003 Bab 3 – Tingkatan Para Ahli Fiqih – Al Luma’

Dari Buku:
Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf
Judul Asli: Al-Luma'
Oleh: Abu Nashr as-Sarraj
Penerjemah: Wasmukan dan Samson Rahman, MA.
Penerbit: Risalah Gusti, Surabaya.

BĀB III

TINGKATAN PARA AHLI FIQIH DAN SPESIALISASI MEREKA DENGAN MENYANDANG BERBAGAI KE‘ILMUAN

 

Syekh Abū Nashr as-Sarrāj – raḥimahullāh – berkata: Ada pun tingkatan para ahli fiqih (fuqahā’) sebenarnya mereka mengungguli kelompok ahli Ḥadīts, karena mereka bisa menerima ‘ilmu-‘ilmu yang dimiliki para ahli Ḥadīts, di mana mereka sama dengan ahli Ḥadīts dalam berbagai ma‘nā ke‘ilmuan dan ciri mereka.

Namun mereka memiliki ciri khusus dalam memahami dan penggalian (istinbāth) hukum fiqih dari Ḥadīts, memahami secara mendalam dengan analisa dan pemikiran yang sangat serius dalam menyusun dan mengurutkan hukum-hukum, batas-batas ketentuan agama dan pokok-pokok ajaran syarī‘at. Mereka jelaskan semua itu dengan sempurna. Mereka juga membedakan antara hukum pengganti (nāsikh) dengan hukum yang diganti (mansūkh), antara yang khushūsh dan yang ‘umūm dengan menggunakan al-Qur’ān, Sunnah, Ijmā‘ (konsensus para ahli fiqih) dan Qiyās (kias).

Mereka menjelaskan kepada umatnya tentang hukum agama yang ada dalam al-Qur’ān dan Sunnah. Mana yang hukumnya telah diganti, namun lafalnya masih tetap tertera, dan mana yang lafalnya dihapus namun hukumnya masih berlaku. Mana lafal yang bersifat ‘umūm namun dimaqshūdkan khushūsh (Khāsh), atau sebaliknya, lafalnya khushūsh namun maqshūdnya ‘umūm. Atau bentuk seruan (Khitah) nya ‘umūm maqshūdnya individu, atau khitah satu namun maqshūdnya ‘umūm.

Mereka berbicara dengan menggunakan argumentasi rasional saat melawan orang-orang yang menentangnya, dan mengungkapkan dalīl-dalīl yang kuat terhadap orang-orang yang sesat demi menegakkan agama ini. Mereka berpegang kuat pada nash-nash al-Qur’ān, Sunnah, atau kias atas nash, atau ijmā‘ para ‘ulamā‘.

Mereka berdebat dengan orang yang menentangnya dengan qa‘īdah-qa‘īdah dan etika dalam berdebat. Mereka sanggah pendapat lawan-lawannya dengan sanggahan yang sangat kuat dan mengembalikan kritikan yang dilontarkan musuh-musuhnya dengan kritik yang lebih mengena serta menunjukkan di mana kelemahan kritik mereka. Mereka letakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya, dan menempatkan segala ketentuan dengan batas yang proporsional. Mereka bedakan antara hal yang bisa dikiaskan, yang sejenis dan yang bisa dibandingkan. Mereka bedakan antara perintah dan larangan yang muthlāq dengan yang sunnah, antara yang dianjurkan dengan yang sebaiknya dihindari. Mereka jelaskan hal-hal yang musykil dan menyelesaikan masalah yang sulit dipecahkan, serta bentangkan jalan yang lurus. Mereka berusaha menghilangkan hal-hal yang tidak jelas (syubhat), membuat alternatif-alternatif hukum yang bersifat non-prinsip (Furū‘) dari pokok-pokok ajaran yang prinsip (ushūl). Mereka jelaskan mana yang bersifat global (mujmal) dan mempermudah hal-hal yang komplek. Sementara itu, mereka mengambil ketentuan hukum agama dengan sangat hati-hati, sehingga diharapkan tidak terjadi seorang ‘ālim (cendekiawan) taqlīd kepada orang ‘ālim yang lain, tidak pula orang bodoh taqlīd kepada orang bodoh yang lain, orang yang punya tingkatan khushūsh (Khāsh) kepada orang khāsh lain dan orang ‘awām kepada orang ‘awām lain dalam menjalankan lahiriah dan ketentuan hukum syarī‘at.

Melalui mereka batas-batas dan ketentuan hukum agama umat Islām terpelihara. Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam KitābNya:

فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِي الدِّيْنِ

التوبة: 122

Hendaknya dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.”

(At-Taubah: 122)

Sementara itu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

رواه البخاري و مسلم و أحمد و ابن ماجه و الترمذي و البزار و الطبراني

Barang siapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka Dia akan memberikan kepahaman (faqih) tentang agama.

(H.R.Al-Bukhārī dan Muslim, Aḥmad, Ibnu Mājah, At-Tirmidzī, al-Bazzār dan Ath-Thabrānī)

Di kalangan para ahli fiqih juga telah lahir tulisan-tulisan dan buku-buku yang monumental. Mereka juga memiliki imām-imām panutan di mana orang-orang di zamannya sepakat untuk menjadikannya sebagai imām. Karena mereka dianggap memiliki kelebihan ‘ilmu, kecerdasan ‘aqal, pemahaman tajam dan amanat yang tinggi. Sementara itu untuk menjelaskan hal ini akan sangat panjang. Sedangkan orang yang ber‘aqal, dengan apa yang sedikit ini akan ia jadikan sebagai petunjuk untuk mendapatkan yang lebih banyak. Dan semoga Allah memberi taufīq kepada kita.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *