004 1-3 Dalil-dalil Tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi S.A.W. – Wajibkah Memperingati Maulid Nabi S.A.W.?

Wajibkah
Memperingati Maulid
Nabi s.a.w.?

Diterjemahkan dari:
Ḥaulal Iḥtifāl Bidzikri al-Maulidin Nabawī asy-Syarīf
Karya:
As-Sayyid Muḥammad bin ‘Alawī al-Mālikī al-Ḥasanī

Penerjemah: Muhammad Taufiq Barakbah
Penerbit: Cahaya Ilmu

Rangkaian Pos: 004 Dalil-dalil Tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi S.A.W.

Dalil-dalil Tentang Diperbolehkannya Memperingati Maulid Nabi s.a.w.

 

Pertama:

Peringatan Maulid Nabi s.a.w. merupakan ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan terhadap al-Mushthafā s.a.w. yang mana orang kafir pun dapat memperoleh manfaat dari kegembiraan itu (seperti yang terjadi pada Abū Lahab).

Pada dalil yang kesembilan akan dijelaskan lebih jauh tentang masalah ini sebab walaupun dalil pokok dalam masalah ini adalah sama namun cara penjelasannya berbeda. Metode inilah yang kami gunakan dalam pembahasan ini (61). Oleh sebab itu – walaupun nanti pembaca mendapati beberapa dalil yang sama – cara ini tidak bisa disebut pengulangan.

Sungguh telah diriwayatkan dalam Shaḥīḥ Bukhārī bahwa setiap Hari Senin Abū Lahab diringankan siksanya karena ia pernah membebaskan budak perempuannya, yang bernama Tsuwaybah ketika budak tersebut menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran al-Mushthafā s.a.w.

Dalam hal ini al-Ḥāfizh Syamsuddīn Muḥammad bin Nāshiruddīn ad-Dimasyqī berkata dalam sebuah syairnya:

Jika orang kafir ini saja telah tertera celaan baginya

yakni celakalah kedua tangannya di dalam neraka di kekal selamanya.

Diriwayatkan bahwa ia setiap Hari Senin tiba

Diringankanlah siksanya sebab demi kelahiran Aḥmad ia bergembira

Lalu bagaimanakah sangka kita kepada hamba yang sepanjang usia

karena Aḥmad slalu ia bergembira dan tauhid menyertai kematiannya.

Riwayat tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Shaḥīḥ-nya pada Kitāb-un-Nikāḥ secara mu‘allaq (72) dan dinukil oleh al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar dalam kitabnya yang bernama al-Fatḥ (yakni Fatḥ-ul-Bārī). Riwayat ini juga diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzāq ash-Shan‘ānī dalam kitab al-Mushannaf jilid 7 halaman 478; juga oleh al-Ḥāfizh al-Bayhaqī dalam kitabnya ad-Dalā’il (yakni Dalā’il-un-Nubuwwah) dan oleh Ibnu Katsīr dalam kitabnya as-Sīrat-un-Nabawiyyah yang diambil dari kitabnya pula yang berjudul al-Bidāyatu wan-Nihāyah, jilid 1, halaman 224. Selain itu riwayat tersebut juga diriwayatkana oleh Ibn-ud-Daybā’ asy-Syaibānī dalam kitabnya Ḥadā’iq-ul-Anwār jilid 1, halaman 134, juga oleh al-Baghawī dalam Syarḥ-us-Sunnah jilid 9, halaman 76 serta oleh Ibnu Hisyām dan as-Suhaylī dalam kitab ar-Raudh-ul-Unūf jilid 5, halaman 192, dan juga oleh al-‘Āmirī dalam kitabnya Bahjat-ul-Maḥāfil jilid 1, halaman 41. Meskipun riwayat-riwayat tersebut mursal (83) tetapi dapat diterima sebagai dalil karena diriwayatkan oleh al-Imām al-Bukhārī dan diakui (dijadikan pegangan) oleh para ulama dan karena berisi tentang sejarah hidup bukan untuk menjelaskan halal dan haram. Dan seorang yang menuntut ilmu agama pastilah mengerti perbedaan antara menjadikan sebuah hadits dalil dalam masalah hukum dengan dalil dalam masalah manāqib (riwayat hidup). Adapun tentang masalah orang kafir (seperti dalam kasus Abū Lahab tersebut) yang memperoleh manfaat dari amalannya itu adalah masalah yang masih menjadi perdebatan antara para ulama, dan di sini bukan tempat yang sesuai untuk menjelaskannya secara panjang-lebar. Adapun dasar dalam masalah ini adalah hadits shaḥīḥ tentang keringanan siksa bagi Abū Thālib atas permintaan Rasūlullāh s.a.w.

