002 Orang Yang Pertama Merayakan Maulid Nabi S.A.W. – Wajibkah Memperingati Maulid Nabi S.A.W.?

Wajibkah
Memperingati Maulid
Nabi s.a.w.?

Diterjemahkan dari:
Ḥaulal Iḥtifāl Bidzikri al-Maulidin Nabawī asy-Syarīf
Karya:
As-Sayyid Muḥammad bin ‘Alawī al-Mālikī al-Ḥasanī

Penerjemah: Muhammad Taufiq Barakbah
Penerbit: Cahaya Ilmu

Orang yang Pertama Merayakan Maulid Nabi s.a.w.

Sebenarnya yang pertama merayakan atau memperingati maulid itu adalah orang yang kita peringati maulid (kelahiran)nya yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. sendiri. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shaḥīḥ riwayat Imām Muslim: “Ketika beliau ditanya tentang puasa beliau pada hari Senin, beliau berkata: “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan.” Ini merupakan nash (dalil) yang paling shaḥīḥ dan paling jelas tentang peringatan maulid Nabi yang mulia.

Dan hendaknya kita jangan mempedulikan perkataan orang yang mengatakan: “Sesungguhnya yang pertama kali memperingati Maulid Nabi adalah orang-orang Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah (penguasa Mesir dahulu)”. Sebab, perkataan ini muncul entah karena ketidaktahuan mereka atau pura-pura buta dari kebenaran.

 

Pendapat al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī

Al-Imām (31) Al-Ḥāfizh (42) Abul-Fadhl Aḥmad bin Ḥajar al-‘Asqalānī berkata: “[Tentang penjelasan masalah maulid ini], saya memiliki dalil yang kuat yaitu suatu riwayat yang kuat yang tertera dalam ash-Shaḥīḥain (dua kitab hadits yang shaḥīḥ, yakni Shaḥīḥ Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim) bahwasanya ketika Nabi datang ke Madīnah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada Hari ‘Āsyurā’ (10 Muḥarram). Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu dan mereka menjawab: “Ini adalah hari yang pada saat itu Allah menenggelamkan Fir‘aun dan menyelamatkan Mūsā. Maka kami berpuasa untuk mengungkapkan rasa syukur kami kepada Allah Yang Maha Tinggi”. Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Kami lebih berhak terhadap Mūsā daripada kalian.” Dari situ kita dapat mengambil suatu pelajaran, yakni bolehnya melakukan suatu kebaikan sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas karunia Allah pada hari tertentu, baik karena menerima suatu nikmat pemberian, atau karena terhindar dari musibah, dan perbutuatan itu terus dilakukan pada hari yang sama dalam setiap tahunnya. Ungkapan rasa syukur itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk ibadah, seperti sujud (syukur), puasa, sedekah, pembacaan al-Qur’ān.

Pertanyaannya adalah nikmat apa yang lebih agung dari lahirnya Nabi Yang Mulia ini, Nabi Yang Penyayang, pada hari (peringatan maulid) tersebut????! Allah berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ.

Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri…..” (Qs. Āli ‘Imrān: 164).

 

Pendapat al-Ḥāfizh Jalāluddīn as-Suyūthī.

As-Suyūthī berkata: “Saya memiliki dalil yang lain yang merupakan dalil yang kuat tentang peringatan Maulid Nabi. Yakni sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqī dari Anas bahwasanya Nabi s.a.w. Melakukan ‘aqīqah untuk diri beliau sendiri setelah beliau diutus menjadi Nabi. Meskipun ada riwayat yang menjelaskan bahwa kakek beliau, ‘Abdul-Muththalib, menyembelih ‘aqīqah untuk beliau pada hari ketujuh dari kelahiran beliau s.a.w. sedangkan ‘aqīqah tidak perlu diulang dua kali. Oleh karena itu apa yang diperbuat oleh Nabi s.a.w. adalah perwujudan rasa syukur beliau karena Allah telah mewujudkannya ke alam ini sebagai rahmat bagi seluruh alam serta sebagai landasan serta tauladan dalam segala prilaku dan aktivitas bagi umatnya.

Maka dari itu patut bagi kita untuk menampakkan rasa syukur kita dengan kelahiran Rasūlullāh s.a.w. dengan cara mengumpulkan saudara-saudara kita dan memberi makan kepada mereka (khususnya kepada mereka yang tidak mampu), dan perbuatan yang semacamnya yang merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menunjukkan kegembiraan atas kelahiran Rasūlullāh s.a.w. (53)

 

Pendapat al-Ḥāfizh Syamsuddīn al-Jazarī

As-Suyūthī berkata: “Kemudian saya pernah melihat bahwa Imām para Qurrā’ al-Ḥāfizh Syamsuddīn al-Jazarī menyebutkan dalam kitabnya yang berjudil “‘Arfutu ta‘rīf bil-Mawlid-isy-Syarīf” yang isinya sebagai berikut:

Sungguh beberapa orang telah diperlihatkan dalam mimpi tentang keadaan Abū Lahab setelah ia wafat. Abū Lahab ditanya: “Bagaimana keadaanmu?” Lalu ia menjawab: “Aku berada di neraka. Hanya saja setiap Hari Senin siksaku diringankan dan aku dapat menghisap air dari sela-sela jari-jemari kedua tanganku sebanyak ini – lalu ia memberi isyarat dengan ujung jarinya – Hal itu karena aku membebaskan budak perempuanku, Tsuwaybah, ketika ia menyampaikan kepadaku berita gembira tentang kelahiran Nabi s.a.w. dan karena ia (Tsuwaybah) menyusui Nabi s.a.w.”. Jika Abū Lahab yang kafir yang telah turun ayat al-Qur’ān untuk mencelanya (yakni surat al-Lahab) diberi ganjaran kebaikan di dalam neraka karena kegembiraannya dengan malam kelahiran Nabi s.a.w. lalu bagaimana halnya dengan orang yang mengesakan Allah dan termasuk umat Muḥammad s.a.w. yang senang karena kelahiran beliau s.a.w. dan mengeluarkan apa yang ia mampu demi cintanya kepada beliau s.a.w. Demi Allah balasan yang pantas bagi mereka dari Allah Yang Maha Dermawan adalah memasukkan mereka ke surga yang penuh kenikmatan, dengan karunia-Nya.

 

Pendapat al-Ḥāfizh Syamsuddīn bin Nāshiruddīn ad-Dimasyqī.

Al-Ḥāfizh Syamsuddīn bin Nāshiruddīn ad-Dimasyqī. Telah berkata dalam kitabnya yang bernama Mawrid-ush-Shādi fī Maulid-il-Hādī: “Sungguh shaḥīḥ riwayat yang menceritakan tentang keringanan siksa yang diperoleh Abū Lahab sebab ia telah membebaskan Tsuwaybah budaknya, karena rasa gembiranya dengan kelahiran Nabi s.a.w.”

Kemudian ia menggubah beberapa bait syair sebagai berikut:

Jika orang kafir ini saja telah tertera celaan baginya

yakni celakalah kedua tangannya di dalam neraka ia kekal selamanya.

Diriwayatkan bahwa ia setiap Hari Senin tiba

Diringankanlah siksanya sebab demi kelahiran Aḥmad ia bergembira

Lalu bagaimanakah sangka kita kepada hamba yang sepanjang usia

karena Aḥmad slalu ia bergembira dan tauhid menyertai kematiannya.

Catatan:

  1. 3). Gelar al-Imām ini adalah gelar bagi seorang ulama besar dan sangat diakui otoritas keilmuannya. [penerjemah].
  2. 4). Al-Ḥāfizh adalah seorang yang menghafal dengan baik al-Qur’ān/al-Ḥadīts dalam jumlah yang besar. [penerjemah).
  3. 5). Demikianlah yang tertera pada kitab Ḥusn-ul-Maqāshidi fī ‘Amal-il-Mawlid karya as-Suyūthī. [penulis].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *