaran kepicikan cara berpikir yang tidak kita sadari. Semoga kita pun tidak digolongkan sebagai orang-orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *