01-1&2 Nabi Tidak Merayakan Maulid – Dalil Syar’i Maulid Nabi

Bahas Cerdas & Kupas Tuntas
DALIL SYAR‘I MAULID NABI

Penyusun: Muhammad Ahmad Vad‘aq

Penerbit: Pustaka al-Khairat

Pasal Pertama

Nabi tidak Merayakan Maulid

 

Nabi s.a.w. bersabda:

Apa yang aku perintahkan, kerjakan semampumu,

dan apa yang aku larang, jauhilah.

Beliau (saja) tidak menyatakan,

“Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.”

Lalu bagaimana bisa meninggalkan sesuatu

menjadi larangan atas sesuatu tersebut?

 

Di awal pembahasan ini, mari kita pahami bersama istilah tark. Maksudnya, amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi s.a.w. Pertanyaan yang layak diajukan terkait masalah ini adalah: Apakah segala sesuatu yang tidak dilakukan Nabi s.a.w. menjadi haram untuk kita lakukan? Ini perlu dipahami dengan baik, mengingat pernyataan sebagian orang bodoh yang menyatakan bahwa melakukan segala sesuatu yang tidak dilakukan Nabi s.a.w. adalah bid‘ah dhalālah (bid‘ah sesat).

Kajian tentang ini sudah cukup banyak ditulis para ulama Ahl-us-Sunnah. Di sini, mari kita simak baik-baik pendapat al-Imām Muḥyissunnah Abul-Fadhl ‘Abdullāh bin ash-Shiddīq al-Ghumarī r.a., yang kami mulai dengan mengutip pendapatnya perihal perangkat syari‘at dan hukum-hukum yang ditetapkannya.

 

Pemaparan al-Ghumarī

Dalam menjejaki syari‘at yang dibawa Rasūlullāh s.a.w. ini, sumber dalil yang dijadikan hujjah oleh para imam kaum muslimin adalah al-Qur’ān dan Sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal ini.

Yang menjadi polemik bagi mereka adalah sumber dalil dari ijma‘ dan qiyās. Jumhur ulama menjadikan keduanya sebagai sumber dalil. Inilah pendapat yang rājiḥ (kuat, unggul) dengan sejumlah alasan yang telah dipaparkan dalam disiplin ilmu ushul.

Selanjutnya ada pula sejumlah sumber dalil yang diperdebatkan empat imam madzhab, yaitu: hadits mursal, perkataan sahabat, syari‘at umat sebelum kita, istisḥāb, istiḥsān, dan praktek penduduk Madīnah. Pembahasan seputar masalah-masalah ini secara panjang lebar sudah dijelaskan dalam al-Istidlālu min Jam‘-il-Jawāmi‘ karya Imām Subkī.

Pembaca sekalian, hukum syara‘ adalah khithāb (titah) Allah s.w.t. terkait perbuatan mukallaf (manusia, yang terbebani hukum syari‘at) dan macamnya ada lima:

Pertama: wajib atau fardhu, yaitu berpahala jika dikerjakan dan yang meninggalkannya akan mendapat siksa, seperti shalat, zakat, puasa Ramadhan, berbakti kepada kedua orang tua.

Kedua: haram, yaitu yang mengerjakannya mendapat siksa dan yang meninggalkannya mendapat pahala, seperti riba, zina, durhaka kepada orang tua, khamr.

Ketiga: mandūb (atau sunnah), yaitu berpahala jika dikerjakan namun yang meninggalkannya tidak disiksa, seperti shalat-shalat sunnah.

Keempat: makruh, yaitu berpahala jika ditinggalkan namun yang mengerjakannya tidak disiksa, seperti shalat sunnah Shubuḥ atau ‘Ashar.

Kelima: mubah atau halal, yaitu mengerjakan maupun meninggalkannya tidak mendatangkan pahala ataupun siksa, seperti; memakan makanan yang baik dan berdagang. Inilah kelima hukum yang menjadi inti fiqh Islam.

Tidak boleh bagi mujtahid manapun, baik sahabat atau yang lain, membuat hukum tersendiri selain kelima hukum di atas, tanpa landasan sumber-sumber dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Ini sudah diketahui secara pasti dalam agama, jadi tak perlu ada penjelasan lebih lanjut.

 

Memahami Tark

Maksud tark yang menjadi tujuan penulisan risalah singkat ini adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan Nabi s.a.w., atau ditinggalkan oleh salafushshāliḥ, tanpa adanya hadits atau atsar yang melarang amalan yang ditinggalkan tersebut yang menunjukkan perbuatan tersebut haram atau makruh.

Ulama kalangan muta’akhkhir sering menggunakan dalil tark untuk mengharamkan atau mencela berbagai hal, bahkan sebagian kalangan terlalu berlebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.

Ketahuilah, ketika Nabi s.a.w. meninggalkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:

Sebab pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi s.a.w. diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata: “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jagi memungutnya.

Kemudian ada yang bertanya: “Apakah itu haram?”

Nabi s.a.w. menjawab: “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.

Hadits ini tertera dalam kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim. Ini menunjukkan dua hal, yaitu bahwa meninggalkan sesuatu bagi Nabi s.a.w. meski setelah beliau hampir melakukannya tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.

Sebab kedua, karena beliau lupa. Contohnya, Nabi s.a.w. pernah lupa dalam shalat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya: “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?

Nabi s.a.w. menjawab: “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.

Sebab ketiga, karena beliau khawatir amalan tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi s.a.w. meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.

Sebab keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Contohnya, pada mulanya Nabi s.a.w. khuthbah shalat Jum‘at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk membuat mimbar sebagai tempat berkhuthbah. Saat ada yang mengusulkan pembuatan mimbar, beliau setuju dan mengakui hal itu karena khuthbah di atas mimbar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi s.a.w. agar dikenali utusan asing yang datang menemui beliau. Beliau menyetujui usulan itu di mana sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan untuk itu.

Sebab kelima, karena sesuatu itu sudah termasuk dalam penjelasan umum ayat-ayat al-Qur’ān atau Ḥadīts. Contohnya, Nabi s.a.w. meninggalkan shalat Dhuḥā dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah s.w.t.:

وَ افْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” (Qs. al-Ḥajj: 77).

Sebab keenam, karena beliau khawatir sesuatu itu merubah hati pada sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sabda Nabi s.a.w. kepada ‘Ā’isyah: “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka‘bah kemudian aku bangun lagi sesuai fondasi Ibrāhīm, karena kaum Quraisy memperkecil bangunannya.”

Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shaḥīḥ utama, Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim. Secara tegas dijelaskan, Nabi s.a.w. tidak merobohkan Ka‘bah dan mengembalikannya ke posisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *