VIII
KONTROVERSI QAUM SHŪFĪ TERHADAP MUTAFAQQIH, KETERANGAN TENTANG FIQIH DALAM AGAMA DAN ARGUMENTASINYA.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Diriwāyatkan dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka Dia akan memberikan kepahaman (faqīh) tentang agama.”
(Ḥadīts riwāyat Bukhārī – Muslim, Aḥmad, Ibnu Mājah, Tirmidzī, al-Bazzār, ath-Thabrānī).
Saya pernah mendengar dari Ḥasan al-Bashrī, bahwa pernah dikatakan padanya: Si Fulān itu seorang faqīh.” Mendengar pernyataan itu ia lalu bertanya: “Apakah engkau pernah melihat orang yang benar-benar faqīh sama sekali? Sesungguhnya seorang yang benar-benar faqīh adalah orang yang zuhūd dalam hāl dunia, rindu akan ākhirat dan ‘ārif terhadap masalah keagamaannya.” Firman Allah s.w.t.: “ untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (Surah at-Taubah: 122). Maka agama adalah sebuah nama yang mencakup seluruh aspek hukum, baik lahir maupun bāthin.
Sementara itu, memperdalam (tafaqqah) hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai ḥāl (kondisi spiritual) dan ma‘nā macam-macam maqām (kedudukan spiritual) – sebagaimana yang saya sebutkan – tidaklah kecil manfa‘atnya daripada memperdalam tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan thalāk, pembebasan budak, zhihār, qishāsh, sumpah dan hukum pidana (ḥudūd). Sebab hukum-hukum tersebut, bisa saja dalam seumur hidup tidak pernah ada kejadian yang membutuhkan pada ‘ilmu yang berkaitan dengannya. Kalaupun mitsālnya ada sebuah peristiwa, maka orang yang bertanya akan gampang mengikuti (taqlīd) dan mengambil pendapat sebagian para ahli fiqih. Dan akhirnya gugurlah kewājiban itu hingga terjadi sebuah peristiwa yang lain.
Sedangkan berbagai kondisi spiritual, kedudukan spiritual (maqāmāt) dan perjuangan spiritual (mujāhadat) di mana qaum shūfī berusaha mendalami dan memahaminya, serta membicarakan tentang haqīqatnya maka setiap mu’min selalu membutuhkannya setiap waqtu wājib mengetahuinya. Tak ada waqtu tertentu yang bersifat kondisional atau kasuistik, sehingga di waqtu lain tidak diperlukan. Kondisi dan kedudukan spiritual, seperti kejujuran (ash-Shādiq), ikhlāsh, dzikir, menghindari kelalaian untuk berdzikir dan lain-lain, adalah tidak membutuhkan waqtu tertentu. Akan tetapi wājib bagi semua hamba dalam setiap detik dan geraknya untuk mengetahui apa tujuan, kemauan dan yang tebersit dalam benaknya. Jika itu merupakan hak dan tanggung jawāb, maka ia wājib melakukannya, dan jika berupa hal yang dilarang maka wājib menjauhinya. Allah berfirman pada Nabi-Nya:
وَ لاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَ اتَّبَعَ هَوهُ وَ كَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
الكهف:۲۸
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingatkan Kami, serta mengikuti hawā nafsunya, dan sementara keadaannya telah melewati batas.”
(Surah Al-Kahfi: 28)
Orang yang meninggalkan salah satu dari berbagai kondisi spiritual sebagaimana yang telah disebutkan, hanyalah karena faktor kelalaian yang telah menyelimuti hatinya.
Perlu anda ketahui, bahwa hasil pemikiran qaum Shūfī dalam memahami ma‘na-ma‘na ḥukum zhāhir (syarī‘at). Sebab ‘ilmu itu tidak memiliki batas tertentu, karena merupakan isyārat, bersitan pada hati, kata hati pemberian dan karunia yang direguk oleh para ahlinya dari lautan karunia Tuhan. Sementara ‘ilmu-‘ilmu yang lain memiliki batas tertentu. Dan semua ‘ilmu akan bermuara pada ‘ilmu tasawuf, sedangkan ‘ilmu tashawwuf hanya akan tetap bermuara pada ‘ilmu tasawuf sendiri, yang tak memiliki batas tertentu, karena Dzāt Yang dituju memang tidak memiliki batas. ‘Ilmu ini adalah ‘ilmu futūh (yang Allah bukakan pada hati para wali-Nya) dalam memahami firman-Nya dan mengambil kesimpulan dari isyārat seruan-Nya. Dia bukakan pintu-pintu ‘ilmu itu menurut kehendak-Nya. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muḥammad): Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Surah Al-Kahfi: 109). Allah s.w.t. juga berfirman: “Andaikan kalian bersyukur maka akan Aku tambah (rahmat-Ku).” (Surah Ibrāhīm: 7). Sementara tambahan dari Allah itu tentu tak ada batasnya. Sedangkan syukur adalah ni‘mat yang juga harus disyukuri, sehingga meng‘aqībatkan adanya tambahan ni‘mat yang tak terbatas – Dan semoga Allah memberi taufīq kepada kita.