Mengkritisi Sejumlah Pendapat.
Ibn-us-Sam‘ānī menyatakan: “Jika Rasūlullāh s.a.w. meninggalkan sesuatu, kita wajib mengikutinya.” Pernyataan ini disandarkan pada dalil bahwa saat para sahabat Rasūlullāh s.a.w. menahan diri untuk memakan biawak, mereka tidak melakukan apapun dan kemudian menanyakan hal itu kepada beliau.
Dalam hadits tersebut, beliau menjawab bahwa biawak tidak haram, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Ini menunjukkan, Nabi s.a.w. meninggalkan sesuatu bukan berarti yang ditinggalkan haram. Dengan begitu dalam hadits ini bukan hujjah, justru membantah perkataan Ibn-us-Sam‘ānī sendiri.
Sebelumnya sudah dijelaskan, meninggalkan sesuatu ada beberapa kemungkinannya. Dan umat tidak diwajibkan mengikuti Nabi s.a.w. dalam meninggalkan hal-hal yang bisa jadi bukan sebagai kebiasaan beliau, atau karena beliau lupa, atau faktor-faktor lain seperti disebutkan sebelumnya.
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang berziarah kubur dan meminta tolong kepada ahli kubur agar menyembuhkan penyakit yang ia derita, penyakit pada kuda, unta, memohon agar yang menimpa dihilangkan dan semacamnya. Ibnu Taimiyyah memberikan jawaban secara panjang lebar, di antaranya bahwa tidak seorang pun di antara sahabat atau tabi‘in melakukan hal itu, imam-imam umat juga tidak memerintahkan seperti itu. Maksudnya, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi s.a.w. setelah beliau wafat seperti yang pernah mereka lakukan saat Nabi s.a.w. masih hidup.
Argumentasi Ibnu Taimiyyah tersebut tidak layak dijadikan dalil atas jawaban yang ia kemukakan, karena beberapa alasan berikut:
Pertama; mungkin para sahabat tidak melakukannya sebab itu telah menjadi kesepakatan (baca: kebiasaan umum) di antara mereka. Kemungkinan lain, hal tersebut menurut mereka tidak boleh. Atau bisa pula hal tersebut boleh, namun ada hal lain yang lebih utama, sehingga mereka meninggalkannya untuk sesuatu yang lebih utama. Dan tidak menutup kemungkinan adanya faktor-faktor lain.
Bukti bahwa mereka meninggalkan hal tersebut bukan karena tidak boleh adalah suatu ketika Bilāl bin Ḥārits al-Muzannī, seorang sahabat, pergi ke makam Nabi s.a.w. saat terjadi kemarau panjang, ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, mintakan hujan untuk umatmu.”
Kemudian dalam mimpi, Rasūlullāh s.a.w. mendatanginya dan berkata: “Tempat ‘Umar, sampaikan padanya bahwa kalian meminta hujan. Katakan padanya: “Bersikapkan cerdas, bersikaplah cerdas”.”
Bilāl bin Ḥārits menyampaikan hal itu kepada ‘Umar, ‘Umar pun menangis dan berkata: “Ya Allah, aku tidak melakukannya karena aku tidak mampu”.”
‘Umar tidak mencela apa yang dilakukan Bilāl bin Ḥārits. Andai meminta doa kepada orang yang sudah mati tidak boleh dari para sahabat, pasti Bilāl sudah dicela oleh ‘Umar.
Al-Bukhārī menjelaskan dalam kitab Shaḥīḥ-nya, dalam Bab Mengikuti Perbuatan-perbuatan Nabi s.a.w. al-Bukhārī meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Nabi s.a.w. membuat cincin emas, orang-orang pun membuat cincin emas.
Nabi s.a.w. bersabda: “Aku membuat cincin dari emas”, kemudian beliau membuang cincin itu lalu bersabda: “Aku tidak akan mengenakannya lagi selamanya.”
Para sahabat kemudian membuang cincin yang mereka kenakan.”
Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar menjelaskan, al-Bukhārī sekedar menyebutkan contoh ini karena itu mencakup penjelasan (tentang bab tersebut bahwa) para sahabat meneladani Nabi s.a.w. dalam melakukan atau meninggalkan apapun.
Hemat kami (al-Ghumarī): kata-kata “meninggalkan” yang disebut al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar itu berlebihan, karena (menyatakan) “meninggalkan sesuatu” berarti (menetapkan) “suatu pekerjaan juga.” Para sahabat mengikuti Nabi s.a.w. dalam mengerjakan sesuatu, sementara meninggalkan sesuatu adalah konsekwensi yang muncul.
Seperti itu juga ketika Nabi s.a.w. melepas sandal saat shalat, para sahabat ikut melepas sandal masing-masing karena mengikuti Nabi s.a.w. Keterangan ini memang menunjukkan bahwa tiىdakan para sahabat adalah perbuatan yang memunculkan konsekwensi pada meninggalkan sesuatu (jadi ini sebuah pekerjaan juga). Hanya saja ini bukan pokok pembahasan kita.
Selanjutnya, kami tidak memungkiri Ibnu ‘Umar yang selalu meneladani apapun yang dilakukan Nabi s.a.w. Bahkan, menurut kami, di sanalah letak keselamatan dan kebahagiaan. Hanya saja sesuatu yang tidak dilakukan Nabi s.a.w. seperti merayakan Maulid Nabi, perayaan Isrā’ Mi‘rāj, dan lainnya, tidak bisa kami nyatakan haram karena hal itu berarti membuat dusta atas nama Allah s.w.t. Sebab, meninggalkan sesuatu bukan berarti larangan.
Seperti itu juga generasi salaf yang meninggalkan sesuatu – maksudnya tidak melakukan sesuatu itu tidak menunjukkan amalan tersebut dilarang. Imām Syāfi‘ī menyatakan: “Apa saja yang ada landasan hukumnya dari syari‘at bukan bid‘ah, meski tidak dikerjakan oleh salaf.” Karena bisa jadi mereka tidak mengerjakan sesuatu disebabkan adanya udzur yang menghalangi pada waktu itu, atau karena adanya hal lain yang lebih baik, atau bisa jadi mereka belum mendengar hadits yang menjelaskan tentang sesuatu itu.