01-5 Kufur – Risalah Qusyairiyah

Dari Buku: RISALAH QUSYAIRIYAH (INDUK ILMU TASAWUF)
(Judul Asli: Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyatu fi ‘Ilm-it-Tashawwuf)
Oleh: Imam al-Qusyairy an-Naisabury
Penerjemah: Mohammad Luqman Hakiem, MA - Editor: Tim Risalah Gusti
Penerbit: Risalah Gusti.

Rangkaian Pos: 001 Prinsip-prinsip Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi | Risalah Qusyairiyah

BAB I

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

(Bagian 5)

 

KUFUR

Al-Wāsithiy ditanya soal kufur bagi dan kepada Allah. Jawabnya: “Kufur dan iman, dunia dan akhirat; dari Allah, kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagai tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqā’ dan fanā’nya, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.

Dikatakan oleh al-Junaid: bahwa sebagian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab al-Junaid: “Tauhid adalah keyakinan.” Jelaskan padaku, apa tauhid itu?” demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma‘rifat anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah s.w.t. Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila anda sudah berpandangan demikian, anda telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junaid.

Seseorang datang kepada Dzun-Nūn minta didu‘akan: “Du‘akan aku!” kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap dalam ilmu ghaib melalui kebenaran tauhid, maka du‘a pasti dikabulkan. Jika tidak demikian, suatu du‘a tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam,” jawab Dzun-Nūn.

Abul-Ḥasan an-Nūriy berkata: “Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaratkan kepada Allah, bahwa Dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.” Sedangkan Abū ‘Alī ar-Rūdzbāriy ketika ditanya soal Tauhid, menjelaskan: “Tauhid adalah istiqāmah qalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu: Setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah s.w.t. pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah s.w.t.:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Tidak ada sesuatu apa pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha melihat.” (Asy-Syūrā:11).

Abul-Qāsim an-Nashr Abadziy berkata: “Surga abadi dengan keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya kepadamu, rahmat dan mahabah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya. Dua hal yang berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang abadi karena diabadikan oleh-nya.

Ahl-ul-Ḥaqq berkata: “Sifat-sifat Dzāt Yang Qadīm abadi karena abadi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan ahl-ul-Ḥaqq.

Nashr Abadziy menandaskan: “Anda bersimpang-siur antara sifat-sifat kerja (fi‘il) dengan sifat-sifat Dzāt. Keduanya adalah sifat Allah s.w.t. secara esensial. Apabila anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka anda diintegrasi oleh sifat-sifat fi‘il. Jika anda sampai pada tahap al-Jam‘u anda akan terintegrasi oleh sifat-sifat Dzāt-Nya.

Sang Syaikh, Imām Abū Isḥāq al-Isfirayainiy r.a. mengatakan: “Ketika aku datang dari Baghdād, aku belajar di masjid Naisābūr perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul-Qāsim Abadziy duduk berjauhan dengan kami mendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari kemudian, ia mengatakan kepada Muḥammad al-Farrā’: “Aku bersaksi sesungguhnya aku seorang Muslim baru di tangan laki-laki ini.” Katanya sambil menunjuk ke arahku.”

Dikisahkan tentang Yaḥyā bin Mu‘ādz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya: “Tolong beritahu aku mengenai Allah s.w.t.? “Yaḥyā menjawab: “Tuhan Yang Esa.” Lalu dikatakan kepada Yaḥyā: “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa.” Jawab Yaḥyā. Orang itu kembali bertanya: “Di mana Dia?” Dia benar-benar mengawasi.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini,” tandas si penanya. Maka Yaḥyā menjawab: “Tidak ada lagi selain itu.”

Ibnu Syāhin bertanya pada Junaid tentang makna: “ma‘a. Junaid menjawab, bahwa ma‘a mengandung dua makna: ma‘-al-anbiyā (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

إِنِّيْ مَعَكُمْ أَسْمَعُ وَ أَرى

Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thāhā:46)

Dan makna ma‘a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah s.w.t. berfirman:

مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.” (al-Mujādilah:7)

Ibnu Syāhin berkomentar: “Orang seperti anda benar-benar layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah s.w.t.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *