BAB I
PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
IMAN
Abū ‘Abdillāh bin Khafīf berkata: “Iman berarti penetapan qalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh al-Ḥaqq mengenai hal-hal yang ghaib.”
Abul-‘Abbās as-Sayyāriy berkata: “Pemberian Allah itu ada dua macam: “Karāmah dan Istidrāj. Segala hal yang menetap abadi dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu adalah istidrāj. Maka katakan saja: “Aku beriman, in syā’ Allāh!”
Sahl bin ‘Abdullāh at-Tustariy menandaskan: “Orang-orang yang beriman melihat Allah s.w.t. dengan mata hati, tanpa pangkal batasan dan kawasan.”
Abul-Ḥusain an-Nūriy berkata: “Qalbu adalah tempat penyaksian al-Ḥaqq . Kami tidak pernah melihat qalbu yang lebih rindu kepada-Nya, dibandingkan qalbu Muḥammad s.a.w. Lalu Allah s.w.t. memuliakannya lewat Mi‘rāj, sebagai pendahuluan terhadap penglihatan kepada Allah s.w.t. dan penyempurnaan.”
Abū ‘Utsmān al-Maghribiy berkata: “Aku meyakini sesuatu seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdād, hilanglah semua itu dari qalbuku. Lantas aku menulis surat pada sahabatku di Makkah: “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yang baru (sebenarnya).” Abū ‘Utsmān ditanya soal makhluk. Jawabnya: “Cetakan dan bayangan, yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasaan Ilahi.”
Al-Wāsithiy berkata: “Ketika arwah dan jasad tegak dengan seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka keduanya pun tegak tidak dengan dzātnya. Begitu juga hasrat-hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan dzātnya, seijin Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang bagi jasad dan arwah.”