01-5 Tark Menunjukkan Apa? – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Tark Menunjukkan Apa?.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, tark, atau meninggalkan sesuatu, bukan menunjukkan sesuatu tersebut dilarang, tapi justru menunjukkan boleh. Inilah yang disampaikan para ulama dalam kitab-kitab hadits.

Abū Dāwūd dan an-Nasā’ī meriwayatkan dari Jābir r.a., ia berkata: “Satu dari dua hal terakhir Rasūlullāh s.a.w. adalah tidak wudhu’ setelah memakan makanan yang dimasak dengan api.”

Abū Dāwūd dan an-Nasā’ī menyebutkan hadits ini di bawah judul Tidak Wudhu’ setelah Memakan Makanan yang Dimasak dengan Api (maksudnya, memakan makanan yang dimasak dengan api tidak membatalkan wudhu’).

Bersandar pada hadits ini, terkait masalah yang tengah kita bahas, jelas sekali, andai memakan makanan yang dimasak dengan api mewajibkan wudhu’, tentu wudhu’ setelah memakan makanan yang dimasak dengan api itu tidak ditinggalkan Nabi s.a.w. Beliau meninggalkannya, ini menunjukkan wudhu’ setelah memakan makanan yang dimasuk dengan api tidak wajib (dan bukan terlarang).

Imām Abū ‘Abdullāh at-Tilmisānī menjelaskan dalam Miftāḥ-ul-Ushūl, “Meninggalkan sesuatu dalam hal pengambilan dalil bisa disamakan dengan boleh melakukan sesuatu, karena seperti halnya perbuatan Nabi s.a.w. menjadi dalil bahwa amal yang beliau kerjakan tidak terlarang, juga bisa dikatakan bahwa meninggalkan sesuatu bagi Nabi s.a.w. tidaklah menunjukkan wajib meninggalkan hal tersebut. Ini seperti pandangan sahabat-sahabat kami yang menyatakan tidak wajib wudhu’ setelah makan makanan yang dimasak dengan api (memakan makanan yang dimasak dengan api tidak membatalkan wudhu’).

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi s.a.w. memakan kaki depan kambing setelah itu shalat tanpa wudhu’ lagi. Ada pula pandangan sahabat-sahabat kami yang menyatakan bahwa berbekam tidak membatalkan wudhu’ berdasarkan riwayat yang menyebutkan Nabi s.a.w. berbekam kemudian shalat tanpa wudhu’ lagi.” (Miftāḥ-ul-Ushūl, hal: 93, diterbitkan oleh Maktabah al-Khanaji).

Dari sinilah kemudian muncul kaidah ushul “meninggalkan sesuatu yang boleh ditinggalkan bukan berarti wajib meninggalkan sesuatu itu.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *