Prinsipnya, melihat jinn itu tidak bisa dilakukan, sepanjang jinn tersebut berada dalam sosoknya yang hakiki, dan tidak menyerupakan dalam bentuk yang lain, yakni mengambil bentuk fisik-material, sekalipun hal itu sangat mungkin bisa dilakukan oleh para nabi sebagai suatu mu‘jizat, atau bagi orang yang dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk itu. Juga bisa saja hal itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan oleh Allah dalam suatu kondisi tertentu yang memungkinkan dia dapat melakukannya, atau yang menempatkan dirinya dalam posisi tertentu yang memungkinkan terjadinya hal seperti itu.
Agar pembaca yang budiman tidak menuduh saya sebagai orang yang asal bicara, padahal sahabat anda ini – demi Allah – adalah orang yang sangat menjauhi pembicaraan yang tidak berdasar dan bukan pula orang yang mengajak orang lain untuk percaya kepada khurafat, maka di sini saya akan mengemukakan bukti-bukti saya, dan mendiskusikan berbagai dalil syariat yang menyatakan ketidakmungkinan melihat jinn, setelah terlebih dahulu saya kemukakan gambaran tentang sifat-sifat jinn dan memperkenalkan beberapa kemampuannya yang pernah diperlihatkan kepada saya melalui anugerah Allah.
Kadang-kadang banyak orang tidak memahami bahwa jinn merasa prihatin dengan persepsi-persepsi keliru yang berkembang tentang bentuk-bentuk mereka yang tersebar di dunia manusia.
Ketika saya bertanya kepada jinn Muslim sahabat saya tentang bentuk jinn, dia menjawab dengan pengertian seperti yang telah saya kemukakan terdahulu. Dia menambahkan bahwa: “Manusia seringkali secara keliru meyakini tentang buruknya jinn, dan bahwasanya bentuknya sangat menakutkan. Ia sekadar sosok yang membuat manusia menjadi takut: wajahnya tidak karuan, dan mempunyai ekor sebagaimana binatang, dan bahwa…., dan bahwa….. Semuanya tidak berdasar, dan semata-mata hanya merupakan perkiraan manusia.”
Saya berkata kepadanya: “Kadang-kadang jinn itu sendirilah yang bertanggungjawab terhadap munculnya anggapan yang salah dan buruk yang ada di pikiran manusia.”
“Bagaimana mungkin bisa terjadi yang demikian?” tanyanya.
“Ya, karena adanya syaithan yang memperlihatkan diri dalam bentuk yang demikian buruk dan menakutkan kepada seseorang, dengan maksud menakut-nakutinya, atau karena maksud tertentu,” jawab saya.
“Bisa jadi demikian,” katanya, “Akan tetapi, bagaimanapun, manusia telah melebih-lebihkan gambaran mereka tentang jinn, dan acap kali hal itu hanya merupakan kebohongan semata. (181) Lebih dari itu, syaithan memang memiliki sosok yang buruk, berbeda dari jinn Muslim yang diberi bentuk yang baik oleh Allah.”