004 16-21 Dalil-dalil Tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi S.A.W. – Wajibkah Memperingati Maulid Nabi S.A.W.?

Wajibkah
Memperingati Maulid
Nabi s.a.w.?

Diterjemahkan dari:
Ḥaulal Iḥtifāl Bidzikri al-Maulidin Nabawī asy-Syarīf
Karya:
As-Sayyid Muḥammad bin ‘Alawī al-Mālikī al-Ḥasanī

Penerjemah: Muhammad Taufiq Barakbah
Penerbit: Cahaya Ilmu

Rangkaian Pos: 004 Dalil-dalil Tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi S.A.W.

Keenambelas

Peringatan Maulid walaupun tidak ada pada masa Rasūlullāh s.a.w. memang bisa disebut bid‘ah tetapi bid‘ah yang baik (bid‘ah ḥasanah) karena perkara-perkara itu tercakup dalam dalil-dalil syar‘i dan kaidah-kaidah Hukum Islam yang bersifat umum (menyeluruh). Atas dasar ini peringatan Maulid Nabi adalah bid‘ah jika dilihat secara utuh sebagai sebuah majlis maulid sebab majlis seperti itu belum ada pada masa awal, tetapi jika dilihat dari satu persatu acara yang ada dalam majlis maulid tersebut (pembacaan kisah kelahiran Nabi, puji-pujian terhadap beliau, dsb.) maka acara-acara itu bukanlah bid‘ah. Hal ini dapat diketahui dari dalil yang keduabelas.

Ketujuhbelas

Segala sesuatu perbuatan yang jika dilihat secara utuh tidak ada pada masa awal Islam akan tetapi jika dilihat susunan satu-persatu dari perbuatan itu ternyata ada, maka sesuatu tersebut adalah dianjurkan secara syar‘i. Karena sesuatu yang tersusun dari hal-hal yang syar‘i maka sesuatu itu juga dinilai syar‘i, dan hal ini telah jelas.

Kedelepanbelas

Imām asy-Syāfi‘ī berkata:

مَا أَحْدَثَ وَ خَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ وَ مَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَ لَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ.

Artinya: “Hal-hal yang baru yang menyalahi al-Qur’ān, as-Sunnah, ijma‘ (kesepakataan ulama), atau atsar, maka itu adalah bid‘ah yang menyesatkan. Sedangkan suatu hal yang baru yang tidak menyalahi salah satu dari keempatnya maka itu (bid‘ah) yang terpuji.”

Al-Imām al-‘Izz bin ‘Abd-is-Salām, al-Imām an-Nawawī, dan al-Imām Ibn-ul-Atsīr membagi bid‘ah menjadi lima bagian seperti yang telah kami sebutkan di atas.

Kesembilanbelas

Segala kebaikan yang tercakup dalam makna dalil-dalil syar‘i dan pengadaannya bukan dimaksudkan untuk menentang syari‘at serta tidak mengandung sesuatu yang munkar maka kebaikan itu termasuk syari‘at agama Islam.

Adapun perkataan orang-orang yang fanatik buta: “Sesungguhnya hal itu tidak dilakukan oleh salaf”, bukan dalil bagi mereka bahkan itu sama sekali tidak bisa disebut dalil, sebagaimana hal itu diketahui secara jelas bagi orang-orang yang mendalami Ilmu Ushūl-ul-Fiqh (dasar-dasar ilmu fikih). Sungguh Rasūlullāh s.a.w. Sang Pengemban Syari‘at telah menyebut Bid‘at-ul-Hudā (bid‘ah yang terpuji) sebagai sunnah.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَ لَا يُنْقَصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا.

Artinya: “Barang siapa yang mempelopori suatu tradisi (amal perbuatan) yang baik lalu amal itu dilakukan oleh orang-orang setelahnya maka baginya pahala orang-orang yang mengerjakannya itu dan tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang-orang tersebut.

Keduapuluh

Peringatan Maulid itu menghidupkan kembali ingatan kita tentang Nabi s.a.w. dan menurut pendapat kami hal itu dianjurkan dalam Islam. Sebab engkau telah melihat bahwa amalan-amalan haji hanya merupakan proses napak tilas (mengenang kembali) peristiwa-peristiwa yang disaksikan oleh sejarah, dan tempat-tempat yang terpuji. Sa‘ī dari Shafā ke Marwā, melontar jumrah, menyembelih hewan qurban di Minā semuanya adalah peristiwa-peristiwa yang telah lalu yang mana kaum muslimin mencoba menghidupkannya kembali dengan memperbaharui bentuknya. Dalilnya adalah firman Allah Yang Maha Tinggi:

…… وَ أَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ.

Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji….” (QS. al-Ḥajj: 27).

Dan juga firman Allah Yang Maha Tinggi ketika menceritakan tentang Ibrāhīm dan Ismā‘īl – semoga salam tetap atas mereka berdua:

….. وَ أَرِنَا مَنَاسِكَنَا…..

Artinya: “…. dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.….” (QS. al-Baqarah: 128).

Keduapuluhsatu

Semua yang kami sebutkan tentang kebolehan Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia secara syar‘i, yang kami maksud adalah peringatan yang di dalamnya tidak ada kemungkaran yang tercela yang wajib untuk diingkari. Namun apabila ada dalam Maulid itu sesuatu kemungkaran yang wajib untuk diingkari seperti bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, perbuatan-perbuatan haram yang lain, yang mana Sang Nabi s.a.w. yang kita rayakan Maulidnya itu pun tidak rela atas hal itu semua maka tidak ragu lagi bahwa acara tersebut haram hukumnya dan terlarang, karena mengandung hal-hal yang haram. Akan tetapi pengharaman itu karena suatu sebab dan bukan haram menurut hukum asalnya (ḥarām li dzātihi).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *