BĀB VII
BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENYUDUTKAN QAUM SHŪFĪ, BAHWA MEREKA ADALAH ORANG-ORANG BODOH, DAN ‘ILMU TASHAWWUF TIDAK MEMILIKI LANDASAN HUKUM DARI AL-QUR’ĀN DAN AS-SUNNAH.
Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Tak ada perselisihan di kalangan para Imām, bahwa Allah s.w.t. telah menyebutkan dalam Kitāb suci-Nya tentang orang-orang jujur, baik laki-laki maupun perempuan (ash-Shādiqīn dan ash-Shādiqāt), orang-orang yang merendah di hadapan Allah (al-Qānitīn dan al-Qānitāt), orang-orang yang khusyuk (al-Khāsyi‘īn), orang-orang yang sangat yaqīn (al-Mūqinīn), orang-orang yang ikhlāsh (al-Mukhlishīn), orang-orang yang berbuat baik (al-Muḥsinīn), orang-orang yang takut akan siksa Allah (al-Khā’ifīn), orang-orang yang berharap rahmat Allah (ar-Rājīn), orang-orang yang takut (al-Wājilīn), orang-orang yang tekun beribadah (al-‘Ābidīn), para pengembara (as-Sā’ihīn), orang-orang yang bersabar (ash-Shābirīn), orang-orang yang ridhā (ar-Rādhīn), orang-orang yang bertawakal (al-Mutawakkilīn), orang-orang yang tawādhu‘ (al-Mukhbitīn), para kekasih Allah (al-Auliyā’), orang-orang yang bertaqwā (al-Muttaqīn), orang-orang pilihan (al-Mushthafīn dan al-Mujtabīn), orang-orang baik (al-Abrār) dan orang-orang yang dekat dengan Allah (al-Muqarrabīn).
Allah telah menyebutkan tentang orang-orang yang sanggup “menyaksikan” (musyāhadah), sebagaimana Dia firmankan dalam al-Qur’ān:
أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَ هُوَ شَهِيْدٌ
ق:٣٧
“ atau orang yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
(Surah Qāf: 37)
Sementara itu Allah juga menyebutkan orang-orang yang thuma‘ninah (tenang – damai):
أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
الرعد:۲۸
“Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(Surah ar-Ra‘d: 28)
Allah juga menyebutkan orang yang terdepan dalam mencari ridhānya (as-Sābiqūn), orang-orang yang tengah-tengah (al-Muqtashidūn), dan orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan. (Lihat hlm. 4, Surah Fāthir: 32)
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ مِنْ أُمَّتِيْ مُكَلَّمِيْنَ وَ مُحَدَّثِيْنَ وَ إِنَّ عُمَرَ مِنْهُمْ
“Ada di antara umatku orang-orang yang diajak bicara Tuhan (mukallamīn) dan orang-orang yang dibisiki (muḥaddatsīn). Dan sesungguhnya ‘Umar termasuk salah seorang dari mereka.”
Nabi s.a.w. juga bersabda:
رُبَّ أَشْعَثَ أَغْيَرَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ، وَ إِنَّ الْبَرَاءَ بْنَ مَالِكٍ مِنْهُمْ
“Sedikit sekali orang dengan rambut kusut dan tak rapi, penuh debu dan hanya memiliki dua pakaian lusuh (compang-camping), jika bersumpah atas Nama Allah, maka Allah akan menyambutnya dengan baik, dan al-Barrā’ bin Mālik termasuk salah seorang dari mereka.”
(Ḥadīts riwāyat Muslim dan Tirmidzī dari Anas bin Mālik r.a.)
Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda kepada Wābishah:
اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَ إِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
“Mintalah fatwā pada hatimu, meskipun banyak orang memberimu fatwā.”
(Ḥadīts riwāyat Bukhārī, Muslim, Aḥmad, ad-Dārimī dan ath-Thabrānī)
Sementara itu beliau tidak pernah mengatakan hal itu kecuali kepada Wābishah.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
يَدْخُلُ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي الْجَنَّةَ مِثْلَ رَبِيْعَةَ وَ مُضَرَ، وَ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسُ الْقَرْنِيْ
“Seseorang akan masuk surga karena syafa‘at salah seorang dari umatku, seperti Rabī‘ah dan Mudhar. Orang tersebut adalah Uwais al-Qarnī.”
(Ḥadīts riwāyat Aḥmad)
Dalam sabdanya yang lain disebutkan: “Sesungguhnya di antara umatku terdapat orang yang jika membaca (al-Qur’ān) engkau melihatnya, bahwa ia benar-benar takut kepada Allah. Dan Thalq bin Ḥubā’ib termasuk salah seorang dari mereka.”
Dan sabda Rasūlullāh s.a.w. pula:
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِيْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ. قَالُوْا وَ مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَكْتُبُوْنَ وَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَ عَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Tujuh puluh ribu umatku akan masuk surga tanpa ḥisāb. Lalu Rasūlullāh ditanya: “Siapa mereka wahai Rasūlullāh s.a.w.? Rasūlullāh s.a.w menjawāb: Mereka adalah orang-orang yang tidak berbekam, tidak memakai mantera-mantera dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.”
(Hadīts riwāyat Bukhārī – Muslim)
Sementara Ḥadīts dan Ātsār yang semitsāl sangatlah banyak.
Dan tak perlu diperdebatkan, bahwa mereka adalah umat Muḥammad s.a.w. Sebab jika mereka tidak termasuk dalam umat Muḥammad, dan mustahīl kemungkinan adanya di setiap zaman, tentu Allah tidak akan menyebutkannya dalam al-Qur’ān dan Rasūlullāh s.a.w. tidak akan menerangkannya dalam Ḥadīts-ḥadīts beliau.
Ketika kita perhatikan bahwa kata: “īmān” adalah mencakup seluruh orang mu’min. Kemudian di antara mereka memiliki nama dan ciri khushūsh, sehingga dengan demikian menunjukkan adanya kekhushūshan mereka dari orang-orang mu’min secara umum.
Sementara itu, tidak seorang pun dari para imām yang memperselisihkan, bahwa para nabi a.s. lebih tinggi derajatnya dari mereka, dan memiliki kedudukan yang lebih dekat dengan Allah, meskipun mereka adalah manusia sebagaimana lazimnya manusia lain yang perlu makan dan minum.
Kekhushūshan ini terjadi pada para nabi dan orang-orang yang saya sebutkan, karena adanya suatu rahasia antara mereka dengan Dzāt Yang mereka sembah (al-Ma‘būd), dan karena kelebihan mereka dalam masalah keīmānan dan keyaqīnannya, terhadap apa yang Allah serukan. Hanya saja para nabi memiliki kekhushūshan yang tidak dimiliki oleh mereka (qaum Shūfī) dengan adanya wahyu, risālah (kerasūlan) dan tanda-tanda kenabian. Di mana tidak seorang pun bisa menandinginya dalam hal itu. – Dan hanya Allah Yang Mahatahu.