Makna Jinn Dalam Bahasa ‘Arab – Dialog Dengan Jinn Muslim

DIALOG DENGAN JINN MUSLIM
Pengalaman Spiritual

Diterjemahan dari:
Hiwar Shahafiy ma‘a Jinny Muslim
Karya: Muhammad ‘Isa Dawud.

Penerjemahan: Afif Muhammad dan H. ‘Abdul Adhiem
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

Rangkaian Pos: 1. Alam Jinn - Dunia Jinn: Yang Tampak & Yang Tersembunyi - Dialog Dengan Jin Muslim

1.

ALAM JINN

DUNIA JINN:

YANG TAMPAK DAN YANG TERSEMBUNYI

 

Jinn adalah nama jelas, bentuk tunggalnya adalah jiniy, yang artinya “yang tersembunyi,” atau “yang tertutup”, atau “yang tak terlihat.” Hal itulah yang memungkinkan kita untuk mengaitkannya dengan sifat yang umum “alam tersembunyi,” sekalipun akidah Islam memaksudkannya dengan makhluk-makhluk berakal, berkehendak, sadar dan punya kewajiban, berjasad halus, dan hidup bersama-sama kita di planet bumi ini.

Makna Jinn dalam Bahasa ‘Arab.

Apabila para sarjana antropologi dan kebudayaan kuno menegaskan bahwa bahasa yang tercatat paling tua adalah Bahasa Sumeria, yang sejarahnya mengakar pada kira-kira 3500 tahun sebelum Masehi, yaitu masa yang dalam nisbatnya dengan sejarah umum manusia setara dengan lima detik, maka kita berpendapat bahwa Bahasa ‘Arab adalah bahasa induk bagi bahasa-bahasa umat manusia seluruhnya. Bahasa ‘Arab adalah bahasa pertama, dan darinya muncullah bahasa-bahasa kuno lainnya, yang juga disebut sebagai Bahasa Aramia, yang merupakan cabang darinya. Sebab, telah ditemukan beberapa teks dalam bahasa Aramia yang mengacu pada abad ke-14 SM. – suatu bahasa yang, dalam skala besar, terdiri dari bentuk-bentuk huruf ‘Arab sekarang ini.

Saya bertanya kepada Jinn Muslim sahabat saya, tentang Bahasa paling tua yang pernah dikenal manusia. Dia menjawab bahwa nenek-moyangnya, yang mati disambar kilatan api Tuhan karena ulahnya yang mencoba-coba mencuri-dengar suara langit, memberitahukan kepada ayahnya bahwa kakek-kakeknya yang berasal dari India, memberitakan kepadanya bahwa bahasa ‘Arablah yang merupakan bahasa paling tua, sebagaimana yang disampaikan oleh kabar-kabar mutawātir di dunia Jinn.

Dari segi bahasa, al-Jinn adalah lawan kata al-Ins (manusia). Disebut-sebut bahwa jika dikatakan: ānast-usy-syai’a berarti “saya melihat sesuatu”. Allah s.w.t. berfirman: Maka tatkala Mūsā telah menyelesaikan waktu yang ditentukan, dan dia berangkat dengan keluarganya, lalu dilihatnya api di lereng gunung. Dia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah di sini, sesungguhnya aku melihat api (anastu nāran).” (Qs. al-Qashash: 29).

Kosa kata dalam bahasa ‘Arab yang terdiri dari huruf Jīm dan Nūn, dengan berbagai bentukannya, memiliki pengertian benda atau makhluk “yang tersembunyi.”

Al-janīn (janin) disebut demikian karena ketersembunyiannya dalam perut ibunya, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah yang berbunyi,….. dan ketika kamu masih tersembunyi (ajinnat) dalam perut ibumu. (Qs. an-Najm: 32).

Junnat-ul-Layl, artinya ketersembunyian oleh kegelapan malam dan tertutup tabir hitamnya, seperti firman Allah yang berbunyi: Ketika malam telah menjadi gelap (janna), maka dia melihat sebuah bintang. (Qs. al-An‘ām: 76).

Junn-ur-rajulu junūnan, wa ajannahullāhu, fahuwa majnūn, artinya “jika seseorang telah kehilangan akalnya, dan “tertutup”-lah kesadarannya, maka dengan itu hilanglah kewajiban-kewajiban darinya akibat tidak adanya akal.” Tentang pengertian yang seperti ini Allah s.w.t. berfirman: ….. atau, pada dirinya ada penyakit gila? (Qs. Saba’: 8).