 

Kedua

Adalah Rasūlullāh s.a.w. mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi pada hari itu atas nikmat-Nya yang agung kepada beliau dan karunia-Nya atas alam ini karena dengan berkat beliaulah alam ini dapat berbahagia. Beliau mengungkapkan pengagungan itu dengan cara berpuasa sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abū Qatādah: Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. ketika ditanya tentang puasa beliau pada hari Senin beliau pun bersabda:

فِيْهِ وُلِدْتُ وَ فِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

Artinya: “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku (untuk pertama kali) menerima wahyu.” (HR. Al-Imām Muslim dalam Shaḥīḥ-nya pada Bab Puasa).

Dan ini adalah semakna dengan perayaan maulid Nabi hanya saja bentuknya berbeda. Bisa berupa puasa atau memberi jamuan makan atau berkumpul untuk berzikir (mengingat Allah) atau bershalawat atas Nabi s.a.w. atau mendengar sifat-sifat beliau yang mulia.

 

Ketiga

Kegembiraan karena hadirnya beliau s.a.w. adalah suatu yang diperintahkan oleh al-Qur’ān, Allah Yang Maha Tinggi berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا.

Artinya: “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”.” (QS. Yūnus: 58).

Allah Yang Maha Tinggi menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi s.a.w. adalah rahmat Allah yang paling agung. Allah berfirman:

وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ.

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiyā’: 107).

Hal ini diperkuat oleh penafsiran dari seorang yang paling luas ilmunya di antara umat ini dan penerjemah (ahli tafsir) al-Qur’ān, yakni al-Imām Ibnu ‘Abbās r.a. tentang ayat ke-58 Surat Yūnus tersebut di atas. Ia berkata: “Yang dimaksud dengan kurnia Allah adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan rahmat-Nya” ialah Muḥammad s.a.w. Allah berfirman: “Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (94)

Maka kegembiraan karena Rasūlullāh s.a.w. dianjurkan pada setiap waktu, dalam setiap nikmat, dan pada setiap kurnia. Akan tetapi lebih dianjurkan pada setiap Hari Senin dan setiap Bulan Rabī‘-ul-Awwal, karena kuatnya suasana Maulid dan memperhatikan waktu. Dan telah maklum bahwa tidaklah lalai dari peringatan itu dan berpaling dari peringatan tersebut pada waktunya kecuali orang yang lalai lagi dungu.

Catatan:

  1. 6). Yakni menyampaikan dalil yang sama berulang kali namun dengan sudut pandang atau ulasan yang berbeda. [penerjemah].
  2. 7). Hadits mu‘allaq adalah hadits yang tidak disebutkan awal sanadnya (mata rantai/rentetan periwayatnya) baik yang tidak disebut itu satu perawi atau lebih berurutan atau tidak dan terkadang hingga akhir sanad. Hukum hadits mu‘allaq adalah dha‘īf (lemah) karena beberapa perawinya tidak diketahui. Kecuali mu‘allaq yang terdapat dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim. Sebab setiap mu‘allaq di sana dikuatkan oleh hadits yang muttashil (bersambung sanadnya hingga Rasūlullāh s.a.w.) yang serupa dari jalur periwayatan yang berbeda. [penerjemah].
  3. 8). Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan oleh salah seorang Tābi‘īn (generasi setelah sahabat Nabi) kepada Rasūlullāh s.a.w.
  4. 9). Ad-Durr-ul-Mantsūr jilid 3 halaman 308. [penulis].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *