BĀB VI
CIRI KHĀSH QAUM SHŪFĪ YANG TIDAK SAMA DENGAN TINGKATAN ORANG-ORANG BER‘ILMU DALAM PENGERTIAN YANG LAIN.
Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Qaum Shūfī juga memiliki ciri khāsh yang berbeda dengan tingkatan orang-orang ber‘ilmu, dalam menggunakan ayat-ayat dari Kitāb Allah yang dibaca dan Ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan. Tidak ada satu ayat pun yang menyalin atau Ḥadīts maupun Ātsār yang menghilangkan hukum yang menganjurkan keutamaan akhlāq, membahas tentang kemuliaan berbagai kondisi spiritual dan keutamaan ‘amal, menceritakan tentang berbagai kedudukan spiritual (maqām) yang tinggi dalam agama, dan posisi-posisi terhormat yang hanya dikhushūshkan untuk sekelompok orang-orang yang mu’min. Di mana para shaḥābat dan tābi‘īn selalu bergantung pada akhlāq-akhlāq tersebut. Dan itulah etika dan sopan santun Rasūlullāh s.a.w., dan akhlāq beliau yang mulia. Sebab Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّ اللهَ أَدَّبَنِيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ
رواه العسكري عن علي ره
“Sesungguhnya Allah telah membina mental (akhlāq) ku, kemudian Dia membinanya dengan sangat baik.”
(H.R. Al-‘Askarī dari ‘Alī r.a.)
Di samping itu Allah s.w.t. juga telah menegaskan dalam firman-Nya:
وَ إِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
القلم:4
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.’
(Al-Qalam: 4)
Semua itu tertera dalam dokumen dan kitāb-kitāb para ‘ulamā’ dan ahli fiqih. Sementara pemahaman mereka dalam mengambil kesimpulan dan penggalian hukum berbeda dengan para Shūfī dalam memahami ‘ilmu-‘ilmu yang lain. Sedangkan orang-orang ber‘ilmu yang menegakkan ke‘ādilan, selain para Shūfī tidak memiliki bagian tersebut, kecuali mereka harus mengakui dan mempercayai, bahwa hal itu benar. Hal-hal tersebut adalah seperti ḥaqīqat taubat dan sifat-sifatnya, derajat orang-orang yang bertaubat dan ḥaqīqatnya, masalah-masalah wara‘ yang sulit dipahami dan kondisi orang-orang yang wara‘ (jaga diri dari syubhat), tingkatan orang-orang yang bertawakal, kedudukan orang-orang yang ridhā’ dan derajat orang-orang yang sabar. Demikian pula dalam masalah kekhusyū‘an, merendah di hadapan Allah dan takut ancaman siksa-Nya, cinta (maḥabbah) dan takut (khauf), penuh harap (rajā’) dan rindu (syauq), kesaksian hati nurani dengan penuh hadir (musyāhadah), kembali dan bertaubat dari berbuat ma‘shiat (inābah) dan ketenangan (thuma’ninah). “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman adalah mereka yang apabila disebutkan Nama Allah tergetarlah hatinya.” (Al-Anfāl:2). Demikian pula masalah yaqīn dan puas dengan apa yang ada (qanā‘ah).
Sementara masalah kondisi spiritual mereka lebih banyak yang tidak mungkin bisa dihitung jumlahnya. Di mana setiap kondisi spiritual (ḥāl) terdapat orang yang ahli dan tingkatan masing-masing. Mereka memiliki berbagai ḥaqiqat dan musyāhadah, ḥāl, murāqabah, rahasia hati (asrār), ijtihād, kedudukan (maqām) dan derajat yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki keinginan (irādah) yang berbeda-beda. Mereka juga tidak sama dalam masalah kuatnya keinginan, menghadang kekosongan dan memenangkan rasa cinta dan penghayatan hati nurani (wajd). Masing-masing kondisi spiritual tersebut ada batas dan posisinya, ‘ilmu dan penjelasannya, sesuai dengan apa yang telah dianugerahkan Allah ‘azza wa jalla.
Dan salah satu ni‘mat paling agung yang menjadi ciri khāsh mereka adalah keberadaan mereka dalam murāqabah secara kontinuitas, di mana ia merupakan realisasi dari tingkatan iḥsān.
Para Shūfī juga memiliki ciri khāsh dalam mengetahui rasa tamak dan angan-angan panjang serta masalahnya yang rumit, mengetahui nafsu dan amarahnya serta gejolak-gejolaknya yang berbahaya, masalah-masalah riyā’ (pamer) yang tidak jelas, syahwat yang tersembunyi serta syirik yang samar. Mereka pun tahu, bagaimana cara menyelamatkan diri dari jeratnya, bagaimana cara kembali dan bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, berlindung diri kepada Allah dengan sebenarnya, melanggengkan rasa perlu segala kebutuhan kepada Allah, tunduk dan berserah diri kepadanya, serta membebaskan diri dari adanya usaha dan kekuatan diri sendiri.
Qaum Shūfī juga memiliki kesimpulan-kesimpulan hukum dalam berbagai ‘ilmu yang sulit dipahami oleh para ‘ulamā’ fiqih dan ‘ulamā’ yang lain. Karena hal itu adalah lathā’if (hal-hal yang sangat pelik dan lembut) yang terdapat pada isyārat-isyārat mereka, di mana hal itu tidak bisa jelas bila diungkapkan, karena sangat samar dan lembutnya. Dan itu adalah dalam kategori berbagai rintangan, penghalang, berbagai keterikatan dengan makhlūq, tabir (ḥijāb), rahasia-rahasia hati yang tersembunyi, berbagai kedudukan (maqām) ikhlāsh kondisi spiritual ma‘rifat, ḥaqīqat penghambaan (‘ubūdiyyah), hilangnya alam bila dibandingkan dengan yang azalī, sirnanya makhlūq yang ḥudūts (baru) jika dibandingkan dengan Yang Maha Qadīm, hilang (fanā’)nya penglihatan terhadap berbagai anugerah. Kekekalan melihat Sang Maha Pemberi ‘aqībat hancurnya penglihatan spiritual, mengumpulkan hal yang beraneka ragam, fanā’nya melihat tujuan ‘aqībat (akibat) kekekalan melihat Dzāt yang dituju, berpaling dari pemberian dan tidak pernah berpaling dari Dzāt yang dituju, menceburkan diri dalam menempuh jalan-jalan yang penuh risiko dan melintasi “Padang sahara” yang penuh bahaya.
Kaum Shūfī adalah kaum yang memiliki kekhushūshan di kalangan orang-orang yang ber‘ilmu yang menegakkan ke‘adilan dalam memecahkan berbagai kesulitan yang sulit diselesaikan. Merekalah yang akan memecahkan persoalan-persoalan sulit yang ada, dengan cara langsung dan menyerangnya dengan cara mengerahkan jiwa dan raga, sehingga bisa memberitahukan tentang kelezatan dan cita rasanya, kekurangan dan kelebihannya. Merekalah yang akan menguak kebohongan orang-orang yang mengaku qaum Shūfī dengan cara menuntut mereka untuk memberikan dalīl-dalīl dan membicarakan tashawwuf yang benar dan yang salah. Tentu saja manusia seperti ini sangat sedikit jumlahnya, karena memang jarang yang sampai ke sana.
Semua ‘ilmu tersebut berada dalam Kitāb Allah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasūlullāh s.a.w. yang dipahami oleh para ahlinya yang tak mungkin seorang ‘ulamā’ pun akan mengingkarinya tatkala mereka mencarinya.
Orang-orang yang mengingkari ‘ilmu tashawwuf hanyalah sekelompok orang yang bercirikan ‘ilmu zhāhir (kulit). Sebab hukum-hukum yang mereka pahami dari Kitāb Allah dan Ḥadīts-ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. hanya sebatas hukum-hukum lahiriah dan yang layak untuk dijadikan argumentasi terhadap orang-orang yang menentangnya. Sementara itu, manusia di zaman kita sekarang ini memang lebih cenderung ke sana, karena lebih gampang untuk mencari kedudukan dan posisi di mata orang-orang awam. Dan cara ini pula yang paling gampang untuk bisa sampai pada dunia.
Sungguh sangat sedikit orang yang menyibukkan diri dengan ‘ilmu bāthin sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena ‘ilmu ini ‘ilmu khushūsh yang selalu saja dikepung dengan kepahitan, kepedihan dan rintangan. Sementara mendengarnya saja akan melemahkan lutut, menyedihkan hati, membuat air mata mengalir deras, mengecilkan yang agung dan mengagungkan yang kecil.
Lalu bagaimana menggunakan dan melaksanakannya secara langsung, merasakan cita rasanya padahal jiwa tidak cenderung ke sana. Sebab ‘ilmu ini berusaha membunuh hawa nafsu, menghilangkan rasa dan menjauhi tujuan dunia. Karenanya, tak heran jika banyak ‘ulamā’ meninggalkan ‘ilmu ini, kemudian menyibukkan diri dengan ‘ilmu yang biaya pengorbanannya lebih murah dan ringan, yang sering mendorong mereka pada pena’wīlan, kemudahan-kemudahan dan keringanan, bahkan kadang-kadang lebih condong pada keni‘matan manusiawi, lebih suka menolerir nafsu di mana ia diciptakan sesuai watak dan kodratinya cenderung mengikuti kesenangan dan lari dari hak dan tanggung jawāb. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.