Termasuk kategori ini adalah ucapan Nabi s.a.w. yang berbunyi: “Puasa itu adalah junnah (perisai).” (11) dan penjelasan ‘Utsmān ibn Abil-‘Āsh terhadap kata junnah yang berbunyi: “Puasa itu adalah junnah (perisai) seperti junnah kalian dalam peperangan.” Junnah, dengan demikian, berarti pelindung atau penutup. Penulis kitab an-Nihāyah mengatakan bahwa makna puasa sebagai junnah adalah karena ia melindungi pelakunya dari serangan syahwat. Al-Qurthubī mengatakan: “junnah berarti pembatas, yakni dalam kaitan dengan ketentuan syariat. Yaitu, setiap orang yang berpuasa mesti melindungi dirinya dari segala sesuatu yang bisa merusak puasanya dan menghilangkan pahalanya. Juga benar bila junnah diartikan sebagai penutup karena pahala dan peningkatan kebaikan yang dihasilkannya.” Ibn ‘Arabī mengatakan: “Sesungguhnya puasa itu adalah junnah (pelindung) dari api neraka, karena puasa bisa mencegah syahwat, sedangkan neraka dimudahkan jalan ke arahnya dengan syahwat. Alhasil, jika seseorang yang berpuasa menahan diri dari memperturutkan syahwat di dunia, maka puasa tersebut bisa menjadi penutup dirinya dari siksa neraka di akhirat. (22).

Orang ‘Arab menyebut perisai yang dengannya seorang prajurit melindungi diri dalam peperangan dengan al-mijann. Sebab, prajurit tersebut menutupi dirinya dengan perisai itu dari lemparan, tikaman, dan pukulan musuh. Segala sesuatu yang anda gunakan sebagai penutup diri dari segala keburukan, adalah junnah. (33).

Surga yang dijanjikan Allah kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa disebut jannah karena banyaknya pohon yang terdapat di sana, yang saling menutupi satu sama lain,

Hati kita juga disebut al-janān karena ia merupakan sesuatu yang tertutup oleh dada. Ada pula yang mengatakan bahwa ia disebut demikian, karena pikiran dan lintasan hati yang dimilikinya tertutup dan tidak terlihat. Dengan demikian, segala yang tidak tampak oleh pandangan mata, atau yang tersembunyi, disebut sebagai janān. Itu pula sebabnya, maka kuburan juga disebut junan, karena ia menutupi orang yang dikubur di dalamnya. (44).

Kata jiniy yang diucapkan orang-orang ‘Arab dahulu dan juga dipergunakan oleh al-Qur’ān, adalah makhluk berakal yang tersembunyi (tidak terlihat mata), yang hidup bersama-sama dengan kita. Bahasa-bahasa Eropa mengadopsinya dari bahasa ‘Arab, lalu melafalkannya dengan genie (Inggris). Sekalipun kamus-kamus mereka memaksudkannya dengan “roh syaithan”, namun dalam film-film modern istilah ini mereka maksudkan dengan makhluk berakal, khususnya, yang berbuat baik atau membantu manusia dalam melakukan kebaikan.

 

Catatan:


  1. 1). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Shaḥīḥ-nya, Kitab ash-Shawn, dari Abū Hurairah r.a. Hadits yang sama juga diriwayatkan Mālik dalam al-Muwaththa’.
  2. 2). Ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ-ul-Bārī fī Syarḥi Shaḥīḥ-il-Bukhārī, juz IV, Al-Muthba‘ah as-Salafiyyah, Rawdhah, hlm. 125.
  3. 3). Abū Ḥātim ar-Rāzī, az-Zīnatu fil-Kalimāt-il-Islāmiyyat-il-‘Arabiyyah, jilid II, Kairo, 1958, hlm. 172.
  4. 4). Lihat, Lisān-ul-‘Arab dan kamus-kamus dalam bahasa ‘Arab pada huruf Jīm dan Nūn, dengan beberapa tambahan. Sementara mengandung pengertian, “yang tersembunyi” dan “tertutup”, tanpa ada pengertian yang keluar dari itu. Lihat pula buku saya Zād-ush-Shāliḥīna wad-Du‘atu ila Tharīq-il-Hudā wan-Najāt, jilid I, tafsir Surah al-Jinn.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *