Hati Senang

01-3 Meninggalkan, Bukan Melarang – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Meninggalkan, bukan Melarang.

 

Larangan adalah sesuatu yang haram, yang memang harus ditinggalkan. Masalah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi s.a.w. serta-merta menjadi sesuatu yang haram.

Dijelaskan dalam ar-Radd-ul-Muḥkam-ul-Matīn, tentang meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang. Berikut ini penjelasannya:

“Meninggalkan suatu amalan saja tanpa disertai nash lain yang menunjukkan bahwa hal tersebut terlarang, bukanlah hujjah yang melarang sesuatu tersebut, meskipun pada akhirnya disyari‘atkan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari kasus semacam ini: Pertama, sesuatu yang ditinggalkan tersebut dilarang, namun pelarangan ini bukan karena sesuatu tersebut ditinggalkan. Kedua, ada dalil lain yang menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.

Imām Abū Sa‘īd bin Lubb juga menyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang memakruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut tidak pernah dilakukan kalangan salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru menunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari‘at, seperti doa.

Ibnu Ḥazm dalam al-Muḥallā (2/254) menyebutkan hujjah fuqahā’ Mālikiyyah dan Ḥanafiyyah yang memakruhkan shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib mengacu pada perkataan Ibrāhīm an-Nakha‘ī bahwa Abū Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsmān tidak melakukannya. Ibnu Ḥazm menolak hujjah tersebut dengan menyatakan: “Andai benar, tentu tidak menjadi hujjah, karena tidak ada penjelasan dalam perkataan tersebut bahwa para sahabat melarangnya.”

Ibnu Ḥazm juga menyatakan: “Mālikiyyah dan Ḥanafiyyah juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Aku tidak pernah melihat Abū Bakar dan ‘Umar shalat sunnah sebelum shalat Maghrib”.” Ibnu Ḥazm membantah hal tersebut, ia menyatakan bahwa riwayat ini juga tak bisa dijadikan dalil bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib dilarang. Kami tidak memungkiri shalat sunnah apapun, selama tidak ada larangannya.”

Pada bagian lain dalam kitab yang sama (2/271), Ibnu Ḥazm juga memberi penjelasan terkait shalat sunnah dua rakaat setelah shalat ‘Ashar: “Hadits ‘Alī (1) dalam masalah ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah karena dalam hadits ini tidak dijelaskan bahwa ia tidak pernah melihat Rasūlullāh s.a.w. shalat dua rakaat setelah shalat ‘Ashar. Hadits tersebut tidak melarang ataupun memakruhkan dua rakaat sunnah setelah shalat ‘Ashar.

Nabi s.a.w. tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhān. Ini juga tidak menunjukkan bahwa makruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”

Demikian teks-teks yang secara tegas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.

Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakuinya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menunjukkan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.

Adapun mengenai larangan dalam syari‘at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan.

Pertama; yang menunjukkan pengharaman ada tiga:

1. Larangan. Contoh: “Jangan mendekati zina, jangan memakan harta di antara sesamamu dengan cara batil.”

2. Pengharaman. Contoh: “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya.

3. Celaan atau ancaman siksa atas suatu perbuatan. Contoh: “Barang siapa menipu, ia bukan golongan kami.”

Dan meninggalkan suatu amalan tidak termasuk dalam tiga kategori ini. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Kedua; Allah s.w.t. berfirman:

وَ مَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نِهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا.

Apa yang disampaikan Rasūl kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 7).

Allah s.w.t. tidak menyatakan: “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” Dengan demikian, meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilaraang.

Ketiga; Nabi s.a.w. bersabda:

مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ

Apa yang aku perintahkan, kerjakan semampumu, dan apa yang aku larang, jauhilah.

Nabi s.a.w. (saja) tidak menyatakan: “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?

Keempat; para pakar ushul mendefiniskan, sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi s.a.w. Mereka tidak mendefinisikan, sunnah adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi s.a.w., karena meninggalkan sesuatu bukanlah dalil.

Kelima; seperti disebutkan sebelumnya, hukum adalah khithab Allah s.w.t. Para pakar ushul menyebutkan, hukum berdasarkan al-Qur’ān, Sunnah, ijma‘, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.

Keenam; seperti disebutkan sebelumnya, meninggalkan sesuatu memiliki beberapa kemungkinan selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika terdapat kemungkinan dalam suatu dalil, dalil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. meninggalkan sesuatu sebagai dalil bahwa sesuatu tersebut haram. Hujjah ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa dalil tark tidak bisa dijadikan pijakan.

Ketujuh; meninggalkan sesuatu adalah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amalan adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari‘at. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.